Selasa, 22 Juni 2010

SANG GURU TARI (Sebuah Pertemuan dengan Aku Sejati)

Sudah lebih dari duapuluh tahun aku mengelana di padang pasir ini, sehampar padang pasir tanpa tepi. Aku terdampar di sini tepat setelah peringatan hari lahirku yang ke delapanbelas, terpisah dari kedua orang tuaku yang membawa kabilah emas dan kemenyan. Aku terpisah setelah badai pasir yang besar, dan sisa bekalku saat itu hanya tinggal sekantung air dan tiga potong roti khamir. Kususuri ribuan depa setiap lepas fajar hingga hari dipeluk petang selama duapuluh tahun ini, tetapi belum juga kutemui tepi-tepinya. Setiap aku lepas rehat malam esoknya pasti berubah.

Beberapa kali kubertemu musafir lewat dan kutanyai dengan ratapan,”Wahai musafir bijak tunjukkan pada hamba tepi-tepi hampar pembuta mata ini.” Beberapa musafir menjawabku dengan senyum lalu pergi, yang lain menjawabku berurai bunga-bunga kata bersayap hingga membuat mataku berkunang-kunang dan telingaku berdenging-denging, ada pula musafir yang kutanya apa nama padang pasir ini, dan dijawab ‘padang pasir tanpa nama,’ akhirnya aku hanya terduduk lemas memandangi tepi yang bukan tepi.

Setiap terik kucari peneduh yang bukan peneduh, dahaga kuseka air yang bukan air. Duapuluh tahun ini makananku kotoran nazar yang jatuh atau kotoran unta yang tergeletak, minum dari keringatku sendiri dari air kencingku sendiri bila beruntungpun bisa menadah kencing unta, aku telah tak tahu apakah aku ini, aku sudah lelah bertanya siapa aku, menggelandang aku di ceruk-ceruk gersang berharap ada susuan bumi di sana. Ketika kumohon pada Sang Pemilik untuk mematikan aku di kering malam, desau angin menjawabku,”Bodoh ! Kamu sudah mati untuk apa minta mati ?”

Hari ini kususuri lagi bukit-bukit berpasir panas, kujalani dengan telapak kelupas tanpa harap kapan kan lepas, hanya bertepi bayang setitik kuhela seretan langkahku. “Wahai Sang Pemilik Jiwa, jika memang ini alam kematianku, apa salahku ?” kubergumam dalam lunglaiku.

Tak seperti biasanya hari ini, panas membuat kulitku meranggas, lepas sekelupas demi sekelupas, kutersenyum menikmati derita sakit ini, kupikir inilah saatnya Sang Pemilik mengambilku. Hausku yang semakin menusuk kerongkongan semakin meyakinkan aku inilah saatnya Sang Pemilik mencabut sekerat jiwaku, ya, aku bergembira karena makin tingginya takik deritaku . Aku jatuh, nafasku jadi mengetat satu-satu. Semakin ketat nafasku, semakin tenang aku, ya, ini saatnya selesai perjalananku di padang pasir tanpa nama.

Entah berapa lama aku tergeletak, aku siuman lagi, kupincingkan mata berharap teduh surga, tapi tetap silau seperti yang lalu, kuraba tanah harap rumput surga kugenggam, tapi tetap pasir seperti dulu. Aah, ada urai gubah di sini padahal belum pula lepas malam, kulihat luas enam-tujuh depa tanah menghijau di kejauhan seratus depa, berpayung pohon zaitun dan kurma menjulang, “itukah surga ?” gumamku. Kupacu rangkakku dengan setengah jengkal sisa keratan jiwa, harap tipis itulah surga bukan bayang iblis penipu hati.

Kusampai di sana, kuraba tanah rumput, “dingin,” gumamku, kumaju sekuku, “embun,” gumamku lagi. Kujilati rerumputan itu, embun dingin kucecap, suatu rasa dingin dari lebih 20 tahun yang lalu, rasa yang sudah terlupa. Segar yang sudah kulupa menyeruak gelung-gelung kerongkonganku. Kuatku bertambah sepotong demi sepotong, jiwaku menebal selembar demi selembar, aah, ini surga,”ucapku dalam hati. Berdiri aku terhuyung, langkah tertatih kuingsut maju. Oooh, oase,” desahku gembira, kuminum berteguk-teguk air oase dihadapanku kupuaskan dahagaku yang tertunda selama 20 tahun. Kenyang air aku, kuhenti sejenak, lalu kutatap pohon kurma di sampingku, seonggok kurma matang berada tepat di sebelah kananku, buah yang tak kutemui selama duapuluh tahun ini. Kukenyangkan laparku yang terlupa serasa beratus abad.

