Sabtu, 30 Oktober 2010

Seribu Kata Mutiara dan Setetes Ketulusan

Tersebutlah dua bersaudara kembar Ika dan Eko yang mempunyai satu kesamaan hobi yaitu mengumpulkan setiap kata mutiara yang mereka temui lalu mencatatnya di dalam buku-buku besar milik mereka masing-masing.


Hampir setiap hari mereka memampangkan kata-kata mutiara yang mereka dapat entah dalam ucapan nasihat kepada teman-temannya atau menuliskannya di situs-situs jejaring dunia maya.


Mereka merasa bangga ketika teman-teman dan sahabat-sahabat mereka begitu terpukau akan "nasihat-nasihat mulia" mereka, terlebih ketika menuliskannya di status jejaring dunia maya mereka mendapat banyak respons pujian.


Suatu hari Ika tertarik pada seorang pria, lalu dia mencoba mendekati dan sedikit melakukan 'flirting', namun si pria begitu acuh tak acuh hingga si Ika 'merasa buruk rupa' dan diabaikan lalu dia menuliskan status:


"Jangan menilai isi buku dari sampulnya"


Tak beberapa lama Eko pun mengalami hal yang sama lalu dia menuliskan status yang sama.


Setelah beberapa lama, seorang gadis tertarik kepada Eko, namun Eko begitu acuh tak acuh karena baginya gadis itu tak cukup cantik untuk menarik hatinya. Tak beberapa lama kemudian kejadian yang sama juga terjadi pada Ika, namun Ika pun menolak mentah-mentah si pria sebelum mengenalnya lebih jauh dia sudah 'memprediksikan' kepribadian si pria hanya dengan melihat bentuk tubuh dan sedikit gayanya yang tidak menarik.


Peristiwa itupun lewat begitu saja, dan kegiatan mereka berdua memampangkan ribuan kata mutiara pun berlanjut seperti biasa dengan menuliskan kata-kata mutiara semacam:


'Kerendahan hati adalah bunga surga.'


'Jangan lihat tempat sampah dari isinya tetapi dari gunanya.'


'Setetes ketulusan lebih mulia dari ribuan gentong kebaikan.'


dan masih banyak lagi.


Ika dan Eko mempunyai seorang teman bernama Darma. Darma adalah seorang yang lugu dan mudah berprasangka baik, dia sangat mengagumi Ika dan Eko, namun Darma bukanlah seorang yang cerdas hingga dia hanya mampu mengingat satu kata mutiara:


"Setitik ketulusan di tengah kegagalan lebih mulia daripada seribu celaan."


dan Darma sangat terkesan pada kata mutiara ini, lalu dia mencoba meresapi, menyadari satu kata mutiara ini. Jadilah dia orang yang begitu tulus dan ikhlas menjalani hidupnya walaupun banyak ejekan dan celaan mampir di telinga dan hatinya.


Simpanan seribu kata mutiara tak akan membuatmu secemerlang berlian, bahkan seterang sinar api lilin pun tidak, kecuali kamu sanggup melakukannya.

Kamis, 14 Oktober 2010

Tajam Dan Tumpul

Pada suatu masa hidup dua orang yang sangat mengejar kesucian, sebut saja Wasis dan Bendel. Wasis sangat terkenal tajam kata-katanya dalam mencela dan sering memenangkan perdebatan dengan 'orang-orang berdosa' lalu kemenangannya itu dia persembahkan kepada Tuhan sebagai lambang bertambahnya kesuciannya.

Bendel sangat terkenal telengas tangannya dan kegiatannya di waktu senggang adalah mengasah parang sembari melantunkan puji-pujian kepada Tuhan. Bendel sangat terkenal piawai mengayunkan parangnya kepada 'orang-orang berdosa' untuk meningkatkan kesuciannya.

Suatu hari, datang seorang tua ke rumah mereka sekedar untuk meminta minum, lalu mereka berdua bergegas memberi orang tua itu minum. Pikir mereka, 'jika aku beri minum orang tua ini maka nilai kesucianku akan bertambah di hadapan Tuhan'. Setelah minum orang tua itu berkata:

" Terimakasih Nak Mas atas minumnya, dari rasanya sepertinya air ini bukan dari sumbernya, ya ? "

Mereka berdua lalu memandangi orang tua itu dengan mimik wajah tak mengerti.

Tak lama kemudian lewatlah seorang laki-laki dan perempuan asing di depan rumah Wasis dan Bendel; dari pembicaraan sepasang manusia itu tampaknya mereka suami isteri, namun si suami memperlakukan si isteri layaknya seorang budak. Demi melihat kejadian di depan matanya itu Wasis tergerak emosinya untuk mececar si laki-laki asing dengan celaan-celaan, lalu dia dan si laki-laki asing pun berdebat sengit. Singkat cerita si laki-laki asing menjadi gelagapan mendengar argumen-argumen Wasis, namun matanya masih menyiratkan amarah yang memuncak. Sekali lagi Wasis merasa di puncak kemenangan dan merasa menjadi lebih suci dari sebelumnya. Tak lama berselang si orang tua bangkit berdiri dan mendatangi pasangan asing tadi lalu entah dia berbicara apa, kemarahan si laki-laki asing tadi tampak mereda. Setengah jam setelah peristiwa tadi, lewatlah seorang gadis dengan pakaian yang cukup terbuka dan minim; demi melihat hal ini amarah Bendel langsung memuncak dan secepat angin dia menyambar parangnya, mengejar gadis tadi sambil mengayunkan parangnya dan menyumpahserapahi si gadis dengan garang. Secepat kilat orang tua tadi menghalangi gerakan Bendel hingga Bendel terjatuh, lalu katanya:

" Sabar Nak Mas, sabar, biar saya yang bicara. "

Lalu si orang tua itu mendatangi si gadis seksi tadi yang sedang jongkok dan menggigil ketakutan dan menenangkannya. Lalu si gadis pulang.

Bendel dan Wasis tidak terima atas sikap si orang tua, lalu mereka berteriak:

" Apakah kakek tidak tahu kalau kematian pun masih kurang pantas untuk mereka ?! "

Lalu Bendel mulai menyumpah:

" Kek, seorang yang membela pendosa maka dia berdosa pula dan darahnya pantas ditumpahkan ! Apakah kakek ingin seperti itu ???!!! "

" Sabar Nak Mas, saya bukan membela mereka, saya malahan mengingatkan mereka, dan setelah dari sini saya akan ke tempat mereka. "

" Aku akan kembali ke sini satu tahun lagi, " lanjut si orang tua.

Masa setahun pun berselang dan si orang tua bertamu lagi ke rumah Wasis dan Bendel; seperti setahun yang lalu dia meminta minum, lalu dia berujar:

" Ahh, sekarang airnya agak pahit ! "

Wasis dan Bendel menatap si orang tua dengan muka keruh.

Tiba-tiba lewat sepasang suami isteri yang dulu pernah bertengkar dengan Wasis, kini hubungan mereka tampak jauh lebih baik dan mesra. Tak lama kemudian lewatlah seorang gadis yang setahun lalu hampir ditebas lehernya oleh Bendel, dan kini pakaiannya jauh lebih sopan dari yang dipakainya dahulu. Wasis dan Bendel menatap mereka dengan wajah keheranan lalu mereka bertanya kepada si orang tua:

" Apa yang kau lakukan pada mereka, Kek ? "

Si orang tua tidak menjawab melainkan mengeluarkan dua potong kain putih lebar yang terkena noda tanah cukup lebar ditengahnya, lalu dia memberikan salah satu kain itu kepada Wasis dan Bendel, perintahnya:

" Bersihkanlah kain ini ! "

" Apa maksudmu orang tua, apa hakmu memerintah penolongmu ? Bukankah itu menyalahi ajaran kesucian ? " bantah Wasis

" Ya, dan memerintah orang yang pernah menolong adalah dosa dan darahnya layak ditumpahkan !!! " teriak Bendel sembari bersiap mengayunkan parangnya.

Lalu orang tua itu tersenyum, lanjutnya:

" Bukankah kalian ingin tahu apa yang aku lakukan kepada mereka ? "

" Nah, bersihkan dulu kain itu lalu kuceritakan apa yang sudah aku lakukan. "

Wasis dan Bendel dengan terpaksa mencuci kain itu dengan gigi bergemeletuk menahan amarah. Selama Wasis dan Bendel mencuci si orang tua menggunting bagian tengah yang kotor dari kain yang dipegangnya.

Setelah satu jam satu jam Wasis dan Bendel selesai mencuci dan ditunjukkannya kain yang sudah bersih, lalu bentak mereka:

" Nah, Orang Tua ini kainmu, sekarang ceritakan apa yang kau lakukan kepada mereka !!! "

Melihat kain yang dipegang Wasis dan Bendel orang tua itu pun tertawa terkekeh-kekeh, lalu katanya:

" Lihat ! Kalian butuh satu jam untuk mencuci kain itu, dan aku hanya butuh beberapa menit untuk memotong bagian dari kain yang bernoda. "

" Menurutmu kain manakah yang masih bisa digunakan, yang ada di tanganku atau yang ada di tangan kalian ? " tanya si orang tua.

" Tentu yang ada di tangan kami !!! " bentak Wasis dan Bendel bersamaan.

Lalu si orang tua itu menjawab dengan nada lembut:

" Itulah yang saya lakukan Nak Mas,...mencuci, bukan melubangi atau memangkas yang tampak bernoda. "

Kemarahan Wasis dan Bendel pun memuncak, karena merasa kesuciannya dipersalahkan lalu mereka berdua berusaha menangkap si orang tua untuk membunuhnya.

Tiba-tiba si orang tua melayang menghindar pergi sambil berujar:

" Semakin tajam mulut, semakin tumpul hati; semakin tajam parang, semakin tumpul jiwa. "

Rabu, 29 September 2010

Gadis Renta Dan Mawar Plastik

Puluhan tahun sudah gadis renta itu setiap sore duduk di atas kursi kayu mahoni peninggalan kakek buyutnya, seperangkat kursi yang dibuat dari batang sanak saudaraku yang lebih tua. Tak pernah sedetikpun dia lepas menggenggam setangkai mawar plastik berwarna marun, dan selalu mengulasi dirinya dengan dandanan yang menurutku agak berlebihan.

Di usianya yang menginjak limapuluh inipun dia masih melakukan hal yang sama seperti ketika dia remaja, menunggu sang pangeran yang telah menanam bunga mawar plastik. Selama beratus-ratus kali dia bercerita tentang pangeran impiannya~sang penanam mawar plastik~ yang tak tergantikan itu sejak dia remaja di usia enambelas; beratus-ratus kali pula kugunakan angin untuk menasihatinya melalui rekahan kering sayap-sayap buahku yang meluruh ke tanah, Namun apalah artinya; dia tak mengerti bahasaku walaupun aku mengerti kata-katanya.

Telah beratus-ratus pemuda dengan berbagai bentuk menawarkan Anggrek, Tulip, Cana, Yasmine, Margot, Bakung, Edelweiss, bahkan mawar ulas marun asli, tapi semuanya kandas oleh mawar marun plastik di tangannya.

Pernah suatu ketika seorang cenayang pembaca gurat daun dan buah yang lewat di dekatku kuluncuri ratusan sayap buah keringku yang berisi kisah-kisah galau sang gadis beserta nasihat-nasihatku. Kuminta dia menyampaikan ungkapku pada si gadis, namun selesai si cenayang membacakan uraian-uraian dari buah keringku si gadis malahan menanggapi:

" Aku tahu tentang nasihat-nasihat itu, Tuan, karena aku selalu menggunakannya untuk menghibur dan membuka wawasan hati sahabat-sahabatku, tapi...nasihat itu tidak berlaku untukku. "

" Jadi sebaiknya Tuan pergi saja, tak ada gunanya Tuan membacakan nasihat dari sebatang pohon mahoni yang sudah lama kuketahui pula." Lanjutnya ketus.

Kini dia masih setia di usianya yang menguzur menanti Pangeran Penanam Mawar Plastik.

Senin, 13 September 2010

MUJIZAT TERAKHIR

Suara dentang mistis lonceng fajar tanda Doa Brevir pagi untuk para pastor pertapa dimulai. Beberapa dari mereka terutama yang sudah sepuh dan angkatan pra Konsili Vatikan II setelah acara Doa Brevir melanjutkannya dengan pendarasan 150 ayat Mazmur lalu Doa Rosario.

Para pastor yang berada di sini memang khusus untuk bertapa, mereka mengabdikan diri kepada Tuhan dengan mendoakan dunia dengan tak kunjung putus. Aku sendiri sudah tahun ketiga berada di sini, di surga doa ini sebagai salah satu koster. Pertapaan di tepi kota Semarang inilah yang menentramkan hatiku yang tergilas roda-roda baja kehidupan. Biarlah kebahagiaanku bukan seperti pangeran-pangeran dongeng.

Sebulan ini tugasku adalah menyabit rumput untuk sapi-sapi ternak yang dipelihara oleh biara ini. Kami menyediakan beberapa petak tanah yang diolah untuk ditanami rumput gajah bersama penduduk desa yang juga kebanyakan petani dan peternak sapi. Kamipun bekerja sama dalam penjualan hasil-hasil ternak kami dengan penduduk desa.

Sudah sebulan ini kegiatan menyabit rumput kujadikan sarana meditasiku untuk semakin merasakan pelukan kehangatan Tuhan di bawah mentari; semalam kubuat satu catatan pendek dari Mazmur 136:1-9 untuk kudaraskan dalam cengkok ura-ura tembang Jawa sebisaku:

'Bersyukurlah kepada Tuhan sebab Ia baik ! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setiaNya

Bersyukurlah kepada Allah dari segala ilah ! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setiaNya.'

Baru dua ayat kudaraskan tiba-tiba kudengar tangis tertahan seorang ibu paruh baya, sambil terduduk di pematang ladang rumput ini; disebelahnya tergeletak seorang pemuda kurus kering dengan tatapan kosong kedua tangan dan kakinya dibebat perban yang mulai kecoklatan dan dikerumuni lalat. Badan ibu itu tampak kuyu tak terawat dan pemuda yang disebelahnya bertelanjang dada dengan hanya bercelana pendek saja.Kudekati mereka kalau-kalau mereka membutuhkan pertolonganku, sembari untuk memenuhi rasa ingin tahuku.

"Maaf, Bu, ibu sakit ?"

"Apakah pemuda ini bersama Ibu ?" Tanyaku kepada mereka, sambil kulihat keadaannya.

"Mboten, Nak, kula mboten sakit, ingkang sakit lare niki, anak kula (tidak, Nak, saya tidak sakit, yang sakit anak ini, anak saya)" Jawab ibu itu dengan suara tertahan.

"Anak saya sudah tiga tahun keadaannya begini. Saya sudah bingung harus berbuat apa, Nak." Lanjut ibu itu dalam isak tangisnya.

"Kami ke sini karena saya tahu di sini ada pertapaan para romo Trapist."

"Dulu anak saya ini adalah lulusan seminari tinggi."

Lalu aku menggamit pundak ibu itu dan memintanya untuk mengikutiku.

"Mari, Bu, ikut saya, kebetulan saya koster di pertapaan itu." Kudekati pemuda yang tergeletak itu, lalu kugapai tangannya, kutarik hingga berdiri, kulingkarkan lengannya di leherku lalu kupapah dia.

Si ibu mengikuti kami dari belakang. Kutinggalkan seikat besar rumput gajah yang sudah kukumpulkan itu di ladang.

Letak ladang rumput gajah itu berada di kaki bukit kira-kira 1 km di bawah biara. selama perjalanan pemuda yang kupapah lebih banyak diam sambil sesekali berbisik dengan suara berat:

"Eloi Eloi lema azvatani." Satu petikan refren Mazmur 'Rusa di Kala Fajar' dari Raja David dalam Bahasa Ibrani.

Selama aku memapahnya sesekali dia juga berbisik berat:

"Bapa, ke dalam tangan-Mu kuserahkan rohku."Perjalanan dari ladang ke biara dengan memapah pemuda ini sungguh membawaku dalam kilasan-kilasan Jalan Salib Kristus, aku serasa menjadi Simon dari Kirene, dan sang ibu adalah seumpama Bunda Maria. Beberapa kali pemuda sakit ini jatuh terantuk bebatuan bukit, yang sering menarikku hingga terhuyung. Sungguh aku dapat merasakan perasaan Simon ketika dia harus memapah Yesus beserta salib-Nya. Kira-kira satu setengah jam kami lalui perjalanan itu dengan tertatih-tatih. Sesampai di halaman biara Romo Pram yang saat itu sedang menyapu halaman melihat kami dan langsung membantuku memapah si pemuda ke serambi tamu.

