Senin, 31 Mei 2010

Pintar dan Bodoh (Sebuah Cerita Pencerahan)

Suatu hari Guru ruang lo-han Shaolin Selatan di Songsan Sam Cia Lok ingin mencari pengganti guru ruang lo-han karena dia akan naik peringkat. Setelah menguji kanuragan ke 22 muridnya di memperoleh 5 kandidat, kemudian ke 5 kandidat ini diuji dengan hafalan Sangha sutta, Paritta, dan Dhammapada, dari ujian ini dia memperoleh 2 murid yang sama nilainya yaitu Sam Tiat Cien dan Sam Tho Cien. Bingung sang guru memilih siapa di antara kedua muridnya ini yang kelak menjadi penggantinya.

Tak kurang akal si guru mencari cara, kemudian dia masuk ke dapur dan memasak seporsi besar cap cay kemudian membaginya menjadi dua mangkok. Kedua mangkok itu dibagikan kepada kepada kedua kandidat ketua di dua ruang yang berbeda. Setelah kedua murid itu selesai makan si guru mendatangi Sam Tiat Cien lalu bertanya:

"Apa yang kau rasakan setelah makan capcay ?"

"Kenyang guru." jawab Sam Tiat Cien,

si guru pun mengangguk-angguk dan tersenyum lalu pergi m1endatangi murid kedua,

"Apa yang kau rasakan setelah makan capcay ?" tanya si guru,

"Banyak hal guru," jawab Sam Tho Cien.

"Apa saja ?",

"Rasa manis dari swi-ca/kol, renyahnya sim-ca/caisim, empuknya tofu dan semua itu ditingkahi hangatnya bawang putih dan merica serta rasa gurih dari kecap asin." jawab Sam Tho Cien.

Lalu si guru bersabda: "Sam Tho Cien mulai esok kamu adalah penggantiku"

Tidak Percaya (sebuah cerita sufistik)

Seorang pendeta sebuah kuil menemui seorang pertapa di perbukitan Kharm-el (kata Carmel dari sini yang berarti dipingit Tuhan), mereka lalu bertanya jawab.

*Pendeta: 'Apakah anda sedang mencari Tuhan ?'

*Pertapa:'Tidak'

*Pendeta:'Lalu, mengapa Anda di sini ?'

*Pertapa:'karena saya sedang bertapa.'

*Pendeta:'Berarti Anda sedang mencari Tuhan, Anda jangan berbelit-belitlah.'

*Pertapa:'karena saya memang tidak mencari Tuhan.'

*Pendeta:'Apakah Anda percaya akan adanya Tuhan ?'

*Pertapa:'Tidak.'

*Pendeta: 'Anda berarti berbohong !!!! Seseorang bertapa karena percaya pada Tuhan !!!!'

*Pertapa: 'Jika sudah melihat dan merasakan-Nya masihkah perlu meributkan percaya atau tidak percaya ?'

Seperti Apa ? (sebuah cerita sufistik)

Seorang pelajar kitab sebuah kuil ditugasi guru pendeta untuk mentobatkan seorang pertapa di Bukit T'abrouk, karena dinilai sesat.

*Pelajar: "Benarkah Bapa bertapa ?

*Pertapa:'Pendapat siapa itu ?'

*Pelajar: 'menurut orang-orang yang pernah ditolong Bapa.'

*Pertapa :'Aku tidak pernah menolong mereka.'

*Pelajar:'Lalu siapa yang menolong mereka ?'

*Pertapa:'mereka ditolong Tuhan.'

*Pelajar:'Berarti Bapa menganggap diri Bapa, Tuhan ?'

*Pertapa:'Tidak.'

*Pelajar:'Lalu mengapa Bapa katakan ditolong Tuhan.'

*Pertapa:'Tuhan menggunakan diriku untuk menolong mereka.'

*Pelajar:'Menurut Bapa Tuhan itu seperti apa ?'

*Pertapa: 'Entahlah.'