“Puaskah kamu ?” tiba-tiba serenteng kata-kata menghembus seperti angin mendesir telingaku.
”Anginkah kamu ?” tanyaku sembari menengok kiri kanan dan mencari asal-usul kalimat itu.
“Bukan, lihatlah kemari,” kata suara angin itu.
Kutengok sebelah kananku, entah kapan dia datang tiba-tiba sudah berada di bawah pohon kurma. Kuamati sosok itu, sosok yang membuatku terhuyung mundur. Perawakannya sama dengan aku bahkan wajahnya pun plagiat wajahku, tetapi berbeda rona denganku, dia mempunyai rona bahagia sedangkan aku rona pohon wijen kering. Pakaiannya sederhana namun berkilau, ditangannya memegang rebana kecil dan dipinggangnya terselip sebatang seruling dari ranting zaitun.
“Siapakah Anda wahai pemilik oase, hamba mohon maaf telah mengusik tempat Paduka.” Ungkapku sambil bersujud di hadapannya.
“Aku ?” selorohnya, “Aku adalah Aku yang kau lupakan, dan tempat ini adalah tempatmu yang kau singkirkan,” jawabnya pula.
“Maksud Paduka ?” tanyaku tak mengerti ungkapannya yang begitu membingungkan.
Dia lalu memainkan rebana dan bersyair:

“ Sealun nafis berbelas tahun lalu
Kita bersama menggaris hidup
Meniti duka mengais bahagia

(Interlude rebana: tak, tak, tratak tak bam)
Sekuak bilur menebas galau
Menyabit suluh jiwa yang redup
Melepas bimbing rasa terima”


Syairnya begitu gaib, begitu mistis mendebam jantungku, seulas kata demi seulas kata menarikku ke hidup lalu. Dikaitnya aku dengan kekang gaib tak kelihatan, jiwaku terserak di antara jembatan-jembatan waktu, dibantingnya aku ke dalam ceruk-ceruk kekecewaan masa dulu, dilemparnya aku ke atas tumpukan kesedihan lampau. Sakit aku di sana, merana aku diombang-ambingkannya. Tertindih aku di bawah gilas-gilas kegalauan, lalu terpelanting aku kembali ke saat kini.

Limbung, pusing, berdenging-denging telingaku. Sejenak kuhela nafas pendek-memendek, dengus-berdengus hidungku perih. Sekuku demi sekuku sadarku kembali.

“Apa yang kau lihat wahai aku ?” ucapnya lembut menghujam
“Semburat apa yang kau wawas wahai aku ?”
“Kecewa, sedih, galau, merana, lebur.” Jawabku pelan mengerang.
“Itulah badai pasirmu wahai aku,” ucapnya dalam kalimat mencengkeram jiwa.
”Di situ kau tinggalkan Sejatimu wahai aku,”
”Kau lupakan tarian jiwamu yang Kuajarkan wahai aku,”
”Ulasan Paduka memusingkan hamba,” jawabku gulana.

Dia terdiam lalu mengamatiku dengan tatapan mengiris potongan-potongan nadi gaibku. Lalu dia menarik seruling zaitun dari pinggangnya, ditiupnya dengan nada lembut mengalun mistis.

“Wahai sang musafir dalih
Tuntaskah hatimu beralih ?
Kau gusur nyata alihkan angan
Suaikah jiwamu di tepi rangan ?

Lalukan aku simpar ke ceruk jurang
Lontar hasratmu ke buai goda
Terukkan niatmu beradu kata
Keluhmu terali ruji bersarang

Jelai gandum seikat kau buang
Ganti remah lumpur jamban
Pasir-pasir pun kau jerang
Tahi pun kau timang kau emban.”


“Ah, Paduka sakti rupanya, berulah syair di dalam hembusan seruling, maaf, hamba mohon maaf.” Ungkapku dalam ketakziman.

“Wahai sang musafir dungu
Tulikah lorong telingamu ?
Syairku ini isian benakmu
Ulahmu itu lemak galaumu

Wahai sang musafir dungu
Kau lesatkan panah jiwamu
Pisahkan dia dari bimbingKu
Kau kais angan kau buang Aku.”


Melengking kini nada serulingnya bak seorang ibu menjuntaikan amarahnya menghantam degup jantungku. Menarik lagi tulang-tulang atmaku, ditenggelamkannya aku dalam peringatan-peringatan masa berantahku. Remuk isi benakku terburai terkapar-kapar, lalu hilang wawasku.