Romo Pram lalu menanyaiku perihal pemuda yang kupapah tadi,

"Mas Hari, pemuda ini kenapa ?"

"Apa ada perkelahian di bawah bukit ?"

Kupandangi pemuda itu, wajahnya sungguh memelas penuh bekas luka demikian juga punggungnya, penuh luka seperti sisa cambukan. Lalu kujawab pertanyaan Romo Pram,

"Bukan Mo, dia saya temukan di ladang rumput gajah di lereng bukit bersama ibu ini." Jawabku sambil menunjuk ibu tua tadi.

"Bu, istirahatlah di tempat kami."

"Kami akan menyiapkan sekedar bilik kecil untuk ibu dan merawat anak ini." Kata Romo Pram dalam iba, lalu Romo Pram menyuruhku untuk mempersiapkan bilik tamu bagi si ibu dan dia hendak memapah si pemuda kedalam ruang perawatan.

Tiba-tiba ibu tua yang sedari tadi terdiam, menjawab:

"Dia harus selalu di dekat saya Romo, sedikit saja pandangannya agak lama dia tak melihat kehadiran saya dia akan berteriak-teriak dan menangis, bahkan mungkin memberontak dari pegangan."

"Sebaiknya dia selalu di dekat saya."

"Bahkan saya sendiri yang harus memandikan dan menyuapi makan untuknya."

"Dia hanya mengenali saya, Mo."Jelas ibu itu dengan pandangan menerawang.

Mendengar penjelasan ibu itu, Romo Pram hanya bisa melongo dan akhirnya membolehkan si ibu untuk mengikuti ke ruang perawatan. Kemudian aku membantu si ibu memandikan anaknya. Aku persiapkan beberapa peralatan untuk membalut luka, obat anti septik dan dua buntal besar perban untuk mengganti bebatan luka di tangan dan kakinya. Kubuka semua bebatan perban itu dengan rasa penasaran, kiranya luka semacam apa yang tertoreh di situ; seruak kaget menyambangi perasaanku demi melihat kesemua luka itu, empat luka yang menembus telapak tangan dan kakinya menganga di hadapanku. Ahhh, luka-luka mirip luka-luka Salib Kristus. Rasa penasaranku memuncak dan berujung pertanyaan pada si ibu,

"Ini luka karena apa, Bu, kok mirip luka-luka Gusti Yesus ?"

Rupanya si ibu sudah mengamatiku sejak aku membuka luka-luka anaknya, dan dia pun sudah sudah menduga akan pertanyaanku. Senyum getir mengulas di bibirnya yang penuh guratan-guratan derita tanda sedih lalu dia menjawabku,

"Luka-luka itu dibuatnya sendiri, Nak."

"Luka itu bukan anugerah semacam yang terjadi pada Romo Pio atau St. Fransiskus Asisi."

"Dia melukai dirinya sendiri karena ada beberapa peristiwa mengecewakan yang menimpa dirinya."

Aku menjadi tak enak hati mendengar penjelasan ibu ini. Hampir lupa aku berkenalan dengan mereka karena terbuai oleh keheranan atas peristiwa yang baru kualami sejak pagi tadi, lalu kumulai perkenalan dengan permintaan maaf terlebih dahulu,

"Maaf, Bu, sejak dari lereng bukit tadi kita belum berkenalan."

"Nama saya Hariadi."

"Yang menyambut kita di depan tadi adalah Romo Pramono."

"Saya Elisabeth Rukmini."

"Anak saya bernama Ignasius Tejo Sudibyo."

Hari itu aku minta izin kepada koordinator koster dan pastor kepala rumah tangga untuk ikut merawat Ignasius Tejo Sudibyo secara intensif bersama Bu Rukmi. Agak sulit memang memohon izin merawat itu mengingat aku sebenarnya telah dijadwalkan untuk tugas utama memotong rumput gajah selama tiga bulan, namun Bu Rukmi turut memperkuat argumenku bahwa Sudibyo sudah mengenal dan percaya padaku, akhirnya pastor kepala rumah tangga dan koordinator koster memperbolehkanku. Seminggu sudah mereka berdua tinggal di pertapaan ini dan Bu Rukmi memilih Romo Pram menjadi pembimbing rohaninya selama di sini. Pertanyaan-pertanyaan atas rasa penasaranku pada sepasang ibu dan anak ini semakin berat menggelayuti benakku. Pada suatu sore selepas Doa Angelus Domini, aku memberanikan diri untuk bertanya banyak hal pada Bu Rukmi mengenai asal-muasal sakitnya Sudibyo, ketika kebetulan kami bersama-sama bertugas di dapur.

"Maaf, ya Bu, kalau ibu berkenan boleh saya tahu apa penyebab sakitnya Sudibyo ?"

"Mengapa dia sampai dia menyakiti dirinya sendiri sedemikian rupa, Bu ?"

Ibu Rukmi menghentikan sejenak kegiatan membenahi dapur, pandangan yang tadinya tertuju pada peralatan dapur kini berubah menerawang dan bibirnya sedikit tergetar karena seruak kesedihan mencuat di sela-sela ketegarannya.

"Kisah asal muasalnya panjang, Nak."

Lalu Bu Rukmi menarik nafas panjang beberapa kali, dan dua titik air mata meluncur dari sudut-sudut matanya.

"Sakit jiwanya dimulai sejak tiga tahun lalu setelah kematian isterinya yang direnggut oleh penyakit aneh, kata dokter penyakit itu disebut lupus." Sekali lagi Bu Rukmi menghela nafas.

"Tapi penyebabnya adalah bertahun-tahun sebelum itu, sejak masa kecilnya."

"Dia sebenarnya adalah anak adik perempuan saya, Nak, jadi dia sebenarnya keponakan saya."

"Sudibyo adalah anak hasil perkosaan."

Sampai di sini suara Ibu Rukmi menggetar tertelan.

"Suatu hari Ibunya Sudibyo pulang waktu awal fajar dan hari masih remang-remang, setelah dia tugas malam di rumah sakit. Saat itulah terjadilah peristiwa itu di dekat kamar mayat rumah sakit."

"Setelah peristiwa itu dia mengundurkan diri dari rumah sakit dan menjadi sangat pendiam, berdoa pun tidak mau apalagi ke gereja."

"Kesehatannya turun drastis selama mengandung Sudibyo, dan akhirnya meninggal setelah melahirkan."

"Saya dan almarhum suami saya yang memberi nama Tejo Sudibyo dan merawat bayi itu."

Aku tercenung mendengar kisah itu, satu kisah tragis yang tak bisa kubayangkan.

"Selama masa kecilnya Sudibyo banyak mengalami tekanan dari teman-teman sepermainannya dan beberapa guru SD-nya."

Lanjut Ibu Rukmini dalam kegetirannya.

"Dia sering diejek sebagai 'anak haram palang pantek' oleh anak-anak sebayanya."

"Sudibyo kecil tumbuh sebagai anak pendiam, yang membuat kami semakin sayang adalah kemampuan dia menjadikan ejekan teman-temannya sebagai kekuatan untuk maju."

"Nilai-nilainya semasa sekolah dari SD hingga STM tidak pernah turun dari lima besar."

"Namun tetap hati kecilnya merasakan kepahitan yang mendalam, itu dia ungkapkan setelah tiga tahun bekerja, dan di-PHK karena memukuli salah satu rekan kerjanya, hanya karena satu gurauan."

"Kegalauan hatinya akan hidup manis yang dijanjikan Tuhan bagi yang setia kepada-Nya, membawa Sudibyo muda untuk mengikuti pendidikan di seminari."

"Dia lulus sarjana filsafat dan teologi dengan nilai akademis yang cukup tinggi, namun belakangan baru saya tahu jika ordo menahan tahbisan imamatnya, karena mentalnya labil."

Bu Rukmi terdiam cukup lama, tiba-tiba terdengar suara Romo Pram dari luar mengajak kami ibadat malam. Kami bertiga menyiapkan peralatan ibadat untuk malam itu.Seperti biasanya ibadat malam menggunakan darasan lagu gregorian yang selalu mampu mendinginkan hatiku dari memori keseharian yang mencabik-cabik jiwaku, suasana kontemplatif yang selalu terbangun membuatku sering enggan jika ibadat ini selesai.

"Cinta akan rumah-Mu menghanguskan daku !"

"Cinta akan nama-Mu meremukkan daku !"

Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari Sudibyo dengan mengerang. Memang sudah tiga hari ini Sudibyo diperbolehkan untuk mengikuti setiap ibadat, setelah dinilai sikapnya yang tidak lagi liar. Malam itu aku dan Bu Rukmi tidak menyelesaikan ibadat malam kami bersama para romo, tapi kami memapah Sudibyo ke kamarnya.

Bu Rukmi berusaha menenangkan Sudibyo yang berkali-kali mengerang dengan teriakan yang sama; berulang-ulang Bu Rukmi mengelus kening dan menciumi kepala Sudibyo. Adegan ibu-anak itu membuatku trenyuh dalam haru dan mengingatkanku pada arca 'Pieta' karya Michelangelo. Kuberanikan diri untuk bertanya lagi tentang Sudibyo kepada Bu Rukmini.

"Bu Rukmi, kok Sudibyo ketika berteriak sering mengutip Kitab Suci ?"

Bu Rukmi lalu melanjutkan kisahnya yang terpotong tadi sore.

"Setelah mundur dari seminari anak saya ini menjadi katekis dan asisten laboratorium."

"Kehidupan Sudibyo biasa saja, namun caranya mengajar agama yang mudah dimengerti seperti seorang pastor pengkhotbah membuatnya banyak disukai dan sangat berharga bagi paroki kami."

"Tiga tahun setelah dia menjadi katekis dia bertemu dengan salah seorang novisiat susteran yang diperbantukan mengajar musik."

"Theresia, panggilannya, nama lengkapnya Theresia Niken Puspandari, singkat kata mereka saling jatuh cinta, dan Theresia keluar dari novisiat lalu mereka menikah."

"Usia pernikahan mereka, hanya satu setengah tahun." Sampai di sini Bu Rukmi tampak tak kuat lagi menahan sedu-sedan tangisannya karena mengenang kisah hidup si anak semata wayang.

"Penyakit aneh yang di sebut lupus itu muncul pada saat Niken atau Theresia menginjak masa kehamilan anak pertama mereka."

"Nyawa Niken beserta bayinya tak tertolong ketika masa melahirkan."

"Sejak saat itu semua keceriaan dan kecerdasan Sudibyo ikut mati bersama kematian isteri dan anaknya."

"Pikirannya jadi seperti hilang setelah peristiwa itu, sering ketika mengajar dia hanya berdiri di depan kelas dalam diam dengan tatapan kosong."

"Akhirnya pastor dan dewan paroki meminta dia beristirahat untuk waktu yang tak ditentukan."

"Perlahan-lahan Sudibyo semakin tenggelam dalam kesedihan; puncaknya adalah ketika dia membuat altar di kamarnya lalu menganyam mahkota duri dari batang pohon bougenville, membuat cambuk kecil dan membawa paku serta martil."

"Selama tiga tahun dia mengurung diri di kamarnya dan makan hanya dua hari sekali itupun harus diletakkan di depan pintu kamarnya."

"Luka-luka paku kaki-tangan yang ada pada tubuhnya dibuatnya tiga bulan yang lalu, ketika hari peringatan Jumat Agung. Sebelumnya dia hanya mengenakan mahkota duri dan mencambuki tubuhnya sendiri." Ungkap Bu Rukmi sembari menghela nafas panjang beberapa kali.

Aku mencoba memahami kisah yang diceritakan Bu Rukmi, namun aku merasa ada kejanggalan dari kisah ini.

"Ibu tidak melarang Sudibyo untuk melakukan hal itu, Bu ?" Tanyaku karena merasa aneh atas sikap Bu Rukmi.

"Aduuh, Nak, saya sudah bekali-kali melarangnya, dan pasti disambut dengan mogok makan, atau berlari-lari keluar tanpa pakaian."

"Ibu sudah membawanya ke psikiater atau RSJ ?" tanyaku penasaran.

"Sudah berkali-kali, Nak, tapi setelah beberapa bulan dia tampak tenang dan sembuh lalu bisa saya bawa pulang, tapi beberapa minggu kemudian kambuh lagi." Jelas Bu Rukmi dengan pandangan menerawang silam. Aku hanya bisa menghela nafas berkali-kali mendengar kisah ini, lalu aku mencoba mengenang kembali jalan hidupku yang membawaku hingga ke sini. Peristiwa yang paling membuat hatiku getir adalah ketika isteriku yang kunikahi secara sakramentali meninggalkanku bersama anak perempuan hasil hubungan gelap dengan pacarnya terdahulu. Aku tidak habis pikir seorang ibu tega meninggalkan anaknya sendiri hanya untuk mengejar kesenangan. Aku menyayangi anak isteriku ini sebagai anak kandungku, Brigita Setyawati namanya, dia sekarang baru menginjak 7 tahun, sekarang dia tinggal bersama ibuku di Ambarawa. Semalaman aku dan Bu Rukmi menemani Sudibyo sembari mohon didoakan oleh Bunda Maria dan Para Kudus demi kesembuhan Sudibyo. Luka-luka bekas paku di kedua tangan dan kaki Sudibyo rupanya tidak juga membaik, luka-lukanya masih sering mengeluarkan darah segar. Keesokan harinya satu kejutan menggembirakan terjadi untukku, ibuku dan anakku Setyawati mengunjungiku.

"Bapaaaaak," teriak Setyawati memanggilku sambil berlari-lari dalam langkah-langkah kecilnya, di tangannya membawa seikat besar rangkaian Bunga Sedap Malam.

Aku berjongkok sambil menanti langkahnya terhenti tepat di depanku, lalu kupeluk erat dan kuciumi dia untuk menumpahkan rasa kangenku selama tiga bulan tidak bertemu dengannya.

Lalu setapak hangat mengusap bahuku, telapak yang telah membesarkanku, dan mengawal hidupku.

"Anakmu kuwi lho, dumeh liburan sekolah nggremeng wae neng kupingku kepingin ketemu kowe (Anakmu itu lho, mentang-mentang liburan sekolah merengek terus di telingaku ingin menemuimu)"

Kuciumi kaki ibuku berkali-kali begitu lama, dan ini baru kulakukan saat itu.

"Le, aja nganeh-anehi kowe ya, umurku isih dawa kok mbok gawe ngene sikilku ? (Nak, kamu jangan aneh-aneh ya, umurku masih panjang kok diperlakukan begini ?)" Sambut ibuku sambil berkelakar dan membangunkanku, lalu kuminta Setyawati meletakkan rangkaian bunga bawaannya di ruang tamu pertapaan.

Kuperkenalkan Ibuku dengan Bu Rukmi dan Sudibyo yang kebetulan saat itu sedang duduk di beranda pertapaan untuk menjemur Sudibyo di bawah matahari pagi.

Ketika melihat Setyawati anakku, Sudibyo tampak sedikit terhenyak matanya mulai tampak menunjukkan kehidupan dan linangan air mata menggenang di matanya. Lalu aku kenalkan Setyawati kepada Bu Rukmi dan Sudibyo, dengan sigap Setyawati menciumi tangan mereka berdua. Tiba-tiba Sudibyo memeluk Setyawati dan menangis,

"Anakkuuu, huhuhu, kemana saja kamu selama ini ?"

Setyawati kaget karena dipeluk oleh Sudibyo sedemikian rupa dan dia pun menangis. Aku mencoba menenangkannya supaya tidak menangis. Selama lima hari Ibuku dan anakku berencana menginap di pertapaan ini atas permohonan Bu Rukmi setelah melihat sikap Sudibyo terhadap Setyawati. Keakraban cepat terjalin antara Sudibyo dan Setyawati, dan kebersamaan mereka perlahan-lahan membawa kesadaran Sudibyo kembali. Setyawati selalu bercerita kepadaku kalau Oom Dibyo pandai mendongeng.