*Pelajar:'tetapi menurut berita yang saya dengar Bapa sudah bertemu Tuhan.'

*Pertapa: 'jika kuceritakan Tuhan itu seperti apa, sampai kakimu berakar di sini pun kamu tidak akan mengerti.'

*Pelajar:' Ayolah Bapa ceritakan sedikit pengetahuan Bapa.'

*Pertapa: 'Lihatlah tetanggamu, lihatlah keluargamu lihatlah orang-orang yang kau musuhi, lihatlah jalan hidup mereka, lihatlah dirimu sendiri, lihatlah jalan hidupmu, niscaya suatu saat nanti kamu akan bertemu Tuhan.'

Tuhan, Aku Menantang-Mu

Tak seperti bisanya di akhir minggu ini, aku mampu bangun pagi. Kulirik dengan mata separuh jam beker di samping tilam tidurku, owh pukul 4:30 pagi rupanya, sayup samar kudengar tilawath fajar di surau seberang mengiang irama negeri Arabi. Beranjak bangun dari ringkukku kucoba lompat satu hentakan, ahh Tuhan aku sudah tak muda lagi seperti dahulu ketika mendalami Kung Fu, hanya suara gemeratak saja yang kuhasilkan. Kusiapkan segelas kopi hitam untuk mengusir malasku, lalu kunikmati seusai mandi.


Kunaiki motor Suzuki Smashku yang butut perlahan menuju gereja untuk misa pagi pukul 7:00. Entah mengapa misa pagi ini dibawa dalam suasana Gregorian, mulai dari Kyrie Eleison hingga Agnus Dei, suasana ibadat yang membuatku serasa dalam pelukan hangat Bapa Ilahi. Usai misa aku sedikit bersapa tanya dengan beberapa teman yang kebetulan menghadiri misa pagi itu. Namun aneh, pagi itu aku sungguh enggan menggerakkan kakiku keluar dari pelataran gereja.

Sendiri kududuk di bangku paling belakang sembari memandang singgasana Tabernakel tempat Sang Misteri mahamistis bertahta. Bertahun-tahun benakku bertanya-tanya tentang janji-janji manis Tuhan, bermacam devosi telah kujalani, membalik-balik kisah Ayub di dalam Kitab Suci, hingga menggelandang ke gereja-gereja lain beraliran Protestan Karismatik tapi semua itu nihil. Janji-janji manis akan ‘upah’ kemurnian pada kejujuran, kepedulian, dan kesabaran sampai sekarang belum kucecap sedikitpun. Begitu dalam kutenggelam dalam tuntutanku kepada Tuhan hingga seusap sentuhan telapak hangat tersampir di bahuku, membuyarkan tuntutanku.
“Mas, belum pulang, masih betah di sini ?”

“Oooh, Pak Gudril, pagi Pak, berkah Dalem,” sapaku sembari bersalam erat tangannya.

“Belum Pak, saya tidak tahu mengapa hari ini malas pulang,” jawabku sambil beringsut minggir memberi tempat Pak Gudril untuk duduk di sebelahku.

“Mas, mau menemani saya berdoa Rosario sebentar ?” Tanya Pak Gudril dalam penawaran.

“Emmm, boleh.” Jawabku sedikit terpaksa, karena sebenarnya aku hanya ingin diam saja di situ.

Pak Gudril adalah koster di gereja kami, sebuah gereja di kota kecil yang masuk dalam wilayah Keuskupan Purwokerto. Nama panjangnya adalah Lukas Gudril biasa dipanggil sebagai Pak Lugu, namun aku tetap memanggilnya Pak Gudril, karena nama Gudril memberiku kesan akan keaslian Banyumasan. Pak Gudril, pria bertubuh kurus dengan bahu kiri agak sedikit miring, berambut ikal, berkulit sawo matang gelap, hidung mekar dengan bibir agak tebal, alis tebal dengan ujung-ujung mata yang turun, seraut wajah yang memang jauh dari tampan, terlebih sekarang usianya mendekati 55 tahun, paparan keriputpun menghias di mana-mana.
Usai kami berdoa Rosario Pak Gudril mengundangku ke pondoknya, pondok kosteran.