Sepanjang apa aku tak tahu pingsanku, hari ini bak tak ada malam. Seusap dingin melerai pingsanku, kucuran air mengulas dahi dan bibirku.

“Apa yang kau rasakan wahai aku ?” Tanya Tuan Paduka selepas kembali sadarku.

“Hamba merasakan penolakan.”
“Hamba merasakan ketidaksabaran.”
“Hamba merasakan kesombongan.”
“Hamba merasakan keserakahan.”
“Hamba merasakan kemurkaan.”
“Hamba merasakan ketumpulan hati.”
Jawabku berurai air mata.

“Itulah dirimu wahai aku.” Ucapnya berwibawa
“Kau sabungkan Aku dengan ilmu-ilmumu.”
“Rancak kau berucap bak dunia di genggammu.”
“Kau hantamkan benakmu pada dunia semu.”
“Kau lupa menarikan jiwa pengindah cinta”
“Kau fikir gerak sepuluh jarimu cabaran dariKu.”
“Kau fikir benakmu kan fahamkan semua.”
“Itulah kembaramu di tilam pasir tanpa nama,”


“Ohhh, Paduka Mulia sekarang hamba mengerti, hamba mohon beribu maaf Paduka, karena hamba meninggalkan Paduka.” Aku bersujud dan kubenturkan dahiku ke tanah, sesal dalam melibat aku.

“Mari, menarilah kembali bersamaKu.” Ajaknya sembari mengulurkan tangan.
“Kuajari kau dari semula gerak, semula-mula gerak yang kau singkirkan.”
“Berdirilah siapkan lekuk kakimu, angkat kedua tanganmu, sentuh degup jantungmu.”
“Angkat tangan kirimu, rasakan angin membelaimu.” PerintahNya sambil memberiku singkapan-singkapan gerak.

Kucoba mengikuti setiap langkah geraknya, aahh, aneh sepertinya aku dulu pernah melakukannya di zaman entah. Semakin lama semakin mudah aku mengikuti gerakan tariannya, hatiku penuh terisi perasaan senang yang entah darimana.

Mistis, ketika Dia menari di atas tepian pasir oase tiba-tiba tumbuh rumput dari bekas jalinan-jalinan gerak telapak kakinya. Semakin cepat dia menari semakin berimbuh rumput-rumput yang tumbuh, bahkan bunga-bungapun bermekaran ikut menari.

Terdiam aku melihat tariannya, beringsut mundur aku, terduduk heran. Setiap gerak tangannya mendulang angin menyiangi panas dari sejuk, tunas-tunas zaitun dan kurma pun seruak menghijau pupus. Lama aku menikmati tarian mistisnya yang menjaring hingga tepian-tepian gaib.

“Ayolah, mari menari bersamaKu, jangan teronggok disitu !” serunya memerintah.
“Paduka Tuan, saya takjub dengan tarian Paduka yang gaib, menumbuhkan setiap tunas kehidupan dan membangkitkan yang layu.” Seruku takjub tak henti.
“Akankah kau hanya memandangi, wahai aku ?” memerintah pula dia dalam tanya.
“Mari, Kuajari kau menari di atas pasir.”

Kuikuti arahNya ke pasir tepian oase, lalu aku menari lagi bersamaNya di atas pasir. Kutarikan tarianku mengikuti perasaanku, aduh, bukan rumput yang tumbuh di bawah kakiku tetapi onak duri setajam paku berulah di situ. Terpincang-pincang aku, lalu kuhela tarianku.

“Paduka Tuan, hamba tak segaib Paduka.”
“Onak duri yang berulah di bawah telapak kaki hamba.”
“Jangan kau puja amarah, jangan kau puja pedih, jangan kau puja kesenangan, larutkan semua dalam ketulusan.” Ujarnya sambil menari dan tetap tak henti.

Kuulangi lagi tarianku, kuulas setiap rasaku di titian gerak, aahh, inikah maksud Paduka Tuan, dari setiap rasa yang muncul akan meninggikan onak duri, kucoba menari dalam rasa, kucari tulus dalam tiap titian ruang hatiku, kupancarkan untuk melarutkan amarah, pedih dan kesenangan dari gerak tariku. Kumenari lagi, menari lagi dan rasa tulus pun semakin meluas dalam tarianku, kumenari lagi, menari lagi dan onak duri pun berubah rupa menjadi rumput lembut menghijau.

Tulus itu berubah menjadi bahagia dalam tarianku, gerak tanganku menyiangi angin melerai sejuk dari panas, entah aku tak lelah, hanya menari dan menari, seluruh jiwaku menari.