"Tidak seperti Bapak, kalau bercerita jelek,"

ejeknya padaku pada suatu sore. Saat itu Setyawati sedang bersiap mendengarkan dongeng dari Sudibyo yang biasa diceritakannya sambil duduk di lapangan rumput di samping pertapaan. Selama satu sampai dua jam biasanya mereka di sana aku, Bu Rukmi dan ibuku sesekali mengamati mereka berdua.Tiba-tiba terdengar teriakan dan tangisan Setyawati dari lapangan rumput.

"Mbah Putriiiii, Bapaaaaak, Oom Dibyo pingsan !"

Kami bertiga secepatnya berlari menuju lapangan untuk melihat hal yang terjadi. Kami lihat Sudibyo tergeletak dengan posisi tangan terentang, aku lalu mengangkat Sudibyo untuk dibawa ke kamarnya.Di kamar perawatan, Setyawati menceritakan peristiwa yang dialaminya ketika dia didongengi oleh Sudibyo sore tadi.

"Tadi Oom Dibyo menceritakan tentang Tuhan Yesus dan pencuri yang bertobat di salib, lalu dia berteriak Eloi-Eloi Sabakhtani, lalu pingsan," berkisah anakku sambil sesenggukan karena kaget dan sedih.

Kami mencoba membangunkan Sudibyo dari pingsannya, lalu setelah Sudibyo sadar Romo Pram mengambil termometer untuk mengukur suhu tubuhnya karena tampak demam, tapi Sudibyo menepisnya dengan gerakan yang lemah.

"Sekaranglah saat terakhirku bersamamu Ibu."

"Terimakasih untuk anakmu Mas Hari, dia telah mengembalikan tahun-tahunku yang hilang, dia adalah mujizat yang hidup dari Tuhan, bolehkah aku menciumnya untuk terakhir kali ?" Tanya Sudibyo dengan nafas tersengal-sengal.

Kuangkat Setyawati dekat kepala Sudibyo, lalu Sudibyo mengecup kening Setyawati yang masih sesenggukan karena sedih. Bu Rukmi tak sanggup berkata-kata hanya linangan airmata yang menggenangi wajahnya. Belakangan kuketahui dari dokter yang saat itu melakukan kunjungan, rupanya infeksi yang dialami Sudibyo sudah menjalari tubuhnya sedemikian jauh hingga organ dalam tubuhnya. Setelah mencium tangan Bu Rukmi, Sudibyo berucap lemah:

"Sudah selesai."

Lalu Sudibyo menarik nafas panjang, kemudian kepalanya terkulai.

Tangis Bu Rukmi pecah saat itu juga. Sekali lagi kusaksikan adegan 'La Pieta' di sini, dan airmataku tak kuasa kubendung dari jatuhnya.

Malam itu kami lalui dalam larut silensium spontan, setelah melakukan misa requiem untuk Sudibyo. Lalu Romo Pram berbisik kepadaku:

"Pelajaran hidup kali ini Mas Hari, bahwa mujizat itu tidak harus spektakuler, anakmu telah membawa mujizat kesadaran dari Tuhan di hari-hari terakhir Sudibyo."

Kamis, 09 September 2010

GEGURITAN UNTUK NDARA PUTRI RETNO SULISTYANINGSIH (versi komplit)

Tahun itu adalah tahunku yang kedua di bangku perguruan tinggi, ya memang kuakui banyak kesulitan yang kualami sungguh sangat berbeda dengan masa-masaku dahulu di SMA, di perguruan tinggi aku lebih dituntut untuk mandiri. Padahal pada waktu pertama pengumuman kelulusan UMPTN harapanku sangat membuncah karena diterima sebagai mahasiswa sebuah perguruan tinggi negeri yang sangat dikenal masyarakat, ya, aku diterima di Universitas Gadjah Mada Jurusan Fisika Program Studi Elektronika dan Instrumentasi.

Ayahku hanya seorang sopir pribadi di tempat keluarga R.Ng Nikolas Sunaraji Yurjis. Sebuah keluarga 'sudagaran' atau 'wong kalang' di daerah Gondomanan, nama marga keluarga ini memang terdengar aneh di telinga. Menurut cerita keluarga ini mempunyai nenek moyang yang berasal dari Tanah Turki, keluarga Yurjis, lalu salah satu buyutnya merantau ke Tanah Jawa dan sampai di Keraton Kartasura Hadiningrat yang akhirnya terbagi menjadi Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta Hadiningrat. Buyut kel
uarga Yurjis lebih dekat kepada Keraton Ngayogyakarta dan menjadi pejabat di situ. Keluargaku turun temurun jadi pengemudi di keluarga Yurjis ini. Kakek moyangku dahulu adalah sais dan pekathik (pencari rumput) di keluarga ini, karena ditugasi oleh keraton. Ayahku berkeinginan supaya anak-anaknya tidak melanjutkan profesi macam ini, kakakku perempuan telah berhasil menjadi seorang dokter dan sedang mengambil spesialisasi anak. Namun karena memang sudah titah tradisi kakakku pun tetap harus bekerja untuk keluarga Yurjis tetapi sebagai dokter keluarga. Den Mas Sunaraji sebenarnya risih dengan titah tradisi ini, hingga dia sering mengingatkan bahwa Sukarti kakakku itu adalah dokter dan punya kesempatan luas.

Sukarti kakakku ini sangat akrab dengan Den Ayu Retno Sulistyaningsih yang seumur denganku, keakraban mereka berdua terjadi karena Den Ayu Retno juga mengambil jurusan di fakultas kedokteran UGM. Mbakyu Sukarti bisa dibilang dosen bayangan atau dosen luar biasa bagi Den Ayu Retno. Kecantikan Den Ayu Retno sangat terkenal di kalangan teman-temannya sefakultas maklumkah paras Turkinya masih samar-samar tampak. Sering mereka bertandang ke rumah Den Sunar dengan alasan belajar bersama, tapi Den Sunar selalu menyiasatinya dengan memanggil Mbakyu Sukarti untuk mengajar mereka, dan aku sering nyengir kalau melihat Den Sunar menertawakan tingkah teman-teman puterinya ini.

Sebenarnya kecantikan Den Ayu Retno sudah memikatku sejak lama, sejak kami sama-sama di SMA. Kami berdua sama-sama lulusan SMAN 3 Yogyakarta, salah satu sekolah negeri yang cukup ketat dalam seleksi penerimaan. Sebagai keturunan sais dan pekathik aku tahu diri untuk tidak menjadi terlalu akrab dengan dia, apalagi aku jauh dari tampan. Sungguh tak berani aku melangkah lebih jauh, aku hanya menyimpannya di relung terdalam perasaanku.Den Ayu Retno adalah pribadi yang grapyak (ramah) dan semanak (bersahabat) serta prigel (lincah) ditambah dengan kecantikan yang seperti bunga yasmin sering membuat degup jantungku mengencang, terlebih ketika dia menyapa, dhuh Gusti merdu nian suaranya, lagipula dia sering menjadi solis soprano jika di Gereja, semakin membuatku kagum.

Teriakan marah Den Sunar membuyarkan lamunanku;
"Retno, pertimbangkan kembali keputusanmu untuk keluar dari kedokteran dan memutuskan masuk biara ! Rama tidak setuju !"

"Kanjeng Rama mohon mengerti kalau ini bukan semata-mata karena keinginan, tapi ada yang menarik-narik hamba dari dalam kalbu." Ujar Den Ayu Retno dengan halus memberi pengertian kepada ayahandanya.

" Lalu untuk apa dahulu kamu memilih fakultas kedokteran jika akhirnya maumu cuma begini !! " ucap Den Ngabehi Sunaraji dengan nada mengeras.

" Saya akui Kanjeng Rama, dulu saya mengagumi Mbak Sukarti yang saat itu sedang menyelesaikan jenjang koas (co-assistency) untuk meraih gelar dokter. Itulah yang membuat saya berusaha keras untuk dapat memasuki fakultas kedokteran. "

" Nah, itu kamu akui, apa kamu tidak merasa sayang meninggalkan satu hal yang kamu usahakan dengan serius ? " kata Den Ngabehi Sunaraji melembut.

" Tapi Rama....sebenarnya keinginan itu sudah ada sejak lama, sejak saya dulu masih di SMP susteran. Saya selalu kagum dengan pengabdian para suster di sana kepada Tuhan. " Lanjut Den Ayu Retno hendak menyanggah ayahnya.

" Pokoknya Rama tidak setuju dengan niatmu keluar dari kedokteran untuk menjadi biarawati. Titik !! " Bentak Den Ngabehi Sunaraji sambil bergegas meninggalkan putrinya yang terduduk tunduk di lantai pendapa.

Aku yang sedari tadi di depan pendapa sambil mencuci mobil Den Ngabehi memberanikan diri mendekati Den Ayu Retno. Aku beringsut perlahan dengan jalan jongkok seperti kalau akan menghadap Kanjeng Sultan, maksudku sedikit melucu supaya hati Den Ayu Retno sedikit terhibur.

" Ngapa kowe laku dhodhok kaya ngono Sis ! Ora lucu (Ngapain kamu berjalan jongkok begitu Sis. Tidak lucu) !!!" Bentak halus Den Ayu Retno dalam sesenggukan tangisnya.

" Sampun ta Den Ayu, sampun dipun galih kanthi sanget punapa ingkang dipun ngedikaaken Kanjeng Rama kala wau. (Sudahlah Den Ayu, jangan dipikir terlalu dalam apa yang diucapkan Tuan Ayahanda tadi.) " Ucapku perlahan untuk menenangkan Den Ayu Retno yang sedang kecewa dengan ayahandanya.

" Ealaaah Sis, Siswoyo, gaya bicaramu kok jadi seperti sandiwara kethoprak to ? " Sambut Den Ayu Retno dengan tersenyum simpul, walaupun masih tersisa air mata di sudut-sudut matanya.

" Lagipula sekarang kan tidak ada siapa-siapa di sini kok kamu nyebut aku masih pakai den ayu, ihhh, risih tahu !!! " lanjut Den Ayu Retno sambil menusuk-nusuk perutku yang lebar dengan jari telunjuknya yang lentik.

Aku senang melihat senyum indah itu mengembang kembali, bahagia rasanya melihat rona paras Den Ayu Retno beralih gembira. Kesempatan itu kugunakan untuk membacakan geguritan yang beberapa waktu lalu kutulis;

Jemparing angkasa hambesut bayu
Lelimpungan ngiring tyasing rahsa
Hanglelajer hamikut surasaning diyu
Hamuput karep jangkaning rubeda
Lembah manah tuking samodra edi

Gegayuhan suci lumantar jembar atma
Katresnan jati pepesthening dumadi
Nanging pedhut asmara milut kang nyata

(Busur angkasa menarik angin
Melesat mengawal kesungguhan rasa
Menjalar merangsek keinginan buruk
Menghabisi niat ranah keburukan

Kerendahan hati sumber samudera keindahan
Kehendak suci melalui luas jiwa
Cinta sejati adalah kepastian hidup
Tapi kabut asmara menutupi yang nyata)

" Maksudmu apa, Sis ? " Tanya Den Ayu Retno dengan tatapan curiga.

" Maksudku begini lho Ret, apakah keinginanmu menjadi biarawati itu sudah kamu pertimbangkan masak-masak, apakah sudah kamu endapkan benar di dalam pikiran dan perasaanmu, bisa saja itu hanya merupakan keinginan sesaat karena tertarik melihat satu keindahan saja, seperti asmara yang hanya mengenal ganteng atau cantik saja." Ungkapku pelan sambil kutatap paras cantiknya.

" Aahh, kamu sama seperti Kanjeng Rama ! " Sergah Den Ayu Retno.

" Hadhuuh, bukan begitu bendaraku yang cantik, aku hanya memberi masukan saja. Bukankah lebih baik menimbang secara mendalam sebelum memustuskan ? Keputusan semacam ini berat lho Den, seperti memilih cinta sejati." Lanjutku mencoba menenangkan Den Ayu Retno.

" Kamu naksir aku ya Sis ? " Tiba-tiba Den Ayu Retno melontarkan satu pertanyaan yang membuatku tersipu-sipu.

Pandangan Den Ayu Retno menatap tajam ke arah wajahku, menyelidik hingga jauh.

" Bu...bu...bukan begitu Den Ayu, kawula mboten tata menawi ngidamaken panjenengan (saya tidak pantas jika menginginkan Anda)." Jawabku terbata-bata.

Lalu Den Ayu Retno merebut kertas berisi torehan geguritanku;
" Geguritanmu apik, kanggo aku wae yaa..! (puisimu bagus, buat aku saja yaa..) "

Itulah sepenggal kisah dari 20 tahun lalu di masa-masa remajaku yang selalu segar dalam ingatanku hingga kini.Aku sedang menikmati sejenak istirahat siang di sela-sela kesibukanku sebagai technical after sales coordinator dari salah satu produsen instrumen elektronik digital Jerman.

Sudah seminggu ini aku harus turun tangan sendiri membenahi gangguan jalur sistem PLC (Programmable Logic Controller) yang terhubung pada DCS (Distributed Control System) dari salah satu perusahaan penambang emas di Pulau Papua. Pekerjaan ini sudah kujalani selama 10 tahun tapi belum juga aku menguasainya dengan sempurna karena teknologi yang selalu berkembang.

Selagi aku mencoba membuat perkiraan teknis akan kegagalan dan gangguan sistem sambil menikmati sedikit bubur sagu, kulihat sekelebat sosok perempuan yang kukenal dengan pakaian layaknya seorang dokter, namun dia menggunakan kerudung khas seorang biarawati.

Kuamati tingkahnya yang saat itu seperti sedang terburu-buru. Setelah agak lama aku yakin dialah Raden Ayu Retno Sulistyaningsih. Lalu aku dekati dia yang sedang fokus pada apa yang dilakukannya, kucoba menyapanya;

" Den Ayu Retno Sulistyaningsih, benarkah ini Anda ? "

Terhenyak biarawati itu mendengar sapaan dan pertanyaanku, lalu dia menengok sambil mengernyitkan dahi:
" Bapak siapa ? "

" Den Ayu mungkin lupa kepada saya, tapi saya takkan melupakan Den Ayu." Jawabku setelah yakin benar bahwa biarawati itu adalah Den Ayu Retno Sulistyaningsih.

" Rupanya Den Ayu jadi juga untuk menjalani hidup sebagai biarawati sejak pertengkaran terakhir dengan Ayahanda Den Ayu, Den Ngabehi Sunaraji." Lanjutku memberanikan diri sekaligus untuk menyegarkan ingatannya.

" Aaahh, kowe Siswoyo ta (kamu Siswoyo kan) ? "

" Akhirnya Den Ayu ingat juga siapa saya. "

" Maaf, Sis aku di sini dikenal sebagai Suster Angelina, kamu ingat kan nama baptisku Angelina ? "
" Iya, saya ingat. Suster dalam rangka apa kok tiba di sini, di perusahaan penambangan ini ? " Tanyaku penasaran.

" Tadi ada penduduk lokal yang terlukai oleh peralatan berat perusahaan ini, tapi kami kekurangan obat-obatan, pula peristiwa itu menjadi tanggung jawab perusahaan ini, maka kami meminta fasilitas pengobatan yang ada di sini. Maaf Sis, aku harus bergegas, jika ingin menemuiku tanyakan pada orang-orang di sini tempat Mama Dokter Angelina, mereka akan menunjukkan tempatku." Kata Den Ayu Retno bergegas bahkan setengah berlari meninggalkanku.

Kuikuti langkah-langkah cepat Den Ayu Retno atau yang lebih dikenal sebagai Mama Dokter Angelina atau Suster Angelina yang meninggalkan ruangan ini dengan pandanganku.

Aku ditugaskan di Papua ini selama 3 bulan, saat ini baru menginjak akhir bulan pertama dan tahap terakhir gangguan yang tersulit harus kuselesaikan, namun konsentrasiku terpecah sejak bertemu Den Ayu Retno hari ini.