“Silakan Mas, nikmati klethi’annya, cuma lanting dan peyek kedelai hitam”, ungkap Pak Gudril sambil menyiapkan dua toples berisi lanting warna-warni dan peyek kedelai ukuran besar.

“Hanya teh hangat, Mas, mboten napa-napa nggih (tidak masalah kan) ?” ucap pak Gudril dalam logat Banyumas yang kental membawakanku dua gelas teh hijau dengan kepulan uap yang merangsang penciumanku.

“Mboten napa-napa, Pak. Kula nggih wau enjing sampun ngopi (Tidak masalah, Pak. Saya juga tadi pagi sudah ngopi).” Jawabku dengan logat yang sama.

Kuambil sepotong peyek kedelai yang memang kesukaanku sambil menghirup sedikit kepulan uap teh hijau buatan Pak Gudril. Kukunyah peyek sembari mengamati dekorasi dalam ruang pondok kosteran tempat Pak Gudril, sebentang dekorasi yang sederhana pikirku, mengungkap satu kesahajaan.

“Lagi banyak pikiran, Mas ?”, tanya Pak Gudril memecah perhatianku.

“Yaaa…” sahutku terperanjat mendengar tuduhan Pak Gudril

“Tuhan sering terlihat tidak adil ya, Mas ?” lanjut Pak Gudril sembari menilik tajam ke arah mataku.

“Maksud Bapak ?” tanyaku pura-pura bodoh sambil mencicipi teh hijau yang wanginya aduhai.

“Biasanya orang yang ingin berlama-lama di hadapan Tabernakel sedang menggendong sekarung masalah, Mas,” kata Pak Gudril sambil berkelakar, “Dan pikirannya dipenuhi kalimat-kalimat protes”, lanjutnya lagi dengan wajah serius.

Dalam hati aku bertanya-tanya, siapakah Pak Gudril ini kok kalimatnya bisa tertata apik. Memang benar aku sedang protes kepada Tuhan atas segala kesuraman yang kualami, mulai dari sejak dulu aku sekolah hingga kini sudah menghidupi diri sendiri dengan tertatih-tatih dan entah kapan akan kurengkuh mahligai perkawinan.

“Aahh, Pak Gudril ada-ada saja, saya baik-baik saja kok, Pak.” Kataku dengan senyum yang sangat kupaksakan.

“Saya serius, Mas.” Tegas Pak Gudril dengan mimik wajah mengeras, “Mas, belum berkeluarga bukan ? Mungkin masalah Mas-nya sekitar keuangan, pangkat atau jodoh, umum sekali hal ini” lanjut Pak Gudril dengan tatapan menyelidik.

“Aaah, saya tidak sedang dalam masalah kok, Pak,” jawabku sembari menghindari tatapannya yang menyeruak setiap tepian relung benakku.

“Mas-nya sudah pernah menantang Tuhan ?” Tanya Pak Gudril tegas lurus menghujam seperti sepenggal tombak pusaka menancapi jantungku.

“Aas, aam, aduuuh, Pak, tidak !” jawabku gelagapan, sembari menata hati yang terhujam tombak tanya Pak Gudril.

“Ahaa, berarti Mas-nya, sudah hampir ke titik itu,” tandas Pak Gudril menambah hujaman katanya.

“Baiklah, kalau Mas-nya ndak mau cerita, saya yang akan cerita.” Jawab Pak Gudril lalu terdiam sejenak dan menghela nafas beberapa kali, “Mas, kenal almarhum Pak Tinus yang meninggal satu tahun yang lalu ?” Tanya Pak Gudril sembari mengumpulkan kepingan-kepingan memori.

“Ya, ya, saya ingat koster terlama di gereja ini, kalau tidak salah 30 tahun menjadi koster di sini ya, Pak ?” tanyaku memastikan.