“Kini saatnya kau kembali padaKu wahai aku.” Kata Paduka Tuan, dan tiba-tiba dirinya menjadi cahaya menyilaukan lalu merasuk tubuhku.

Tarianku semakin meluas, kutarikan diriku di atas hamparan pasir tanpa tepi ini dan rumputpun tumbuh di sana, tarianku kutandangkan pula semakin jauh dan bunga-bungapun bermekaran di sana.

Kini angin pun mendendangkan syair bagi tarianku, dan hamparan padang pasirpun semakin menipis. Tak kucari sudah tepi-tepi padang pasir ini karena tepi-tepinya ada dalam jiwaku, karena tepi-tepinya ada dalam hatiku, karena tepi-tepinya ada dalam tarianku.

“Berulah tari wahai jiwa mulia
Singkapkan kira alih kan rasa
Sepulung janji lainkan nyata
Rombakkan rusuh mengilang duka

Tempayan angan pecah berpuing
Guratan kira pucuk berpaling
Ber-angan salah ber-angan benar
Sandungan hati sebabkan nanar.

Pusar hati hanyalah bertulus
Rancak kata rusuhkan benak
Olak murka lantakkan halus
Emban duka rusakkan benak. “


Menarilah aku sepanjang umurku.

TAMAT

Sabtu, 05 Juni 2010

Isteriku, Maaf Aku Mencintai Anakmu. (Sebuah Potret Keluarga Berantakan)

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Prolog:
Sepotong kisah sumbang di tengah masyarakat bisa jadi hanya merupakan pucuk 'iceberg' dari kisah-kisah sumbang sejenis yang laten dan bahkan ingin diingkari oleh masyarakat itu sendiri.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~


Tergolek tengkurap aku di atas pembaringan serasa ingin memalingkan seluruh hidupku dari dunia ini, lunglai, malu pada janjiku, seikat janji yang kuikrar untuk isteriku bahwa aku akan memperlakukan Delaneira Gisela Hayuningtyas anak tiriku dari isteriku Joan Margot Kartika tak ubahnya sebagai anak sendiri, telah kulanggar, bahkan dengan senang hati. Tersedan tanpa tangis hanya sesenggukan yang keluar dari mulutku, hari ini telah kulanggar untuk kesekian kali ikrarku pada isteriku.
Tiba-tiba sepasang lengan lembut menggelayut dari belakang, dan tubuh lembut tanpa busana menindihku dari belakang.

“Ayaah…kok nangis sih ?” bisik Gisel – demikian aku memanggilnya – dengan lembut, “Ayah malu ya dengan hubungan kita ?”

Aku hanya mampu meneruskan sedu-sedanku dan dengan lembut Gisel mengusap seluruh air mataku.

“Ayah menyesal karena kita jadi sepasang kekasih ?” Tanya Gisel dengan manjanya.

Aku berbalik pelan, kudekap tubuhnya lalu kuciumi kening dan ubun-ubunnya, ciuman seorang ayah pada anaknya.

“Aku mencintaimu, Yah, lebih dari Mama mencintai dirimu.”

“Coba Ayah lihat sampai larut malam begini Mama belum juga pulang juga.”

Aku hanya mendorong lembut Gisel, “Sudahlah, kamu berpakaian, sana,” perintahku dengan lemah menahan rasa berdosa.

Setelah aku berpakaian, aku menyuruh Gisel untuk tidur supaya besok tidak bangun terlalu siang di Hari Minggu. Kulirik jam dinding di ruang tamu, sudah hampir jam 12 malam dan isteriku belum pulang dari pekerjaannya, di Hari Sabtu ini.

Semenjak Joan dipromosikan menjadi Region Secretary diperusahaannya untuk membawahi wilayah Asia Pasifik 2 tahun lalu perlahan-lahan hubungan kami menjadi dingin. Waktu pertemuan kami menjadi begitu jarang bahkan kami menjadi saling asing, walaupun kami selalu berusaha menyempatkan diri meluangkan waktu untuk berdua.

Kubuat secangkir kopi untuk mengusir kantuk demi menunggui isteriku pulang, lalu kutunggui isteriku di beranda rumah dengan berteman laptop untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tertunda sekaligus berkelana di dunia maya, namun bayangan perbuatanku tadi tak juga hilang dari benakku, Oh Tuhan rasanya ingin lari dan lari.