Rasa penasaranku semakin besar sejak tak bertemu lebih dari 15 tahun, aku ingin tahu lebih banyak kisah hidup yang dijalaninya selama ini, pula untuk melepas rindu padanya. Tak terlalu lama aku menemukan tempat Retno yang terkenal itu, karena hanya dia dokter satu-satunya yang sekaligus biarawati di sini. Dia ditempatkan di sebuah klinik kecil milik Susteran Puteri Bunda Hati Kudus yang berpusat di Merauke. Dia tinggal di satu paviliun kecil bersahaja di sayap utara klinik bersama tiga suster lain yang berketrampilan sebagai perawat.Hari itu telah lepas senja ketika aku bertandang ke kliniknya, samar-samar kudengar suara-suara nyanyian pujian klasik gerejawi kepada Tuhan yang dinyanyikan oleh anak-anak. Suasana yang remang-remang karena minimnya penerangan akibat listrik hanya disediakan oleh beberapa perusahaan pertambangan membuat alunan pujian itu seolah-olah membawaku ke abad 15.

Ketika aku mengetuk pintu paviliun kudengar suara riuh anak-anak serempak mempersilakan dari dalam.

" Silakan masuk, bapa. "

Retno dengan sigap memperkenalkan aku kepada mereka sebagai saudaranya dari jauh," Ini saudara Mama Angelina anak-anak. "

" Selamat sore bapa saudara Mama Angelina. " Sambut anak-anak itu dengan riuhnya.

Sungguh satu pemandangan yang mampu meluruhkan hati yang keras dan jiwa yang culas jika mengamati keluguan mereka.

" Selamat sore anak-anak," Jawabku dengan mimik wajah kubuat lucu, lalu meledaklah tawa mereka.Aku meminta izin untuk bertemu secara pribadi dengan Retno barang satu hingga dua jam kepada salah satu suster teman Retno, lalu dia mempersilakan aku ke ruang tamu.

" Mereka anak-anak sekitar sini, anak-anak para pendulang emas dari limbah pasir pertambangan. " Ungkap Retno membuka pembicaraan kami.

" Bagaimana kabarmu Sis ? Bagaimana pula kabar Mbakyu Sukarti ? "

" Beginilah aku sekarang, jadi montir elektronik. " Jawabku berkelakar.

" Mbakyu Sukarti sekarang tinggal di Semarang bersama keluarganya. Dia dan suaminya mengembangkan klinik ibu dan anak."

" Kabarmu sendiri gimana Ret ? Semenjak bapakku purna tugas di tempat ramamu, aku tak tahu lagi berita tentangmu. "

" Beginilah aku, setelah selesai kuliah kedokteran aku berpraktek dokter umum sebentar..eee sekitar tiga tahun, lalu aku mengambil spesialisasi internist. "

" Lalu, apa yang membawamu hingga menjadi biarawati di sini, di tanah Papua ? "

" Aku sebenarnya masih novis, belum menjadi biarawati, pendidikanku baru berjalan di tahun kedua, tahun ini. "

" Jika masih novis, kok sudah ditempatkan terpisah dari indukmu di Merauke ? "

" Tenaga ahli kesehatan sangat minim di sini, sementara kebutuhan sangat mendesak, maka dengan pertimbangan kemanusiaan muder provinsialat Merauke memintaku mengemban tugas ini. "

" Lalu bagaimana denganmu Sis, apa yang membawamu hingga ke tanah Papua ? "

" Apa anak dan isterimu tidak bermasalah dengan itu ? Atau mereka di sini juga ? " Tanya Retno kepadaku dengan beruntun.

" Aku sampai di Papua ini, dalam tugas technical service selama 3 bulan. "

" Aku belum berkeluarga Ret, bahkan calon isteri pun belum, beberapa kali masa pacaranku kandas, yang terakhir bahkan sudah sampai uji kanonik, masih gagal juga. Akhirnya aku lebih baik berhenti mencari daripada membuang waktuku untuk satu kegagalan. "

" Kamu kok berubah begitu Sis, dulu kamu adalah orang paling optimis bersama mbakyumu, Sukarti. "

" Apakah kamu sudah tak percaya lagi akan mujizat dan kekuatan doa Sis ? "

" Sesuatu yang tak terukur sebaiknya jangan diikuti, itulah pelajaran kehidupan yang kudapat, Ret. "

" Bukankah Tuhan itu tak terukur, tetapi kenapa kamu masih mengikuti-Nya, Sis. "

" Dalam ukuran ketuhanan tiada yang tak terukur, tapi dalam wilayah kemanusiaan banyak yang tak terukur, Ret. Itulah mengapa aku masih mengikuti-Nya tapi aku mengikuti Beliau sejauh hal-hal yang dapat kuukur. "

" Tapi kami yang berkecimpung di dunia kesehatan sering melihat hal-hal yang tak terukur terjadi. "Pembicaraan kami jadi memanas seperti masa-masa remaja kami dahulu.

Kuakui Retno adalah lawan diskusi yang kritis, sering hampir memuncak ke pertengkaran tetapi akhirnya kami sudahi.Tak terasa pembicaraan panas kami telah berlangsung selama 2 jam, tiba-tiba Retno pamit hendak mengambil sesuatu dari kamarnya, lalu dia keluar sambil membawa secarik kertas lusuh.

" Ini geguritan buatanmu dulu yang aku ambil darimu. "

" Di torehanmu ini kamu menceritakan bagaimana orang harus mampu membedakan mana asmara dan mana cinta sejati. Bukankah baik cinta sejati maupun asmara adalah dua hal yang tak terukur, Sis ? "

" Geguritanmu ini pula yang membuatku mengikuti pendidikan novisiat ini, untuk mencari cinta sejati. " Ucap Retno dengan nada lembut.

" Ahh, sudahlah Ret, itu kan romantika masa remaja, masa-masa hitam-putih, masa dimana seseorang belum mampu membedakan antara mimpi dan cita-cita. " Sahutku pelan.

Aku lalu mohon pamit untuk kembali ke guess house pertambangan.

Selama dua bulan berikutnya aku sering bertandang ke klinik Retno atau Suster Angelina ini. Kenangan-kenangan akan kebersamaan kami dahulu yang hilang perlahan kembali satu per satu. Obrolan-obrolan bersama itu semakin membuka hati kami berdua, hingga Retno bercerita bahwa dia pun sebenarnya mengalami kekeringan jiwa dalam mengikuti pendidikan novisiat susteran, banyak hal yang tidak sesuai dengan impiannya akan kehidupan kontemplatif yang dia dambakan.

Pada salah satu pertemuan kami yang lebih banyak diisi kisah Den Ayu Retno, dia menceritakan kejenuhannya di biara dan beberapa hal yang seharusnya dia rahasiakan.

" Sis, terus terang aku mulai jenuh dengan pendidikan novisiat ini."

" Kenapa Ret ? "

" Aku tak bisa sepenuhnya menjalani hidup kontemplasi, banyak yang membutuhkan bantuanku di sini, bisa dikatakan setiap menit aku harus bergerak untuk menolong mereka. "

" Mungkin ini merupakan ujian untukmu, Ret. "

" Tuhan sedang menguji seberapa besar cintamu pada-Nya."

" Aaah, jawabanmu klise, sama seperti ibu pembimbing rohaniku. " keluh Retno sambil merajuk manja. Jika dia bersikap begini hilang sudah pembawaannya sebagai biarawati, dia kembali seperti Retno yang dulu kukenal.

" Aku sering merasa bersalah kepada orang-orang yang harus kutolong, jika aku harus berlama-lama melakukan ritual doa. "

" Oh Den Ayu Retnoku yang cantik, kejenuhan itu wajar, rasa bersalah pun wajar. Kehidupan doamu mungkin juga ikut membantu mereka yang sedang sakit. "

" Siswoyo, ternyata kamu orang yang plin-plan." Ujar Retno dengan agak kecewa.

" Beberapa waktu lalu kamu pernah berkata kepadaku bahwa kamu hanya mempercayai segala hal yang terukur, lalu mengapa kau katakan kehidupan doaku membantu mereka , bukankah itu tidak terukur ? "

" Doa bagi kita itu memang tidak terukur, tapi bagi Tuhan doa itu terukur terlebih sebagai ukuran akan kepedulian dan ketulusan terhadap sesama kita, Ret. "

" Artinya tidak bisa dijadikan ukuran sebagai pertolongan untuk penyelamatan nyawa bukan ? "

" Memang, karena hanya Tuhanlah yang menentukan hal semacam itu. Itu hak Tuhan. "

" Di sinilah kamu plin-plan, Sis. "

" Aku masih mempercayai bahwa hal-hal yang tak terukur oleh kita, terukur bagi Tuhan. " tegasku kembali.

" Baiklah Den Ayu, jika kamu memang lebih terpanggil menjalani hidupmu sebagai dokter, jalanilah sepenuh hati dengan segenap kekuatanmu, dengan segenap akal budimu. "

" Tapi Sis, aku tidak ingin memperdagangkan kemampuanku sebagai dokter. Aku mungkin tampak sebagai idealis bodoh, mengatakan hal ini, kepadamu. "

" Dirimu adalah gadis tercerdas yang pernah kukenal dalam hidupku Den Ayu. " Pujiku padanya meluncur begitu saja dari mulutku.

" Kamu masih naksir aku seperti 20 tahun lalu ya, Sis ? "

" Sosokmu selalu menempati 'suite' dihatiku Den Ayu...selalu. " Kini jawabanku jauh lebih baik daripada 20 tahun lalu yang hanya mampu menyangkal dengan terbata-bata.

Kami berdua terdiam cukup lama dan saling pandang, meniti rasa di tiap jalur-jalur keinginan hati kami masing-masing.

" Menikahlah denganku Den Ayu, lalu kita buat klinik nirlaba di sini di Papua ini, kita didik anak-anak cerdas di sini dengan ilmu medismu, jadikan mereka tangan-tangan Tuhan yang mampu menolong sesama mereka. " Pintaku sebagai lamaran spontan.

Den Ayu Retno lalu meraih tanganku menggenggamnya erat-erat lalu mengangguk mengiyakan permintaanku.

Malam itu menjadi malam terindah dalam hidupku, malam yang sedikit banyak mengubah pandanganku akan kebaikan Tuhan.

Selasa, 22 Juni 2010

SANG GURU TARI (Sebuah Pertemuan dengan Aku Sejati)

Sudah lebih dari duapuluh tahun aku mengelana di padang pasir ini, sehampar padang pasir tanpa tepi. Aku terdampar di sini tepat setelah peringatan hari lahirku yang ke delapanbelas, terpisah dari kedua orang tuaku yang membawa kabilah emas dan kemenyan. Aku terpisah setelah badai pasir yang besar, dan sisa bekalku saat itu hanya tinggal sekantung air dan tiga potong roti khamir. Kususuri ribuan depa setiap lepas fajar hingga hari dipeluk petang selama duapuluh tahun ini, tetapi belum juga kutemui tepi-tepinya. Setiap aku lepas rehat malam esoknya pasti berubah.

Beberapa kali kubertemu musafir lewat dan kutanyai dengan ratapan,”Wahai musafir bijak tunjukkan pada hamba tepi-tepi hampar pembuta mata ini.” Beberapa musafir menjawabku dengan senyum lalu pergi, yang lain menjawabku berurai bunga-bunga kata bersayap hingga membuat mataku berkunang-kunang dan telingaku berdenging-denging, ada pula musafir yang kutanya apa nama padang pasir ini, dan dijawab ‘padang pasir tanpa nama,’ akhirnya aku hanya terduduk lemas memandangi tepi yang bukan tepi.

Setiap terik kucari peneduh yang bukan peneduh, dahaga kuseka air yang bukan air. Duapuluh tahun ini makananku kotoran nazar yang jatuh atau kotoran unta yang tergeletak, minum dari keringatku sendiri dari air kencingku sendiri bila beruntungpun bisa menadah kencing unta, aku telah tak tahu apakah aku ini, aku sudah lelah bertanya siapa aku, menggelandang aku di ceruk-ceruk gersang berharap ada susuan bumi di sana. Ketika kumohon pada Sang Pemilik untuk mematikan aku di kering malam, desau angin menjawabku,”Bodoh ! Kamu sudah mati untuk apa minta mati ?”

Hari ini kususuri lagi bukit-bukit berpasir panas, kujalani dengan telapak kelupas tanpa harap kapan kan lepas, hanya bertepi bayang setitik kuhela seretan langkahku. “Wahai Sang Pemilik Jiwa, jika memang ini alam kematianku, apa salahku ?” kubergumam dalam lunglaiku.

Tak seperti biasanya hari ini, panas membuat kulitku meranggas, lepas sekelupas demi sekelupas, kutersenyum menikmati derita sakit ini, kupikir inilah saatnya Sang Pemilik mengambilku. Hausku yang semakin menusuk kerongkongan semakin meyakinkan aku inilah saatnya Sang Pemilik mencabut sekerat jiwaku, ya, aku bergembira karena makin tingginya takik deritaku . Aku jatuh, nafasku jadi mengetat satu-satu. Semakin ketat nafasku, semakin tenang aku, ya, ini saatnya selesai perjalananku di padang pasir tanpa nama.

Entah berapa lama aku tergeletak, aku siuman lagi, kupincingkan mata berharap teduh surga, tapi tetap silau seperti yang lalu, kuraba tanah harap rumput surga kugenggam, tapi tetap pasir seperti dulu. Aah, ada urai gubah di sini padahal belum pula lepas malam, kulihat luas enam-tujuh depa tanah menghijau di kejauhan seratus depa, berpayung pohon zaitun dan kurma menjulang, “itukah surga ?” gumamku. Kupacu rangkakku dengan setengah jengkal sisa keratan jiwa, harap tipis itulah surga bukan bayang iblis penipu hati.

Kusampai di sana, kuraba tanah rumput, “dingin,” gumamku, kumaju sekuku, “embun,” gumamku lagi. Kujilati rerumputan itu, embun dingin kucecap, suatu rasa dingin dari lebih 20 tahun yang lalu, rasa yang sudah terlupa. Segar yang sudah kulupa menyeruak gelung-gelung kerongkonganku. Kuatku bertambah sepotong demi sepotong, jiwaku menebal selembar demi selembar, aah, ini surga,”ucapku dalam hati. Berdiri aku terhuyung, langkah tertatih kuingsut maju. Oooh, oase,” desahku gembira, kuminum berteguk-teguk air oase dihadapanku kupuaskan dahagaku yang tertunda selama 20 tahun. Kenyang air aku, kuhenti sejenak, lalu kutatap pohon kurma di sampingku, seonggok kurma matang berada tepat di sebelah kananku, buah yang tak kutemui selama duapuluh tahun ini. Kukenyangkan laparku yang terlupa serasa beratus abad.

“Puaskah kamu ?” tiba-tiba serenteng kata-kata menghembus seperti angin mendesir telingaku.
”Anginkah kamu ?” tanyaku sembari menengok kiri kanan dan mencari asal-usul kalimat itu.
“Bukan, lihatlah kemari,” kata suara angin itu.
Kutengok sebelah kananku, entah kapan dia datang tiba-tiba sudah berada di bawah pohon kurma. Kuamati sosok itu, sosok yang membuatku terhuyung mundur. Perawakannya sama dengan aku bahkan wajahnya pun plagiat wajahku, tetapi berbeda rona denganku, dia mempunyai rona bahagia sedangkan aku rona pohon wijen kering. Pakaiannya sederhana namun berkilau, ditangannya memegang rebana kecil dan dipinggangnya terselip sebatang seruling dari ranting zaitun.
“Siapakah Anda wahai pemilik oase, hamba mohon maaf telah mengusik tempat Paduka.” Ungkapku sambil bersujud di hadapannya.
“Aku ?” selorohnya, “Aku adalah Aku yang kau lupakan, dan tempat ini adalah tempatmu yang kau singkirkan,” jawabnya pula.
“Maksud Paduka ?” tanyaku tak mengerti ungkapannya yang begitu membingungkan.
Dia lalu memainkan rebana dan bersyair:

“ Sealun nafis berbelas tahun lalu
Kita bersama menggaris hidup
Meniti duka mengais bahagia

(Interlude rebana: tak, tak, tratak tak bam)
Sekuak bilur menebas galau
Menyabit suluh jiwa yang redup
Melepas bimbing rasa terima”


Syairnya begitu gaib, begitu mistis mendebam jantungku, seulas kata demi seulas kata menarikku ke hidup lalu. Dikaitnya aku dengan kekang gaib tak kelihatan, jiwaku terserak di antara jembatan-jembatan waktu, dibantingnya aku ke dalam ceruk-ceruk kekecewaan masa dulu, dilemparnya aku ke atas tumpukan kesedihan lampau. Sakit aku di sana, merana aku diombang-ambingkannya. Tertindih aku di bawah gilas-gilas kegalauan, lalu terpelanting aku kembali ke saat kini.