Bahtera perkawinan kami diawali sejak 8 tahun lalu, Joan adalah seorang janda sekaligus single parent bagi Gisel yang waktu itu baru berusia sembilan tahun. Pertemuan kami diawali dari chatting di internet, dari chatting itu akhirnya kami sepakat bertemu untuk makan malam bersama, suatu candle light dinner. Peristiwa delapan tahun yang lalu di pertemuan pertama kami masih membekas begitu dalam, Joan yang saat itu masih berusia 28 tahun sangat cantik bergaun malam satin warna silver, dengan menggandeng Gisel kecil yang lucu dan manis. Suatu pertemuan yang indah malam itu dan selalu menjadi fokus kekuatan kami mempertahankan ikatan perkawinan hingga detik ini. Perkawinan pertama Joan hanya bertahan selama satu tahun dengan seorang pria berkebangsaan Yunani dan dari perkawinan itu lahirlah Gisel.

Gisel kecil 8 tahun yang lalu begitu mungil dan lincah dengan bibit kecantikan yang sudah tampak, kami berdua cepat akrab karena memang Gisel merindukan sosok ayah yang tak pernah diperolehnya sejak masa kanak-kanak, terlebih lagi Joan, ibunya adalah single parent yang sangat sibuk dan ekstra loyal dengan pekerjaannya, aku memaklumi hal itu karena Joan berbuat seperti itu juga demi kebahagiaan anaknya, seikat keinginan mulia seorang ibu.

Aku sendiri hanyalah seorang bujangan yang sudah cukup umur saat itu, sudah 35 tahun dan belum ada seorang perempuan pun yang sudi menyinggahkan cintaku di hatinya. Beberapa perempuan sebelum bertemu copy darat denganku sangat tertarik dengan pembawaanku menyampaikan pendapat, namun setelah copy darat biasanya mereka langsung menghilang, hanya Joan lah, janda beranak satu yang mau bersamaku menuju pelaminan.

Lima tahun pertama bahtera rumah tangga kami dilalui dengan masa-masa yang manis, bahkan terlalu manis bagiku. Aku hanyalah seorang wiraswastawan di bidang electrical engineering consultant, Joan seorang corporate secretary dan kami mempunyai kelimpahan materi yang bisa dikatakan lebih dari cukup. Waktu luang kami berdua untuk Gisel lumayan intensif. Memang semenjak awal perkawinan kami, akulah yang menjadi baby sitter bagi Gisel karena waktu luangku di rumah jauh lebih banyak. Aku yang memandikan Gisel setiap hari ketika semasa SD, menyiapkan keperluan sekolahnya, mengajarinya mata pelajaran sekolah hingga membacakan dongeng sebelum tidur. Canda tawa akrab Joan dan Gisel selalu menjadi penghiburan tersendiri bagiku untuk melepas kepenatan hari-hariku.

Perubahan besar yang menuju hubungan sumbang ini dimulai ketika bahtera rumah tangga kami menginjak tahun keenam, waktu itu isteriku dipromosikan menjadi region secretary yang membawahi wilayah Asia Pasifik, beban kerjanya yang semakin meningkat sering memaksa isteriku pulang larut malam. Enam bulan semejak isteriku menduduki jabatan barunya, terasa ada yang hilang selepas senja, rumah kami selalu terasa sepi karena tanpa canda tawa seperti dulu. Kami hanya bertiga, aku, Gisel dan Bi Narti pembantu kami. Sering kulihat Gisel selepas belajar memandang keluar jendela melihat kalau-kalau mobil ibunya sudah sampai di depan pagar. Sering aku merasa kasihan padanya, kudekap erat dari belakang sambil sama-sama kami pandangi keluar jendela.

I missed mom, keluhnya setiap kali memandangi keluar jendela.

“Aku juga kehilangan ibumu, Nak,” jawabku menimpali keluhnya.

Sering kuciumi ubun-ubunnya untuk sekedar menenangkan hatinya yang gundah. Gisel benar-benar kehilangan momen-momen girl’s talk dengan ibunya. Aku hanya mampu menarik nafas panjang jika melihat Gisel begini.

Aku akhirnya berusaha menempatkan diriku pada posisi Joan, kubeli banyak buku panduan praktis tentang psikologi gadis remaja, fashion, hingga bertanya dengan beberapa psikolog kenalanku. Itu semua demi menutupi lubang emosi yang menganga selama enam bulan lebih, dengan sedikit usaha akhirnya aku mampu menempatkan diriku pada posisi Joan, karena memang kami sudah akrab sebelumnya.

Perlahan Gisel mau menceritakan pengalaman-pengalaman girly-nya di sekolah, tentang cowok-cowok yang tergila-gila padanya, tentang fashion remaja, bahkan sampai hal-hal genital yang paling privasi dari dirinya diceritakannya kepadaku dengan terus terang. Walaupun aku kadang-kadang jengah jika dia bercerita, tapi aku mengingat sudah berniat menggantikan posisi Joan yang hilang.

Di suatu temaram hari yang masih cerah saat-saat senyum surya mulai beranjak undur diri berganti sang dewi malam, saat aku sedang memerah kemampuanku menggali setumpuk buku-buku standar kelistrikan sambil duduk rebahan di sofa, tiba-tiba Gisel melompat menindihku memburaikan semua konsentrasi dan tumpukan buku-buku standarku.

”Sore Ayaaah,” teriaknya ceria, tak seperti biasanya dia begini.

“So..sore, Nak, kok kamu ceria sekali sore ini,” jawabku agak tergagap oleh tingkahnya.

“Aku sekarang tahu siapa yang pantas jadi kekasihku, Yah,” selorohnya gembira.

“Ooh ya, siapa cowok kamu sukai itu, Nak ?” tanyaku menyelidik.

“Emmm, orangnya seumuran dengan Ayah,” katanya sambil menatapku dengan berbinar-binar, dengan tetap menindihku.

“Haahh ! Kamu menyintai oom-oom ?” sergahku karena kaget.

“Iiiihhhh, Ayah diam dulu dong !” sahutnya manja.

“Emmm, orangnya sama tampan dengan Ayah.” Katanya lagi sambil tersenyum kecil.

Truss, namanya sama dengan Ayah.” Katanya sambil matanya menatapku manja, sebersit tatapan seorang gadis terhadap kekasihnya.

Aah, mana mungkin yang seperti itu ada, kemungkinannya satu berbanding satu milyar.” Jawabku tak percaya, namun aku masih ingin tahu lebih jauh, siapa tahu Gisel dipelet seseorang setua aku, maklumlah gadis remaja secantik Gisel adalah seperti mawar yang baru mekar, sangat mungkin banyak orang ingin memanfaatkan kecantikannya untuk hal-hal yang tidak senonoh.

“Ayah ingin tahu siapa dan di mana orang itu !” Perintahku pada Gisel dengan nada agak keras.

Perlahan Gisel mendekatkan mulutnya ke telingaku dan berbisik, “Orangnya ada di bawah tindihanku sekarang,” kemudian dia mencium pipiku.

Aku terkesiap demi mendengar jawabannya yang di luar dugaanku, memang kuakui sebagai laki-laki normal kadang-kadang berdesir minat kelaki-lakianku jika memeluk Gisel. Namun yang benar-benar di luar dugaanku adalah pengakuan Gisel tadi. Tak kunyana Gisel jatuh cinta padaku, tetapi bagaimanapun aku harus tetap bersikap sebagai ayah baginya.

“Gisel anakku, aku ini ayahmu, kok kamu bilang pantas jadi kekasihmu, jangan ngelantur kamu, Nak,” ucapku lembut sambil kukecup kening dan pipinya.

“Ayah bukan ayah kandungku, tapi ayah tiriku kita tidak punya hubungan darah, jadi Ayah boleh menjadi pangeranku ” kata Gisel semakin mendekatkan wajahnya ke wajahku.

Aku agak memundurkan kepalaku sembari menanyakan maksudnya, ”Kamu dapat pengetahuan salah dari mana, Nak ?” tanyaku sembari mengernyitkan kening karena tak percaya yang kudengar, ”Aku itu suami mamamu, jadi aku ini ayahmu, Giselku yang cantik,” ucapku menjelaskan sambil kugamit hidungnya yang bangir dengan telunjukku, sebentuk hidung Yunani peninggalan ayah kandung Gisel.

“Tadi siang di sekolah aku dapat pelajaran biologi bab genetika, dan dari situ aku tahu jika dua orang tidak mempunyai hubungan darah maka tidak mempunyai sangkutan genetik, dan jika tidak mempunyai hubungan genetik dua orang itu boleh melangsungkan perkawinan, so aku dan Ayah boleh melangsungkan perkawinan,” ungkapnya begitu lugu.

“Aduuuuh, Gisel anakku sebuah lembaga perkawinan tidak semudah dan seempirik ilmu genetika Nak, ada aturan-aturan, ada libatan-libatan emosional, dan masih banyak lagi,” jawabku sembari mengelus wajah cantik Gisel dengan punggung tanganku.

“Ayah…” desah Gisel seperti menanggung sesuatu yang berat.

“Ya, Nak,” jawabku dengan rasa memelas melihat wajahnya yang berubah menjadi sedih.

“Apakah Ayah selama ini bahagia bersama Mama ?” tanya Gisel dengan wajah sayu.