Limbung, pusing, berdenging-denging telingaku. Sejenak kuhela nafas pendek-memendek, dengus-berdengus hidungku perih. Sekuku demi sekuku sadarku kembali.

“Apa yang kau lihat wahai aku ?” ucapnya lembut menghujam
“Semburat apa yang kau wawas wahai aku ?”
“Kecewa, sedih, galau, merana, lebur.” Jawabku pelan mengerang.
“Itulah badai pasirmu wahai aku,” ucapnya dalam kalimat mencengkeram jiwa.
”Di situ kau tinggalkan Sejatimu wahai aku,”
”Kau lupakan tarian jiwamu yang Kuajarkan wahai aku,”
”Ulasan Paduka memusingkan hamba,” jawabku gulana.

Dia terdiam lalu mengamatiku dengan tatapan mengiris potongan-potongan nadi gaibku. Lalu dia menarik seruling zaitun dari pinggangnya, ditiupnya dengan nada lembut mengalun mistis.

“Wahai sang musafir dalih
Tuntaskah hatimu beralih ?
Kau gusur nyata alihkan angan
Suaikah jiwamu di tepi rangan ?

Lalukan aku simpar ke ceruk jurang
Lontar hasratmu ke buai goda
Terukkan niatmu beradu kata
Keluhmu terali ruji bersarang

Jelai gandum seikat kau buang
Ganti remah lumpur jamban
Pasir-pasir pun kau jerang
Tahi pun kau timang kau emban.”


“Ah, Paduka sakti rupanya, berulah syair di dalam hembusan seruling, maaf, hamba mohon maaf.” Ungkapku dalam ketakziman.

“Wahai sang musafir dungu
Tulikah lorong telingamu ?
Syairku ini isian benakmu
Ulahmu itu lemak galaumu

Wahai sang musafir dungu
Kau lesatkan panah jiwamu
Pisahkan dia dari bimbingKu
Kau kais angan kau buang Aku.”


Melengking kini nada serulingnya bak seorang ibu menjuntaikan amarahnya menghantam degup jantungku. Menarik lagi tulang-tulang atmaku, ditenggelamkannya aku dalam peringatan-peringatan masa berantahku. Remuk isi benakku terburai terkapar-kapar, lalu hilang wawasku.

Sepanjang apa aku tak tahu pingsanku, hari ini bak tak ada malam. Seusap dingin melerai pingsanku, kucuran air mengulas dahi dan bibirku.

“Apa yang kau rasakan wahai aku ?” Tanya Tuan Paduka selepas kembali sadarku.

“Hamba merasakan penolakan.”
“Hamba merasakan ketidaksabaran.”
“Hamba merasakan kesombongan.”
“Hamba merasakan keserakahan.”
“Hamba merasakan kemurkaan.”
“Hamba merasakan ketumpulan hati.”
Jawabku berurai air mata.

“Itulah dirimu wahai aku.” Ucapnya berwibawa
“Kau sabungkan Aku dengan ilmu-ilmumu.”
“Rancak kau berucap bak dunia di genggammu.”
“Kau hantamkan benakmu pada dunia semu.”
“Kau lupa menarikan jiwa pengindah cinta”
“Kau fikir gerak sepuluh jarimu cabaran dariKu.”
“Kau fikir benakmu kan fahamkan semua.”
“Itulah kembaramu di tilam pasir tanpa nama,”


“Ohhh, Paduka Mulia sekarang hamba mengerti, hamba mohon beribu maaf Paduka, karena hamba meninggalkan Paduka.” Aku bersujud dan kubenturkan dahiku ke tanah, sesal dalam melibat aku.

“Mari, menarilah kembali bersamaKu.” Ajaknya sembari mengulurkan tangan.
“Kuajari kau dari semula gerak, semula-mula gerak yang kau singkirkan.”
“Berdirilah siapkan lekuk kakimu, angkat kedua tanganmu, sentuh degup jantungmu.”
“Angkat tangan kirimu, rasakan angin membelaimu.” PerintahNya sambil memberiku singkapan-singkapan gerak.

Kucoba mengikuti setiap langkah geraknya, aahh, aneh sepertinya aku dulu pernah melakukannya di zaman entah. Semakin lama semakin mudah aku mengikuti gerakan tariannya, hatiku penuh terisi perasaan senang yang entah darimana.

Mistis, ketika Dia menari di atas tepian pasir oase tiba-tiba tumbuh rumput dari bekas jalinan-jalinan gerak telapak kakinya. Semakin cepat dia menari semakin berimbuh rumput-rumput yang tumbuh, bahkan bunga-bungapun bermekaran ikut menari.

Terdiam aku melihat tariannya, beringsut mundur aku, terduduk heran. Setiap gerak tangannya mendulang angin menyiangi panas dari sejuk, tunas-tunas zaitun dan kurma pun seruak menghijau pupus. Lama aku menikmati tarian mistisnya yang menjaring hingga tepian-tepian gaib.

“Ayolah, mari menari bersamaKu, jangan teronggok disitu !” serunya memerintah.
“Paduka Tuan, saya takjub dengan tarian Paduka yang gaib, menumbuhkan setiap tunas kehidupan dan membangkitkan yang layu.” Seruku takjub tak henti.
“Akankah kau hanya memandangi, wahai aku ?” memerintah pula dia dalam tanya.
“Mari, Kuajari kau menari di atas pasir.”

Kuikuti arahNya ke pasir tepian oase, lalu aku menari lagi bersamaNya di atas pasir. Kutarikan tarianku mengikuti perasaanku, aduh, bukan rumput yang tumbuh di bawah kakiku tetapi onak duri setajam paku berulah di situ. Terpincang-pincang aku, lalu kuhela tarianku.

“Paduka Tuan, hamba tak segaib Paduka.”
“Onak duri yang berulah di bawah telapak kaki hamba.”
“Jangan kau puja amarah, jangan kau puja pedih, jangan kau puja kesenangan, larutkan semua dalam ketulusan.” Ujarnya sambil menari dan tetap tak henti.

Kuulangi lagi tarianku, kuulas setiap rasaku di titian gerak, aahh, inikah maksud Paduka Tuan, dari setiap rasa yang muncul akan meninggikan onak duri, kucoba menari dalam rasa, kucari tulus dalam tiap titian ruang hatiku, kupancarkan untuk melarutkan amarah, pedih dan kesenangan dari gerak tariku. Kumenari lagi, menari lagi dan rasa tulus pun semakin meluas dalam tarianku, kumenari lagi, menari lagi dan onak duri pun berubah rupa menjadi rumput lembut menghijau.

Tulus itu berubah menjadi bahagia dalam tarianku, gerak tanganku menyiangi angin melerai sejuk dari panas, entah aku tak lelah, hanya menari dan menari, seluruh jiwaku menari.

“Kini saatnya kau kembali padaKu wahai aku.” Kata Paduka Tuan, dan tiba-tiba dirinya menjadi cahaya menyilaukan lalu merasuk tubuhku.

Tarianku semakin meluas, kutarikan diriku di atas hamparan pasir tanpa tepi ini dan rumputpun tumbuh di sana, tarianku kutandangkan pula semakin jauh dan bunga-bungapun bermekaran di sana.

Kini angin pun mendendangkan syair bagi tarianku, dan hamparan padang pasirpun semakin menipis. Tak kucari sudah tepi-tepi padang pasir ini karena tepi-tepinya ada dalam jiwaku, karena tepi-tepinya ada dalam hatiku, karena tepi-tepinya ada dalam tarianku.

“Berulah tari wahai jiwa mulia
Singkapkan kira alih kan rasa
Sepulung janji lainkan nyata
Rombakkan rusuh mengilang duka

Tempayan angan pecah berpuing
Guratan kira pucuk berpaling
Ber-angan salah ber-angan benar
Sandungan hati sebabkan nanar.

Pusar hati hanyalah bertulus
Rancak kata rusuhkan benak
Olak murka lantakkan halus
Emban duka rusakkan benak. “


Menarilah aku sepanjang umurku.

TAMAT

Sabtu, 05 Juni 2010

Isteriku, Maaf Aku Mencintai Anakmu. (Sebuah Potret Keluarga Berantakan)

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Prolog:
Sepotong kisah sumbang di tengah masyarakat bisa jadi hanya merupakan pucuk 'iceberg' dari kisah-kisah sumbang sejenis yang laten dan bahkan ingin diingkari oleh masyarakat itu sendiri.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~


Tergolek tengkurap aku di atas pembaringan serasa ingin memalingkan seluruh hidupku dari dunia ini, lunglai, malu pada janjiku, seikat janji yang kuikrar untuk isteriku bahwa aku akan memperlakukan Delaneira Gisela Hayuningtyas anak tiriku dari isteriku Joan Margot Kartika tak ubahnya sebagai anak sendiri, telah kulanggar, bahkan dengan senang hati. Tersedan tanpa tangis hanya sesenggukan yang keluar dari mulutku, hari ini telah kulanggar untuk kesekian kali ikrarku pada isteriku.
Tiba-tiba sepasang lengan lembut menggelayut dari belakang, dan tubuh lembut tanpa busana menindihku dari belakang.

“Ayaah…kok nangis sih ?” bisik Gisel – demikian aku memanggilnya – dengan lembut, “Ayah malu ya dengan hubungan kita ?”

Aku hanya mampu meneruskan sedu-sedanku dan dengan lembut Gisel mengusap seluruh air mataku.

“Ayah menyesal karena kita jadi sepasang kekasih ?” Tanya Gisel dengan manjanya.

Aku berbalik pelan, kudekap tubuhnya lalu kuciumi kening dan ubun-ubunnya, ciuman seorang ayah pada anaknya.

“Aku mencintaimu, Yah, lebih dari Mama mencintai dirimu.”

“Coba Ayah lihat sampai larut malam begini Mama belum juga pulang juga.”

Aku hanya mendorong lembut Gisel, “Sudahlah, kamu berpakaian, sana,” perintahku dengan lemah menahan rasa berdosa.

Setelah aku berpakaian, aku menyuruh Gisel untuk tidur supaya besok tidak bangun terlalu siang di Hari Minggu. Kulirik jam dinding di ruang tamu, sudah hampir jam 12 malam dan isteriku belum pulang dari pekerjaannya, di Hari Sabtu ini.

Semenjak Joan dipromosikan menjadi Region Secretary diperusahaannya untuk membawahi wilayah Asia Pasifik 2 tahun lalu perlahan-lahan hubungan kami menjadi dingin. Waktu pertemuan kami menjadi begitu jarang bahkan kami menjadi saling asing, walaupun kami selalu berusaha menyempatkan diri meluangkan waktu untuk berdua.

Kubuat secangkir kopi untuk mengusir kantuk demi menunggui isteriku pulang, lalu kutunggui isteriku di beranda rumah dengan berteman laptop untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tertunda sekaligus berkelana di dunia maya, namun bayangan perbuatanku tadi tak juga hilang dari benakku, Oh Tuhan rasanya ingin lari dan lari.

Bahtera perkawinan kami diawali sejak 8 tahun lalu, Joan adalah seorang janda sekaligus single parent bagi Gisel yang waktu itu baru berusia sembilan tahun. Pertemuan kami diawali dari chatting di internet, dari chatting itu akhirnya kami sepakat bertemu untuk makan malam bersama, suatu candle light dinner. Peristiwa delapan tahun yang lalu di pertemuan pertama kami masih membekas begitu dalam, Joan yang saat itu masih berusia 28 tahun sangat cantik bergaun malam satin warna silver, dengan menggandeng Gisel kecil yang lucu dan manis. Suatu pertemuan yang indah malam itu dan selalu menjadi fokus kekuatan kami mempertahankan ikatan perkawinan hingga detik ini. Perkawinan pertama Joan hanya bertahan selama satu tahun dengan seorang pria berkebangsaan Yunani dan dari perkawinan itu lahirlah Gisel.

Gisel kecil 8 tahun yang lalu begitu mungil dan lincah dengan bibit kecantikan yang sudah tampak, kami berdua cepat akrab karena memang Gisel merindukan sosok ayah yang tak pernah diperolehnya sejak masa kanak-kanak, terlebih lagi Joan, ibunya adalah single parent yang sangat sibuk dan ekstra loyal dengan pekerjaannya, aku memaklumi hal itu karena Joan berbuat seperti itu juga demi kebahagiaan anaknya, seikat keinginan mulia seorang ibu.

Aku sendiri hanyalah seorang bujangan yang sudah cukup umur saat itu, sudah 35 tahun dan belum ada seorang perempuan pun yang sudi menyinggahkan cintaku di hatinya. Beberapa perempuan sebelum bertemu copy darat denganku sangat tertarik dengan pembawaanku menyampaikan pendapat, namun setelah copy darat biasanya mereka langsung menghilang, hanya Joan lah, janda beranak satu yang mau bersamaku menuju pelaminan.

Lima tahun pertama bahtera rumah tangga kami dilalui dengan masa-masa yang manis, bahkan terlalu manis bagiku. Aku hanyalah seorang wiraswastawan di bidang electrical engineering consultant, Joan seorang corporate secretary dan kami mempunyai kelimpahan materi yang bisa dikatakan lebih dari cukup. Waktu luang kami berdua untuk Gisel lumayan intensif. Memang semenjak awal perkawinan kami, akulah yang menjadi baby sitter bagi Gisel karena waktu luangku di rumah jauh lebih banyak. Aku yang memandikan Gisel setiap hari ketika semasa SD, menyiapkan keperluan sekolahnya, mengajarinya mata pelajaran sekolah hingga membacakan dongeng sebelum tidur. Canda tawa akrab Joan dan Gisel selalu menjadi penghiburan tersendiri bagiku untuk melepas kepenatan hari-hariku.

Perubahan besar yang menuju hubungan sumbang ini dimulai ketika bahtera rumah tangga kami menginjak tahun keenam, waktu itu isteriku dipromosikan menjadi region secretary yang membawahi wilayah Asia Pasifik, beban kerjanya yang semakin meningkat sering memaksa isteriku pulang larut malam. Enam bulan semejak isteriku menduduki jabatan barunya, terasa ada yang hilang selepas senja, rumah kami selalu terasa sepi karena tanpa canda tawa seperti dulu. Kami hanya bertiga, aku, Gisel dan Bi Narti pembantu kami. Sering kulihat Gisel selepas belajar memandang keluar jendela melihat kalau-kalau mobil ibunya sudah sampai di depan pagar. Sering aku merasa kasihan padanya, kudekap erat dari belakang sambil sama-sama kami pandangi keluar jendela.

I missed mom, keluhnya setiap kali memandangi keluar jendela.

“Aku juga kehilangan ibumu, Nak,” jawabku menimpali keluhnya.

Sering kuciumi ubun-ubunnya untuk sekedar menenangkan hatinya yang gundah. Gisel benar-benar kehilangan momen-momen girl’s talk dengan ibunya. Aku hanya mampu menarik nafas panjang jika melihat Gisel begini.

Aku akhirnya berusaha menempatkan diriku pada posisi Joan, kubeli banyak buku panduan praktis tentang psikologi gadis remaja, fashion, hingga bertanya dengan beberapa psikolog kenalanku. Itu semua demi menutupi lubang emosi yang menganga selama enam bulan lebih, dengan sedikit usaha akhirnya aku mampu menempatkan diriku pada posisi Joan, karena memang kami sudah akrab sebelumnya.

Perlahan Gisel mau menceritakan pengalaman-pengalaman girly-nya di sekolah, tentang cowok-cowok yang tergila-gila padanya, tentang fashion remaja, bahkan sampai hal-hal genital yang paling privasi dari dirinya diceritakannya kepadaku dengan terus terang. Walaupun aku kadang-kadang jengah jika dia bercerita, tapi aku mengingat sudah berniat menggantikan posisi Joan yang hilang.

Di suatu temaram hari yang masih cerah saat-saat senyum surya mulai beranjak undur diri berganti sang dewi malam, saat aku sedang memerah kemampuanku menggali setumpuk buku-buku standar kelistrikan sambil duduk rebahan di sofa, tiba-tiba Gisel melompat menindihku memburaikan semua konsentrasi dan tumpukan buku-buku standarku.

”Sore Ayaaah,” teriaknya ceria, tak seperti biasanya dia begini.

“So..sore, Nak, kok kamu ceria sekali sore ini,” jawabku agak tergagap oleh tingkahnya.

“Aku sekarang tahu siapa yang pantas jadi kekasihku, Yah,” selorohnya gembira.

“Ooh ya, siapa cowok kamu sukai itu, Nak ?” tanyaku menyelidik.

“Emmm, orangnya seumuran dengan Ayah,” katanya sambil menatapku dengan berbinar-binar, dengan tetap menindihku.

“Haahh ! Kamu menyintai oom-oom ?” sergahku karena kaget.

“Iiiihhhh, Ayah diam dulu dong !” sahutnya manja.

“Emmm, orangnya sama tampan dengan Ayah.” Katanya lagi sambil tersenyum kecil.

Truss, namanya sama dengan Ayah.” Katanya sambil matanya menatapku manja, sebersit tatapan seorang gadis terhadap kekasihnya.

Aah, mana mungkin yang seperti itu ada, kemungkinannya satu berbanding satu milyar.” Jawabku tak percaya, namun aku masih ingin tahu lebih jauh, siapa tahu Gisel dipelet seseorang setua aku, maklumlah gadis remaja secantik Gisel adalah seperti mawar yang baru mekar, sangat mungkin banyak orang ingin memanfaatkan kecantikannya untuk hal-hal yang tidak senonoh.

“Ayah ingin tahu siapa dan di mana orang itu !” Perintahku pada Gisel dengan nada agak keras.

Perlahan Gisel mendekatkan mulutnya ke telingaku dan berbisik, “Orangnya ada di bawah tindihanku sekarang,” kemudian dia mencium pipiku.

Aku terkesiap demi mendengar jawabannya yang di luar dugaanku, memang kuakui sebagai laki-laki normal kadang-kadang berdesir minat kelaki-lakianku jika memeluk Gisel. Namun yang benar-benar di luar dugaanku adalah pengakuan Gisel tadi. Tak kunyana Gisel jatuh cinta padaku, tetapi bagaimanapun aku harus tetap bersikap sebagai ayah baginya.

“Gisel anakku, aku ini ayahmu, kok kamu bilang pantas jadi kekasihmu, jangan ngelantur kamu, Nak,” ucapku lembut sambil kukecup kening dan pipinya.

“Ayah bukan ayah kandungku, tapi ayah tiriku kita tidak punya hubungan darah, jadi Ayah boleh menjadi pangeranku ” kata Gisel semakin mendekatkan wajahnya ke wajahku.

Aku agak memundurkan kepalaku sembari menanyakan maksudnya, ”Kamu dapat pengetahuan salah dari mana, Nak ?” tanyaku sembari mengernyitkan kening karena tak percaya yang kudengar, ”Aku itu suami mamamu, jadi aku ini ayahmu, Giselku yang cantik,” ucapku menjelaskan sambil kugamit hidungnya yang bangir dengan telunjukku, sebentuk hidung Yunani peninggalan ayah kandung Gisel.

“Tadi siang di sekolah aku dapat pelajaran biologi bab genetika, dan dari situ aku tahu jika dua orang tidak mempunyai hubungan darah maka tidak mempunyai sangkutan genetik, dan jika tidak mempunyai hubungan genetik dua orang itu boleh melangsungkan perkawinan, so aku dan Ayah boleh melangsungkan perkawinan,” ungkapnya begitu lugu.

“Aduuuuh, Gisel anakku sebuah lembaga perkawinan tidak semudah dan seempirik ilmu genetika Nak, ada aturan-aturan, ada libatan-libatan emosional, dan masih banyak lagi,” jawabku sembari mengelus wajah cantik Gisel dengan punggung tanganku.

“Ayah…” desah Gisel seperti menanggung sesuatu yang berat.

“Ya, Nak,” jawabku dengan rasa memelas melihat wajahnya yang berubah menjadi sedih.

“Apakah Ayah selama ini bahagia bersama Mama ?” tanya Gisel dengan wajah sayu.

“Ayah bahagia bersama kalian berdua, Nak,” jawabku untuk menenangkan hatinya.

“Tapi aku sekarang tidak bahagia bersama Mama, Yah,” keluh Gisel dengan mata berkaca-kaca, “Mama sekarang begitu asing, tidak pernah lagi mau ngobrol denganku.”

“Mamamu sekarang sibuk berat, Nak, dia kan sekarang mengurusi seluruh kantor cabang di Asia dan Pasifik, jadi wajar kalau sampai di rumah sudah kelelahan.” Ungkapku memberinya pengertian dan ini sudah untuk kesekian kalinya.

“Apa Ayah tidak kesepian ditinggal Mama seperti ini ? Selalu pulang larut malam, apalagi kalau malam Minggu, pasti sampai pagi, ” keluh Gisel semakin dalam.

“Ayah juga merasakan hal yang sama denganmu, Nak,” jawabku.

Kami terdiam sunyi begitu lama, saling tatap dan merasakan sepi yang menyesak begitu dalam karena kehilangan sosok Joan, tak terasa wajah kami semakin mendekat, lalu kupagut bibir Gisel yang ranum dan lembut dan Gisel pun menyambutnya dengan hangat, kami saling melumat dan bergumul layaknya dua orang kekasih dan entah apa lagi yang aku lakukan aku sudah tak ingat apa-apa lagi, semuanya ditarikan oleh instingku dan insting Gisel.

Itulah kali pertama hubungan sumbang kami, hubungan yang seharusnya tetap terjalin sebagai ayah dan anak menjadi hubungan antara dua kekasih. Saat itu pulalah kukhianati ikrarku kepada Joan untuk memperlakukan Gisel sebagai anakku. Hampir satu tahun empat bulan hubungan sumbang ini kami jalani dengan diam-diam dan Gisel pun menjadi pribadi yang periang kembali sebaliknya aku menjadi serba salah walaupun kuakui cintaku sebagai kekasih kepada Gisel menjadi semakin dalam. Gisel kini sudah menginjak bangku perguruan tinggi dan dia mengambil jurusan yang sama denganku, elektro. “Sepasang kekasih harus selalu seiring sejalan, pangeranku,” kata Gisel kepadaku sebelum memutuskan mengambil jurusan elektro.

Tiba-tiba dari luar kudengar suara mesin mobil menuju pagar rumahku, kulirik jam di laptopku sudah menunjukkan pukul 3 pagi. Pagar kubukakan bagi mobil kantor isteriku, setelah mobil masuk aku bertegur sapa sekedarnya dengan Pak Kirman sopir kantor isteriku. Lalu isteriku keluar mobil dan seperti biasanya kusambut dia dengan kecupan bibir, namun kali ini wajahnya begitu masam dan dia menghindar waktu hendak kukecup.

“Ada apa honey ?” tanyaku.

Don’t honey, me !!! bentak Joan kepadaku.

Lalu aku berusaha menggamit tangannya, tetapi Joan mengibaskannya.

Don’t touch me you’re pathetic bastard, I hate you, bentaknya lagi.

You’re betrayer, disgusting !!! umpat Joan kepadaku, dan aku sudah menduga kemarahannya disebabkan oleh hubunganku dengan Gisel.

“Malam ini kamu tidur di sofa, aku jijik dengan sentuhanmu, sentuhan yang merusak anakku,” teriaknya kalap.

“Sekarang aku capek dan marah mau istirahat, besok pagi kamu dan Gisel harus menghadapku,” perintahnya seperti seorang bos terhadap bawahannya. Joan masuk rumah dengan membanting pintu.

Berdiri aku di halaman rumah memandangi langit jelang pagi yang penuh bintang dalam hati aku mengeluh, dulu aku susah sekali memperoleh pendamping hidup, kini setelah memperolehnya malahan tercerabut menuju jurang kehancuran, oh Tuhan. Pagi itu kulalui dengan perasaan bersalah, marah pada kehidupanku, menyalahkan Joan yang lebih berat pada pekerjaan daripada keluarga semuanya bercampur membuat tidurku tak nyenyak.

Pagi di hari Minggu itu pukul 9:00, kami sudah berkumpul di meja makan, namun suasana pagi itu tak seperti di waktu-waktu lalu. Sunyi terasa mencekat di antara kami, seperti sebentuk gunung yang akan meletus didahului sunyi yang mencekat. Aku dan Gisel lebih banyak menunduk menanggapi tatapan nyalang Joan yang seperti seekor singa betina lapar.

“Bi Nartiiiii, ke sini Bi !” teriak Joan memanggil Narti pembantu kami.

“Ya, Bu saya…” terdengar jawaban Narti sambil tergopoh-gopoh menuju ruang makan.

“Tolong Bi Narti ceritakan, apa yang Bi Narti lihat dari perbuatan Bapak dan Gisel !” perintah Joan kepada Narti dengan suara meradang.

Lalu Narti menceritakan semua hal yang pernah dilihatnya antara aku dan Gisel. Narti menceritakannya dengan takut-takut semua hal yang pernah dilihatnya.

“Nah, Bang sekarang apa maumu ? Kamu sudah tak mungkin mengelak lagi !” tantang Joan kepadaku.

“Ma, semua itu terjadi begitu saja, aku sudah berusaha menghindari perasaan itu, Ma…” jawabku pelan.

“Arrrrggh, bohong kamu Bang !” teriak Joan kalap menyanggah jawabanku.

“Kalau tahu bakal jadi begini aku lebih baik tetap jadi single parent dan tidak menikah denganmu, dasar penjahat kelamin !” teriak Joan lagi.

“Mama stop ! Jangan Mama maki-maki pangeranku seperti itu !” tiba-tiba Gisel berteriak tak kalah kalap dengan ibunya.

“Arrgghh, pangeran katamu ?!” teriak Joan menimpali Gisel.

“Ya, dia pangeranku Ma, selama ini Mama kemana saja haaah ?!”

“Coba, sekarang aku tanya sama Mama, apa jurusanku di perguruan tinggi ?! Tahu enggak Ma ?!”

Joan terdiam ditanyai anaknya, kebingungan harus menjawab apa.

Enggak, kan ?” sambung Gisel lagi dalam kemarahannya.

“Coba, Mama tahu enggak rangking berapa ketika aku lulus SMA ?”

Joan gelagapan ditanyai Gisel, seperti akan menyanggah tetapi tak tahu apa yang harus disanggah.

Enggak, kan ?” semakin meninggi nada kemarahan Gisel kepada ibunya.

“Mama mau pakai alasan pekerjaan ? Mama mau pakai alasan tanggung jawab jabatan ? Arrrgghh, ini bukan sinetron, Ma !” Teriak Gisel lagi.

“Ketika aku sedih Ayah menghiburku, lalu Mama kemana ? Ketika aku bertanya banyak hal Ayah menjawabku, lalu Mama di mana ?” sambung Gisel dengan kemarahan seperti air bah melanda ibunya.

“Ketika aku sakit, Mama pergi ke mana ? Australia ? New Zealand ? Thailand?” bertubi-tubi kekecewaan Gisel terhadap ibunya diungkapnya dalam bara kemarahan.

Tiba-tiba tangan Joan meraih gelas disampingnya dan menyiramkan air ke wajah Gisel lalu pergi keluar, dan kudengar suara mesin mobil dihidupkan lalu menjauh.

Kupeluk erat Gisel untuk menenangkan bara amarahnya, kuusap wajahnya yang basah oleh air siraman Joan.

“Ayah…ceraikan Mama, Yah, lalu nikahilah aku,” pinta Gisel lemah dalam sedu-sedan kekecewaannya pada Joan.

Hancur sudah hubungan ibu dan anak ini, akupun ikut merasa sangat bersalah akan hancurnya hubungan mereka berdua. Bagaimanapun juga aku yang merenggut keperawanan Gisel dan aku pasti menikahinya.

“Sayangku, malam pertamamu dulu bersamaku dan ingin kuakhiri malam-malamku selanjutnya bersamamu,” jawabku sembari kukecup bibirnya.

Hari-hari berikutnya kuisi dengan mengurus perceraian di pengadilan dan kantor catatan sipil.
Joan kembali ke rumah lamanya, Gisel lebih memilih indekost di dalam tanggunganku demi menanti usianya genap 18 tahun untuk memenuhi persyaratan hukum layak disebut sebagai cukup dewasa dan mempunyai hak lepas dari kendali ibunya. Aku menyendiri lagi sambil berharap cinta Gisel tak berpaling dariku.

Tamat.

Senin, 31 Mei 2010

Pintar dan Bodoh (Sebuah Cerita Pencerahan)

Suatu hari Guru ruang lo-han Shaolin Selatan di Songsan Sam Cia Lok ingin mencari pengganti guru ruang lo-han karena dia akan naik peringkat. Setelah menguji kanuragan ke 22 muridnya di memperoleh 5 kandidat, kemudian ke 5 kandidat ini diuji dengan hafalan Sangha sutta, Paritta, dan Dhammapada, dari ujian ini dia memperoleh 2 murid yang sama nilainya yaitu Sam Tiat Cien dan Sam Tho Cien. Bingung sang guru memilih siapa di antara kedua muridnya ini yang kelak menjadi penggantinya.

Tak kurang akal si guru mencari cara, kemudian dia masuk ke dapur dan memasak seporsi besar cap cay kemudian membaginya menjadi dua mangkok. Kedua mangkok itu dibagikan kepada kepada kedua kandidat ketua di dua ruang yang berbeda. Setelah kedua murid itu selesai makan si guru mendatangi Sam Tiat Cien lalu bertanya:

"Apa yang kau rasakan setelah makan capcay ?"

"Kenyang guru." jawab Sam Tiat Cien,

si guru pun mengangguk-angguk dan tersenyum lalu pergi m1endatangi murid kedua,

"Apa yang kau rasakan setelah makan capcay ?" tanya si guru,

"Banyak hal guru," jawab Sam Tho Cien.

"Apa saja ?",

"Rasa manis dari swi-ca/kol, renyahnya sim-ca/caisim, empuknya tofu dan semua itu ditingkahi hangatnya bawang putih dan merica serta rasa gurih dari kecap asin." jawab Sam Tho Cien.

Lalu si guru bersabda: "Sam Tho Cien mulai esok kamu adalah penggantiku"

Tidak Percaya (sebuah cerita sufistik)

Seorang pendeta sebuah kuil menemui seorang pertapa di perbukitan Kharm-el (kata Carmel dari sini yang berarti dipingit Tuhan), mereka lalu bertanya jawab.

*Pendeta: 'Apakah anda sedang mencari Tuhan ?'

*Pertapa:'Tidak'

*Pendeta:'Lalu, mengapa Anda di sini ?'

*Pertapa:'karena saya sedang bertapa.'

*Pendeta:'Berarti Anda sedang mencari Tuhan, Anda jangan berbelit-belitlah.'

*Pertapa:'karena saya memang tidak mencari Tuhan.'

*Pendeta:'Apakah Anda percaya akan adanya Tuhan ?'

*Pertapa:'Tidak.'

*Pendeta: 'Anda berarti berbohong !!!! Seseorang bertapa karena percaya pada Tuhan !!!!'

*Pertapa: 'Jika sudah melihat dan merasakan-Nya masihkah perlu meributkan percaya atau tidak percaya ?'

Seperti Apa ? (sebuah cerita sufistik)

Seorang pelajar kitab sebuah kuil ditugasi guru pendeta untuk mentobatkan seorang pertapa di Bukit T'abrouk, karena dinilai sesat.

*Pelajar: "Benarkah Bapa bertapa ?

*Pertapa:'Pendapat siapa itu ?'

*Pelajar: 'menurut orang-orang yang pernah ditolong Bapa.'

*Pertapa :'Aku tidak pernah menolong mereka.'

*Pelajar:'Lalu siapa yang menolong mereka ?'

*Pertapa:'mereka ditolong Tuhan.'

*Pelajar:'Berarti Bapa menganggap diri Bapa, Tuhan ?'

*Pertapa:'Tidak.'

*Pelajar:'Lalu mengapa Bapa katakan ditolong Tuhan.'

*Pertapa:'Tuhan menggunakan diriku untuk menolong mereka.'