“Ayah bahagia bersama kalian berdua, Nak,” jawabku untuk menenangkan hatinya.

“Tapi aku sekarang tidak bahagia bersama Mama, Yah,” keluh Gisel dengan mata berkaca-kaca, “Mama sekarang begitu asing, tidak pernah lagi mau ngobrol denganku.”

“Mamamu sekarang sibuk berat, Nak, dia kan sekarang mengurusi seluruh kantor cabang di Asia dan Pasifik, jadi wajar kalau sampai di rumah sudah kelelahan.” Ungkapku memberinya pengertian dan ini sudah untuk kesekian kalinya.

“Apa Ayah tidak kesepian ditinggal Mama seperti ini ? Selalu pulang larut malam, apalagi kalau malam Minggu, pasti sampai pagi, ” keluh Gisel semakin dalam.

“Ayah juga merasakan hal yang sama denganmu, Nak,” jawabku.

Kami terdiam sunyi begitu lama, saling tatap dan merasakan sepi yang menyesak begitu dalam karena kehilangan sosok Joan, tak terasa wajah kami semakin mendekat, lalu kupagut bibir Gisel yang ranum dan lembut dan Gisel pun menyambutnya dengan hangat, kami saling melumat dan bergumul layaknya dua orang kekasih dan entah apa lagi yang aku lakukan aku sudah tak ingat apa-apa lagi, semuanya ditarikan oleh instingku dan insting Gisel.

Itulah kali pertama hubungan sumbang kami, hubungan yang seharusnya tetap terjalin sebagai ayah dan anak menjadi hubungan antara dua kekasih. Saat itu pulalah kukhianati ikrarku kepada Joan untuk memperlakukan Gisel sebagai anakku. Hampir satu tahun empat bulan hubungan sumbang ini kami jalani dengan diam-diam dan Gisel pun menjadi pribadi yang periang kembali sebaliknya aku menjadi serba salah walaupun kuakui cintaku sebagai kekasih kepada Gisel menjadi semakin dalam. Gisel kini sudah menginjak bangku perguruan tinggi dan dia mengambil jurusan yang sama denganku, elektro. “Sepasang kekasih harus selalu seiring sejalan, pangeranku,” kata Gisel kepadaku sebelum memutuskan mengambil jurusan elektro.

Tiba-tiba dari luar kudengar suara mesin mobil menuju pagar rumahku, kulirik jam di laptopku sudah menunjukkan pukul 3 pagi. Pagar kubukakan bagi mobil kantor isteriku, setelah mobil masuk aku bertegur sapa sekedarnya dengan Pak Kirman sopir kantor isteriku. Lalu isteriku keluar mobil dan seperti biasanya kusambut dia dengan kecupan bibir, namun kali ini wajahnya begitu masam dan dia menghindar waktu hendak kukecup.

“Ada apa honey ?” tanyaku.

Don’t honey, me !!! bentak Joan kepadaku.

Lalu aku berusaha menggamit tangannya, tetapi Joan mengibaskannya.

Don’t touch me you’re pathetic bastard, I hate you, bentaknya lagi.

You’re betrayer, disgusting !!! umpat Joan kepadaku, dan aku sudah menduga kemarahannya disebabkan oleh hubunganku dengan Gisel.

“Malam ini kamu tidur di sofa, aku jijik dengan sentuhanmu, sentuhan yang merusak anakku,” teriaknya kalap.

“Sekarang aku capek dan marah mau istirahat, besok pagi kamu dan Gisel harus menghadapku,” perintahnya seperti seorang bos terhadap bawahannya. Joan masuk rumah dengan membanting pintu.

Berdiri aku di halaman rumah memandangi langit jelang pagi yang penuh bintang dalam hati aku mengeluh, dulu aku susah sekali memperoleh pendamping hidup, kini setelah memperolehnya malahan tercerabut menuju jurang kehancuran, oh Tuhan. Pagi itu kulalui dengan perasaan bersalah, marah pada kehidupanku, menyalahkan Joan yang lebih berat pada pekerjaan daripada keluarga semuanya bercampur membuat tidurku tak nyenyak.

Pagi di hari Minggu itu pukul 9:00, kami sudah berkumpul di meja makan, namun suasana pagi itu tak seperti di waktu-waktu lalu. Sunyi terasa mencekat di antara kami, seperti sebentuk gunung yang akan meletus didahului sunyi yang mencekat. Aku dan Gisel lebih banyak menunduk menanggapi tatapan nyalang Joan yang seperti seekor singa betina lapar.