*Pelajar:'Menurut Bapa Tuhan itu seperti apa ?'

*Pertapa: 'Entahlah.'

*Pelajar:'tetapi menurut berita yang saya dengar Bapa sudah bertemu Tuhan.'

*Pertapa: 'jika kuceritakan Tuhan itu seperti apa, sampai kakimu berakar di sini pun kamu tidak akan mengerti.'

*Pelajar:' Ayolah Bapa ceritakan sedikit pengetahuan Bapa.'

*Pertapa: 'Lihatlah tetanggamu, lihatlah keluargamu lihatlah orang-orang yang kau musuhi, lihatlah jalan hidup mereka, lihatlah dirimu sendiri, lihatlah jalan hidupmu, niscaya suatu saat nanti kamu akan bertemu Tuhan.'

Tuhan, Aku Menantang-Mu

Tak seperti bisanya di akhir minggu ini, aku mampu bangun pagi. Kulirik dengan mata separuh jam beker di samping tilam tidurku, owh pukul 4:30 pagi rupanya, sayup samar kudengar tilawath fajar di surau seberang mengiang irama negeri Arabi. Beranjak bangun dari ringkukku kucoba lompat satu hentakan, ahh Tuhan aku sudah tak muda lagi seperti dahulu ketika mendalami Kung Fu, hanya suara gemeratak saja yang kuhasilkan. Kusiapkan segelas kopi hitam untuk mengusir malasku, lalu kunikmati seusai mandi.


Kunaiki motor Suzuki Smashku yang butut perlahan menuju gereja untuk misa pagi pukul 7:00. Entah mengapa misa pagi ini dibawa dalam suasana Gregorian, mulai dari Kyrie Eleison hingga Agnus Dei, suasana ibadat yang membuatku serasa dalam pelukan hangat Bapa Ilahi. Usai misa aku sedikit bersapa tanya dengan beberapa teman yang kebetulan menghadiri misa pagi itu. Namun aneh, pagi itu aku sungguh enggan menggerakkan kakiku keluar dari pelataran gereja.

Sendiri kududuk di bangku paling belakang sembari memandang singgasana Tabernakel tempat Sang Misteri mahamistis bertahta. Bertahun-tahun benakku bertanya-tanya tentang janji-janji manis Tuhan, bermacam devosi telah kujalani, membalik-balik kisah Ayub di dalam Kitab Suci, hingga menggelandang ke gereja-gereja lain beraliran Protestan Karismatik tapi semua itu nihil. Janji-janji manis akan ‘upah’ kemurnian pada kejujuran, kepedulian, dan kesabaran sampai sekarang belum kucecap sedikitpun. Begitu dalam kutenggelam dalam tuntutanku kepada Tuhan hingga seusap sentuhan telapak hangat tersampir di bahuku, membuyarkan tuntutanku.
“Mas, belum pulang, masih betah di sini ?”

“Oooh, Pak Gudril, pagi Pak, berkah Dalem,” sapaku sembari bersalam erat tangannya.

“Belum Pak, saya tidak tahu mengapa hari ini malas pulang,” jawabku sambil beringsut minggir memberi tempat Pak Gudril untuk duduk di sebelahku.

“Mas, mau menemani saya berdoa Rosario sebentar ?” Tanya Pak Gudril dalam penawaran.

“Emmm, boleh.” Jawabku sedikit terpaksa, karena sebenarnya aku hanya ingin diam saja di situ.

Pak Gudril adalah koster di gereja kami, sebuah gereja di kota kecil yang masuk dalam wilayah Keuskupan Purwokerto. Nama panjangnya adalah Lukas Gudril biasa dipanggil sebagai Pak Lugu, namun aku tetap memanggilnya Pak Gudril, karena nama Gudril memberiku kesan akan keaslian Banyumasan. Pak Gudril, pria bertubuh kurus dengan bahu kiri agak sedikit miring, berambut ikal, berkulit sawo matang gelap, hidung mekar dengan bibir agak tebal, alis tebal dengan ujung-ujung mata yang turun, seraut wajah yang memang jauh dari tampan, terlebih sekarang usianya mendekati 55 tahun, paparan keriputpun menghias di mana-mana.
Usai kami berdoa Rosario Pak Gudril mengundangku ke pondoknya, pondok kosteran.

“Silakan Mas, nikmati klethi’annya, cuma lanting dan peyek kedelai hitam”, ungkap Pak Gudril sambil menyiapkan dua toples berisi lanting warna-warni dan peyek kedelai ukuran besar.

“Hanya teh hangat, Mas, mboten napa-napa nggih (tidak masalah kan) ?” ucap pak Gudril dalam logat Banyumas yang kental membawakanku dua gelas teh hijau dengan kepulan uap yang merangsang penciumanku.

“Mboten napa-napa, Pak. Kula nggih wau enjing sampun ngopi (Tidak masalah, Pak. Saya juga tadi pagi sudah ngopi).” Jawabku dengan logat yang sama.

Kuambil sepotong peyek kedelai yang memang kesukaanku sambil menghirup sedikit kepulan uap teh hijau buatan Pak Gudril. Kukunyah peyek sembari mengamati dekorasi dalam ruang pondok kosteran tempat Pak Gudril, sebentang dekorasi yang sederhana pikirku, mengungkap satu kesahajaan.

“Lagi banyak pikiran, Mas ?”, tanya Pak Gudril memecah perhatianku.

“Yaaa…” sahutku terperanjat mendengar tuduhan Pak Gudril

“Tuhan sering terlihat tidak adil ya, Mas ?” lanjut Pak Gudril sembari menilik tajam ke arah mataku.

“Maksud Bapak ?” tanyaku pura-pura bodoh sambil mencicipi teh hijau yang wanginya aduhai.

“Biasanya orang yang ingin berlama-lama di hadapan Tabernakel sedang menggendong sekarung masalah, Mas,” kata Pak Gudril sambil berkelakar, “Dan pikirannya dipenuhi kalimat-kalimat protes”, lanjutnya lagi dengan wajah serius.

Dalam hati aku bertanya-tanya, siapakah Pak Gudril ini kok kalimatnya bisa tertata apik. Memang benar aku sedang protes kepada Tuhan atas segala kesuraman yang kualami, mulai dari sejak dulu aku sekolah hingga kini sudah menghidupi diri sendiri dengan tertatih-tatih dan entah kapan akan kurengkuh mahligai perkawinan.

“Aahh, Pak Gudril ada-ada saja, saya baik-baik saja kok, Pak.” Kataku dengan senyum yang sangat kupaksakan.

“Saya serius, Mas.” Tegas Pak Gudril dengan mimik wajah mengeras, “Mas, belum berkeluarga bukan ? Mungkin masalah Mas-nya sekitar keuangan, pangkat atau jodoh, umum sekali hal ini” lanjut Pak Gudril dengan tatapan menyelidik.

“Aaah, saya tidak sedang dalam masalah kok, Pak,” jawabku sembari menghindari tatapannya yang menyeruak setiap tepian relung benakku.

“Mas-nya sudah pernah menantang Tuhan ?” Tanya Pak Gudril tegas lurus menghujam seperti sepenggal tombak pusaka menancapi jantungku.

“Aas, aam, aduuuh, Pak, tidak !” jawabku gelagapan, sembari menata hati yang terhujam tombak tanya Pak Gudril.

“Ahaa, berarti Mas-nya, sudah hampir ke titik itu,” tandas Pak Gudril menambah hujaman katanya.

“Baiklah, kalau Mas-nya ndak mau cerita, saya yang akan cerita.” Jawab Pak Gudril lalu terdiam sejenak dan menghela nafas beberapa kali, “Mas, kenal almarhum Pak Tinus yang meninggal satu tahun yang lalu ?” Tanya Pak Gudril sembari mengumpulkan kepingan-kepingan memori.

“Ya, ya, saya ingat koster terlama di gereja ini, kalau tidak salah 30 tahun menjadi koster di sini ya, Pak ?” tanyaku memastikan.

“Dialah yang mengembalikan ‘kekayaan Nabi Ayub’ kepada saya, Mas.” Ungkap Pak Gudril sembari mengambil sebingkai foto bersama mereka berdua.

“Maksud Bapak ?” tanyaku mulai tertarik dengan apa yang dikatakannya.

“Duapuluh tahun yang lalu saya pernah menantang Tuhan, Mas.” Ungkapnya lagi sambil tertunduk menatap lantai, seolah-olah adalah bentang layar kehidupannya.

“Tigapuluh tahun lalu saya adalah pemilik sebuah perusahaan kontraktor engineering, saya bekerja sama sama dengan dua orang kawan. Kami masing-masing mempunyai keahlian yang berbeda, saya dibidang kelistrikan dan instrumentasi sementara dua kawan saya masing-masing di bidang mekanika dan konstruksi sipil.” Jelasnya lagi dengan memejamkan mata dan menghela satu tarikan nafas panjang, menahannya sejenak lalu melepaskannya.

Tak bisa kubayangkan orang dengan perawakan seperti Pak Gudril adalah pemilik perusahaan dan ahli kelistrikan serta instrumentasi, suatu hal yang berbeda jika digambarkan oleh selayar sinetron. Tak bisa kubayangkan pula orang sealim Pak Gudril pernah menantang Tuhan.

“Tigapuluh tahun lalu perusahaan yang saya rintis setelah lulus STM jurusan listrik sudah maju pesat, Mas. Proyek-proyek milyaran rupiah mudah saya dapatkan.” Lanjutnya dengan mata menerawang keluar. ”Saya bersimbah harta ketika orang lain bersimbah keringat, dan itu saya syukuri, waktu itu saya sungguh merasa digendong oleh Tuhan.” Ungkap Pak Gudril dengan rona bahagia mengingat masa-masa itu.

“Saya gunakan uang yang saya miliki untuk menunjukkan status sosial saya kepada lingkungan sekitar, saya beli rumah mewah, dan dua mobil berkelas Eropa, tak lupa saya meminang seorang gadis cantik dan seksi yang menjadi sekretaris saya waktu itu, walau beda agama kami tetap nekat menikah, dan saya menikah menurut tata cara agama isteri saya.” Jelas Pak Gudril sembari menyobeki secarik kertas hingga kecil-kecil seolah-olah itu adalah memori kehidupannya yang tercabik-cabik.

“Sebagai seorang bos, waktu luang saya lumayan banyak dan itu saya gunakan untuk melanjutkan pendidikan saya hingga S1 dan S2, saya mengambil dua jurusan sekaligus instrumentasi elektrik dan psikologi, khusus psikologi saya selesaikan hingga S2 karena saya pikir adalah baik untuk menilai kondisi psikis rival-rival tender saya waktu itu.” Kenangnya seperti tercekat zaman.

“Silakan dinikmati lho, Mas teh dan makanannya, jangan terhanyut dengan kisah saya, Mas.” Kata Pak Gudril memecah konsentrasiku.

“Keadaan berbalik sepuluh tahun kemudian, salah seorang teman sekerja saya tiba-tiba mengundurkan diri dan membuat perusahaan sejenis.” Ungkapnya sambil menggeleng-gelengkan kepala, “Saya menyetujui karena saya pikir itu hal baik, sebab dia ingin mandiri, tak dinyana ternyata dia mundur sembari membawa uang hasil tender yang terakhir sebesar 8 milyar.” Lanjutnya sambil mengetuk-ngetuk meja dan tampak geram atas perbuatan rekan sekerjanya.

”Tender itu adalah tender terbesar dalam sejarah perusahaan saya Mas, bayangkan Mas, kurs Rupiah terhadap US Dollar saat itu masih dalam kisaran Rp. 4500.00 hingga Rp. 5000.00, bukan main-main” katanya lagi.

“Peristiwa itu membuat saya geram dan meradang bukan kepalang, Mas, orang yang melakukan itu akhirnya saya perkarakan di pengadilan, walaupun dia pernah menjadi kawan seiring saya dan sudah saya anggap sebagai saudara,” ungkapnya sambil menyipitkan mata.

“Kemenangan saya peroleh namun lebih dari separuh uang tender yang kembali habis untuk membayar beberapa pengacara terkenal, padahal proyek harus tetap saya jalankan karena sudah menjadi kontrak,”sekali lagi Pak Gudril menghela nafas seolah-olah membuang sesuatu dari kedalaman hatinya. “Akhirnya saya harus mendekonstruksi tabungan dan asset yang saya miliki demi berjalannya proyek.” Kemudian dia terdiam dengan mata terpejam dan nafas menjadi berat.

Kesunyian kemudian kupecah dengan tanyaku, ”waktu itu Bapak di sini, di kota ini, Pak ?”

“Tidak, Mas, waktu itu saya tinggal di kawasan Pondok Indah, Jakarta selatan.” Jelasnya.

“Ooh, jadi dulu perusahaan Pak Gudril ada di Jakarta to ?” tanyaku untuk memperjelas.

“Benar, Mas, waktu itu industrialisasi sedang digalakkan dengan mengundang investor-investor asing,” lanjut pak Gudril sambil menghirup teh hijau buatannya dan mengambil sejumput lanting.

“Wah, Pak Gudril hebat ya dulu, masih muda sudah punya perusahaan sendiri ck…ck…ck…ck.” Seruku terkagum-kagum, ”Anugerah Tuhan yang besar itu, Pak,” seruku lagi, ”saya saja sampai sekarang masih tertatih-tatih, menggotong hidup saya sendiri, Bapak sudah pernah memiliki perusahaan dengan asset yang sedemikian besar.” Ucapku lagi sembari geleng-geleng kepala.

“Tunggu dulu, Mas, memang sekarang Mas, kerja di mana ?” Tanya Pak Gudril kepadaku sambil sedikit memiringkan kepala.

“Aahh, saya cuma kerja di sebuah perusahaan kecil sebagai teknisi, Pak.” Ungkapku, ”gaji saya hanya sedikit di atas UMR, sementara harga-harga kebutuhan barang sudah di atas itu.” Tambahku lagi.

“Ok, Mas, saya lanjutkan cerita saya lagi, boleh ?” Tanya Pak Gudril untuk memintaku berhenti berkisah.

“Maaf Pak, silakan.” Pintaku dengan rasa tidak enak hati karena telah memotong banyak kisah Pak Gudril.

“wah, tadi sampai di mana ya ?”, Tanya Pak Gudril dengan berkerut kening.

“Sampai Bapak mengeluarkan tabungan dan asset pribadi untuk proyek,” jawabku untuk mengingatkannya.

“Aahh ya, saya menjual rumah mewah saya yang seharga 1,5 milyar dengan setengah harga kemudian saya beli sebuah rumah kelas menengah, saya jual dua mobil Eropa kesayangan saya dan saya gantikan dengan satu mobil Jepang seken.” ungkapnya lalu menghirup sekali lagi tehnya, ”Itu semua untuk menutupi nilai proyek yang harus saya jalankan.”

“Tapi itu semua belum apa-apa, Mas.” Kemudian pandangan Pak Gudril seperti menatap sesuatu yang tak ada, agak lama dia terdiam dan tak terasa dua titik air mata mengembang di sudut-sudut mata Pak Gudril.

“yang paling menyakitkan adalah ketika proyek terakhir itu selesai, isteri saya kabur bersama rekan kerja saya yang lain dengan membawa anak kami satu-satunya yang masih berusia dua tahun beserta sebagian besar tabungan perusahaan dan hanya menyisakan 1,5 juta, dan ternyata anak itu bukan anak saya melainkan anak hasil hubungan gelap isteri saya dengan rekan saya itu, dan itu saya ketahui dari surat pamitnya.” Lanjutnya lagi dengan suara terbata-bata.

“Saya benar-benar jatuh Mas saat itu, uang di tabungan pribadi saya saat itu tinggal 30 juta, padahal saya masih menanggung gaji delapan orang pegawai saya.” Ungkap Pak Gudril dengan suara tertelan.

Tiba-tiba dari luar terdengar suara berat Romo Siswoyo memanggil Pak Gudril, “Pak Gudril, Pak….sudah menyiapkan kelengkapan misa untuk ke stasi, Pak ?” tiba-tiba Romo Sis – panggilan Romo Siswoyo – yang tinggi besar itu sudah berada di depan pintu pondok kosteran. “Waaah, Mas Hank to…tumben main ke kosteran biasanya setelah misa langsung nginclik pulang,” sapa Romo Sis sembari menggodaku. “Pagi, Romo…” sapaku agak malu-malu dan tidak enak hati karena mengganggu tugas Pak Gudril. “Pagi, juga Mas,…gimana kabar bapak-ibu, sehat to ?”, kata Romo Sis menjawab sapaanku, Pangestunipun, sehat Mo,” jawabku.

“Semua sudah saya siapkan sejak dari semalam, Mo, tapi kalau ada kekurangan sebaiknya kita periksa bersam-sama.” jawab Pak Gudril kemudian mereka berdua bersama-sama pergi menuju pastoran.

Sepeninggal mereka aku mencoba mengilas balik hidupku. Kukilas hidupku dari semenjak SD, SMP hingga SMA masa-masa penuh kepongahan dan egoisme sebuah romantisme bayi monyet, kemudian kukilas masa-masa di perguruan tinggi yaitu masa-masa pancaroba ketika seorang anak biasa digendong emak-bapaknya harus mulai belajar menata diri, apalagi waktu itu kuliahku lumayan jauh di Kota Semarang. Pada masa kuliah aku masih sangat berpegang teguh pada benteng reputasi kejujuran, sebuah romantisme idealis yang kubawa semenjak SD, romantisme ‘cheat-proof’ atau anti contek-menyontek, walaupun itu sangat menyusahkan jalan hidupku namun aku tetap melakoninya bukan karena janji-janji manis Tuhan melainkan lebih kepada kesombongan intelektual. Apapun itu tetap aku syukuri sekalipun harus mengorbankan IPK dan hampir terkena finalisasi drop-out.

Kukilas kembali setelah aku lulus kuliah, masa ketika aku harus belajar menghidupi diri-sendiri, seuntai dunia kerja. Dunia kerja bukanlah bagian dari dunia dongeng, bukan dunia kontras warna melainkan sebuah dunia dengan penuh warna ‘setengah’ - setengah jujur,setengah curang – suatu hal yang belum pernah kubayangkan sebelumnya. Kadang-kadang aku berpikir seandainya Tuhan sudi mengubah seluruh dunia seperti dunia dongeng mungkin hidup seluruh manusia di muka bumi akan menjadi indah.

Dunia asmara pun bukanlah sebuah tayangan tonil, sinetron ataupun telenovela. Banyak orang membuat kata-kata mutiara tentang cinta-asmara yang menghanyutkan hati, tentang cinta sejati, ketulusan, kesetiaan, dan masih banyak lagi tetapi sangat sedikit yang mampu menjadikannya sebagai jiwa kehidupan kecuali hanya sebagai jiwa bibir pemulas kata, pemulas mimpi-mimpi tak sampai. Banyak kata-kata mutiara asmara merumuskan tentang kesejatian cinta pada sikap hati bukan pada tataran tubuh atau harta, tetapi pengalamanku mengatakan manusia akan tetap mengikuti insting dasarnya, sebuah insting mengenai kenyamanan baik visual maupun sentuhan kenikmatan.

Tak terasa satu setengah jam aku mengilas balik hidupku, dan pertanyaan terakhir yang muncul di benakku, ‘Tuhan, Engkau ada di pihak mana ?’

Kudengar langkah ringan dan cepat Pak Gudril yang kembali menuju pondok kosteran. “Maaf Mas, saya tinggal agak lama, karena harus ada beberapa barang tambahan yang harus dibawa Romo Sis ke stasi,” jelas Pak Gudril kepadaku.

“Tadi sampai di mana ya Mas, cerita saya ?”, tanya Pak Gudril kebingungan akan kisah lampaunya sendiri.

“Sampai Bapak harus membayar sisa gajian delapan orang pegawai Bapak,” jawabku dengan rasa kasihan kepada Pak Gudril yang beranjak renta ini.

“Ooh ya, ya saya ingat,” kata Pak Gudril sambil mengambil posisi duduk.

“Saya menjual sisa bidang tanah yang saya miliki untuk membayar gaji mereka dan biaya permohonan kepailitan ke Dirjen industri,” ungkap Pak Gudril menyambung kisahnya yang terputus, “kemudian saya mencoba melamar kerja di tempat relasi-relasi saya dahulu yang pernah menjadi klien saya, tapi hasilnya nihil mereka kebingungan harus menggaji saya sebesar apa,” lalu Pak Gudril mengambil sebuah buku kartu nama yang sudah sangat lusuh dan ditunjukkannya kepadaku, “Ini Mas, sebagian klien saya tigapuluh tahun lalu.” Banyak nama yang tidak asing dan sangat terkenal di bidang industri pada buku itu. “Mereka selalu mengatakan,’kualifikasi Bapak jauh di atas yang kami butuhkan, maaf kami tidak bisa menerima Bapak,’ itu kata mereka.”

“Kemudian saya mencoba berbalik arah, saya berpikir mungkin saya terlalu banyak berdosa pada lingkungan dan Tuhan sehingga saya bertekad berkarya di bidang sosial, lalu saya mendatangi dewan paroki, saya membuat proposal pengajuan pendirian Balai Latihan Kerja industri, maksud saya adalah dengan mendidik generasi muda gereja yang kurang mampu secara finansial namun berkemauan tinggi akan menjadikan mereka mandiri, tapi…,” cerita Pak Gudril terhenti oleh helaan nafas panjangnya, “di jajaran dewan paroki sendiri duduk beberapa orang yang sebelumnya pernah menjadi pesaing tender saya, dan rupanya bara dendam masih menyala di hati mereka walaupun sering mendoakan … seperti kami pun mau mengampuni orang yang bersalah kepada kami …, akhirnya proposal saya ditolak.” Katanya pula sambil tak sadar meremas-remas peyek yang ada di tangannya.

“Habis sudah kepercayaan saya pada Tuhan dan sesama manusia, itu adalah hari terakhir saya berharap pada Tuhan. Malam itu saya menangis tanpa air mata, tabungan yang semakin menipis hingga tinggal enam juta, ditolak di mana-mana,” tak sadar ujung-ujung mata Pak Gudril mengalir sejalur tipis air mata, “kemudian saya keluar rumah menuju halaman dan saya berteriak,’Heh Tuhan yang buta, tuli dan imbisil jika memang untuk merasakan gendongan-Mu jiwaku harus hitam dan pikiranku harus sesat lebih dahulu, maka mulai esok di titik balik fajar, aku akan menjadi sesat dan hitam, sehitam-hitamnya, ya, aku menantang-Mu !!!’ saya waktu itu seperti kerasukan dan mengacung-acungkan kepalan ke langit” kata Pak Gudril dengan agak berapi-api.

“Keesokan harinya saya mencari seorang mantan staff sales project saya, dan saya minta dikenalkan dengan germo yang dia kenal,” lanjut Pak Gudril sembari menyeka air mata. “Sudah rahasia umum Mas, untuk melancarkan tender proyek harus ada pelicinnya entah itu berupa materi atau wanita, dan itu masuk dalam biaya entertainment,” sekali lagi Pak Gudril menghela nafas. “Dia kaget setengah mati mendengar maksud saya, karena dahulu dia mengenal saya sebagai orang saleh, ’serius nih Pak ?,’ tanya dia waktu itu.”

“Saya menerangkan kesulitan saya padanya dan saya katakan kesalehan adalah makanan orang imbisil.” Lanjut Pak Gudril sembari geleng-geleng kepala mengingat masa itu.

“Lalu dia mengenalkan saya dengan seorang germo kelas tinggi yang bermain di tataran kelas atas, pekerja-pekerja seksnya banyak model kurang terkenal yang biasa digunakan untuk modeling kalender, baik domestik maupun luar negeri seperti dari Uzbekistan yang biasa disebut sebagai ‘kuda putih’ maupun dari daratan RRC dan Thailand.” sekali lagi Pak Gudril menghirup teh hijaunya yang sudah mulai dingin.

“Satu tahun saya menjadi asisten germo, saya jadi mengenal liku-liku dunia hitam pelacuran, saya tahu bagaimana sistem recruitmentnya yang susah-susah gampang, untuk mencari yang domestik agak susah, perlu banyak rayuan jebakan, sedangkan untuk yang dari luar negeri biasanya justeru mereka yang menawarkan diri,” kata Pak Gudril menjelaskan dunia pelacuran.

“Wow…!,” seruku setengah tak percaya.

“Penghasilan saya beranjak cepat, Mas, semenjak menjadi asisten germo, dalam sebulan saya bisa memperoleh antara tigapuluh hingga empatpuluh juta jika sedang ramai.” Lanjutnya dengan pandangan menerawang.

“Setengah tahun kemudian saya berpisah dari bos saya dan mendirikan escort agency sendiri, oh ya escort adalah istilah untuk pelacur high class, Mas.”

“Saya mendirikan agency sendiri karena ketidaksesuaian prinsip dengan mantan bos saya, dia senang menjebak gadis-gadis lugu dengan rayuan, sedangkan saya tidak suka cara itu, saya lebih suka mengatakan apa adanya, dan yang paling saya tekankan adalah rasa ketidaktakutan pada Tuhan, karena itu adalah bagian dari dendam saya waktu itu, saya paling tidak suka jika seorang calon escort lady masih membawa-bawa nama Tuhan.”

“Wah, Pak…aduh !,” seruku sambil geleng-geleng kepala.

“Ya, begitulah Mas, niat saya untuk menjadi sesat waktu itu tidak tanggung-tanggung, tidak suam-suam kuku.”

Agency saya berkembang pesat karena dipenuhi gadis-gadis yang tulus untuk menjadi sesat, tidak setengah-setengah dan kami pun sepemikiran bahwa kesalehan adalah pekerjaan orang imbisil.”

“Bahkan permintaan dari luar negeri seperti Malaysia, Thailand, bahkan negara-negara timur tengah pun banyak. Agency saya menjadi salah satu favorit mereka.”

“Saya hidup dalam kesenangan duniawi yang tak terbayangkan Mas, waktu itu, bahkan beberapa gadis escort mau jadi simpanan saya.”

“Hufff…!!!” seruku tanpa kata-kata.

“Delapan tahun saya jalani bisnis hitam itu, tapi akhirnya terendus juga oleh intel kepolisian yang memang sudah lama mengincar saya, dan saya dikenai pasal trafficking, kemudian saya di-nusakambangan-kan.”

“Di Nusakambangan saya harus menjalani hukuman selama tiga tahun lima bulan,” kata Pak Gudril dengan mengambil nafas yang cukup dalam.

“Di situlah, dalam keterasingan saya merasakan kekeringan jiwa, saya baru menyadari banyak yang hilang dari diri saya.”

“Satu bulan sekali paroki ini melakukan kunjungan ke Nusakambangan, waktu itu masih Romo Bimo yang menjadi pastor paroki, dan setiap kali saya mengamati misa dari luar ada satu kekuatan luar biasa yang menarik saya dan mendorong saya melakukan kilas balik hidup saya.”

“Setelah tujuh bulan di Nusakambangan, baru saya memberanikan diri menemui Pak Tinus, lalu saya sampaikan maksud saya bertemu Romo Bimo untuk minta sakramen tobat.” Ungkap Pak Gudril sambil meraba dan mengusap-usap foto Pak Tinus.
“Pak Tinus itu seorang sahabat sejati Mas, bahkan senasib sepenanggungan dengan saya, dahulu dia adalah anggota angkatan darat berpangkat letnan, lalu dia difitnah demi kepentingan politik internal dan akhirnya desersi dan menjadi pembunuh bayaran.” Lanjut Pak Gudril dengan mata berkaca-kaca. “Dia menjalani hukuman selama 10 tahun sebagai kriminal di Nusakambangan juga.”

“Pak Tinus selalu berpesan bahwa pintu pondok kosteran terbuka lebar untuk saya jika saya selesai menjalani hukuman.”

“Apakah Bapak setelah selesai menjalani hukuman langsung ke sini, Pak ?” tanyaku ingin tahu.

“Tidak Mas, saya kembali ke Jakarta untuk melihat rumah saya.” Jawab Pak Gudril singkat.

“Kembali ke rumah, saya pikir akan menemui kondisi yang menyedihkan, kotor dan berdebu, tetapi apa yang saya temui membuat saya tercekat dan terjatuh lemas.” Lagi-lagi sejalur airmata turun.

“Rumah saya tetap bersih rapi walaupun di depan berdiri sebuah warung makan kecil yang sangat ramai.”

“Lalu ada suara memanggil saya dari dalam warung, ‘Pak Luk, Pak Luk, saya di sini,’ kemudian saya mendatangi warung dan saya lihat Mbak Sri pembantu saya menyambut dengan wajah gembira.”

“Saya langsung bersujud di kakinya Mas, saya ciumi kakinya seperti saya mencium kaki ibu saya sendiri, sebab dia adalah orang setia kedua setelah ibu saya.”

“Saya tidak bisa membayangkan orang dengan kesetiaan begitu besar menunggui tuannya yang hidupnya bejat sampai masuk penjara, dia sudah mengikuti saya sejak umur tigabelas tahun, sejak saya kaya raya sampai jatuh miskin, lalu ketika saya jadi bejat dia tetap mengikuti saya dalam pengabdian yang diam, akhirnya saya hanya bisa bersujud di kakinya.”

Tiba-tiba dari luar terdengar suara memanggil Pak Gudril, Pakne, ki lho dhahar siangmu, pesenmu pete goreng sambel trasi yo tak gawake (Pak, ini lho makan siangmu, permintaanmu pete goreng dan sambal terasi ya saya bawakan), “ suara yang empuk dengan logat khas Jogjakarta yang halus, berbeda dengan logat Banyumasan yang meledak-ledak.

Kulihat seorang ibu paruh baya yang samar-samar sering aku lihat di gereja, seorang ibu dengan badan agak gemuk pendek, wajah biasa saja namun cukup manis.

“Kenalkan Mas, ini isteri saya Yohanna Sri Wilujeng Handayani, dia harta pertama saya yang dikembalikan Tuhan melalui Pak Tinus, inilah orang yang saya ciumi kakinya sepulang saya dari Nusakambangan.”

“Sebulan setelah saya pulang dari Nusakambangan, Pak Tinus mampir ke rumah saya dan kami dijodohkan olehnya.”

Halaaah Pakne ki crito opo yo, kok ngoyoworo ngene (halah, Bapak ini cerita apa ya, kok aneh-aneh begini),” sergah Bu Gudril malu-malu.

“Saya pilihkan nama baptis Yohanna untuk dia karena dialah yang telah membaptis kembali kehidupan saya yang penuh kebejatan, Mas.”

“Harta kedua yang dikembalikan Tuhan melalui Almarhum Pak Tinus adalah kepercayaan diri saya akan kemampuan saya dahulu di bidang engineering, dialah yang mengusahakan saya bisa mengajar di STM yayasan sebagai guru laboratorium.” Kata Pak Gudril sembari menunjuk bangunan STM yang berada persis di samping gereja.

“Saya memang tidak kembali sekaya dahulu, tapi sekarang inilah saya menemukan ketenangan hidup saya, terlebih anak adopsi saya sekarang juga sudah melanjutkan ke seminari menengah di Mertoyudan, saya sudah merasa memperoleh lebih dari cukup semua pemberian Tuhan ini, Mas.”

Ajakan Pak Gudril untuk makan siang bersama aku tolak, karena ibu di rumah pasti sudah masak untuk porsi keluarga dan aku tak mau mengecewakan dia. Aku pulang dengan bermacam-macam perasaan, dan hanya satu kesimpulanku Tuhan memang penuh misteri.

Tamat.

(Cerpen ini dipersembahkan untuk Romo Mikhael Sheko Pr. Pastor Paroki Gereja St. Lukas, Pemalang Jawa Tengah)

Catatan:
-Cerpen ini diramu dari pengalaman beberapa orang sejak 25 tahun yang lalu, termasuk pengalaman hidupku.

Pentjerita-pentjerita Goemoel Djiwa

Mengenai Saya

Foto saya
Blog ini merupakan saranaku untuk menuangkan cerita-cerita pendek yang scene-nya melintas di benak saya. Kisah-kisah di sini kudus/suci dari jiplakan/plagiatan/contekan sehingga jika ada kisah yang sama persis dengan yang saya tuliskan bisa dipastikan membajak/menjiplak/memplagiat dari cerpen saya.