“Bi Nartiiiii, ke sini Bi !” teriak Joan memanggil Narti pembantu kami.

“Ya, Bu saya…” terdengar jawaban Narti sambil tergopoh-gopoh menuju ruang makan.

“Tolong Bi Narti ceritakan, apa yang Bi Narti lihat dari perbuatan Bapak dan Gisel !” perintah Joan kepada Narti dengan suara meradang.

Lalu Narti menceritakan semua hal yang pernah dilihatnya antara aku dan Gisel. Narti menceritakannya dengan takut-takut semua hal yang pernah dilihatnya.

“Nah, Bang sekarang apa maumu ? Kamu sudah tak mungkin mengelak lagi !” tantang Joan kepadaku.

“Ma, semua itu terjadi begitu saja, aku sudah berusaha menghindari perasaan itu, Ma…” jawabku pelan.

“Arrrrggh, bohong kamu Bang !” teriak Joan kalap menyanggah jawabanku.

“Kalau tahu bakal jadi begini aku lebih baik tetap jadi single parent dan tidak menikah denganmu, dasar penjahat kelamin !” teriak Joan lagi.

“Mama stop ! Jangan Mama maki-maki pangeranku seperti itu !” tiba-tiba Gisel berteriak tak kalah kalap dengan ibunya.

“Arrgghh, pangeran katamu ?!” teriak Joan menimpali Gisel.

“Ya, dia pangeranku Ma, selama ini Mama kemana saja haaah ?!”

“Coba, sekarang aku tanya sama Mama, apa jurusanku di perguruan tinggi ?! Tahu enggak Ma ?!”

Joan terdiam ditanyai anaknya, kebingungan harus menjawab apa.

Enggak, kan ?” sambung Gisel lagi dalam kemarahannya.

“Coba, Mama tahu enggak rangking berapa ketika aku lulus SMA ?”

Joan gelagapan ditanyai Gisel, seperti akan menyanggah tetapi tak tahu apa yang harus disanggah.

Enggak, kan ?” semakin meninggi nada kemarahan Gisel kepada ibunya.

“Mama mau pakai alasan pekerjaan ? Mama mau pakai alasan tanggung jawab jabatan ? Arrrgghh, ini bukan sinetron, Ma !” Teriak Gisel lagi.

“Ketika aku sedih Ayah menghiburku, lalu Mama kemana ? Ketika aku bertanya banyak hal Ayah menjawabku, lalu Mama di mana ?” sambung Gisel dengan kemarahan seperti air bah melanda ibunya.

“Ketika aku sakit, Mama pergi ke mana ? Australia ? New Zealand ? Thailand?” bertubi-tubi kekecewaan Gisel terhadap ibunya diungkapnya dalam bara kemarahan.

Tiba-tiba tangan Joan meraih gelas disampingnya dan menyiramkan air ke wajah Gisel lalu pergi keluar, dan kudengar suara mesin mobil dihidupkan lalu menjauh.

Kupeluk erat Gisel untuk menenangkan bara amarahnya, kuusap wajahnya yang basah oleh air siraman Joan.

“Ayah…ceraikan Mama, Yah, lalu nikahilah aku,” pinta Gisel lemah dalam sedu-sedan kekecewaannya pada Joan.

Hancur sudah hubungan ibu dan anak ini, akupun ikut merasa sangat bersalah akan hancurnya hubungan mereka berdua. Bagaimanapun juga aku yang merenggut keperawanan Gisel dan aku pasti menikahinya.

“Sayangku, malam pertamamu dulu bersamaku dan ingin kuakhiri malam-malamku selanjutnya bersamamu,” jawabku sembari kukecup bibirnya.

Hari-hari berikutnya kuisi dengan mengurus perceraian di pengadilan dan kantor catatan sipil.
Joan kembali ke rumah lamanya, Gisel lebih memilih indekost di dalam tanggunganku demi menanti usianya genap 18 tahun untuk memenuhi persyaratan hukum layak disebut sebagai cukup dewasa dan mempunyai hak lepas dari kendali ibunya. Aku menyendiri lagi sambil berharap cinta Gisel tak berpaling dariku.

Tamat.

Pentjerita-pentjerita Goemoel Djiwa

Mengenai Saya

Foto saya
Blog ini merupakan saranaku untuk menuangkan cerita-cerita pendek yang scene-nya melintas di benak saya. Kisah-kisah di sini kudus/suci dari jiplakan/plagiatan/contekan sehingga jika ada kisah yang sama persis dengan yang saya tuliskan bisa dipastikan membajak/menjiplak/memplagiat dari cerpen saya.