“Dialah yang mengembalikan ‘kekayaan Nabi Ayub’ kepada saya, Mas.” Ungkap Pak Gudril sembari mengambil sebingkai foto bersama mereka berdua.

“Maksud Bapak ?” tanyaku mulai tertarik dengan apa yang dikatakannya.

“Duapuluh tahun yang lalu saya pernah menantang Tuhan, Mas.” Ungkapnya lagi sambil tertunduk menatap lantai, seolah-olah adalah bentang layar kehidupannya.

“Tigapuluh tahun lalu saya adalah pemilik sebuah perusahaan kontraktor engineering, saya bekerja sama sama dengan dua orang kawan. Kami masing-masing mempunyai keahlian yang berbeda, saya dibidang kelistrikan dan instrumentasi sementara dua kawan saya masing-masing di bidang mekanika dan konstruksi sipil.” Jelasnya lagi dengan memejamkan mata dan menghela satu tarikan nafas panjang, menahannya sejenak lalu melepaskannya.

Tak bisa kubayangkan orang dengan perawakan seperti Pak Gudril adalah pemilik perusahaan dan ahli kelistrikan serta instrumentasi, suatu hal yang berbeda jika digambarkan oleh selayar sinetron. Tak bisa kubayangkan pula orang sealim Pak Gudril pernah menantang Tuhan.

“Tigapuluh tahun lalu perusahaan yang saya rintis setelah lulus STM jurusan listrik sudah maju pesat, Mas. Proyek-proyek milyaran rupiah mudah saya dapatkan.” Lanjutnya dengan mata menerawang keluar. ”Saya bersimbah harta ketika orang lain bersimbah keringat, dan itu saya syukuri, waktu itu saya sungguh merasa digendong oleh Tuhan.” Ungkap Pak Gudril dengan rona bahagia mengingat masa-masa itu.

“Saya gunakan uang yang saya miliki untuk menunjukkan status sosial saya kepada lingkungan sekitar, saya beli rumah mewah, dan dua mobil berkelas Eropa, tak lupa saya meminang seorang gadis cantik dan seksi yang menjadi sekretaris saya waktu itu, walau beda agama kami tetap nekat menikah, dan saya menikah menurut tata cara agama isteri saya.” Jelas Pak Gudril sembari menyobeki secarik kertas hingga kecil-kecil seolah-olah itu adalah memori kehidupannya yang tercabik-cabik.

“Sebagai seorang bos, waktu luang saya lumayan banyak dan itu saya gunakan untuk melanjutkan pendidikan saya hingga S1 dan S2, saya mengambil dua jurusan sekaligus instrumentasi elektrik dan psikologi, khusus psikologi saya selesaikan hingga S2 karena saya pikir adalah baik untuk menilai kondisi psikis rival-rival tender saya waktu itu.” Kenangnya seperti tercekat zaman.

“Silakan dinikmati lho, Mas teh dan makanannya, jangan terhanyut dengan kisah saya, Mas.” Kata Pak Gudril memecah konsentrasiku.

“Keadaan berbalik sepuluh tahun kemudian, salah seorang teman sekerja saya tiba-tiba mengundurkan diri dan membuat perusahaan sejenis.” Ungkapnya sambil menggeleng-gelengkan kepala, “Saya menyetujui karena saya pikir itu hal baik, sebab dia ingin mandiri, tak dinyana ternyata dia mundur sembari membawa uang hasil tender yang terakhir sebesar 8 milyar.” Lanjutnya sambil mengetuk-ngetuk meja dan tampak geram atas perbuatan rekan sekerjanya.

”Tender itu adalah tender terbesar dalam sejarah perusahaan saya Mas, bayangkan Mas, kurs Rupiah terhadap US Dollar saat itu masih dalam kisaran Rp. 4500.00 hingga Rp. 5000.00, bukan main-main” katanya lagi.

“Peristiwa itu membuat saya geram dan meradang bukan kepalang, Mas, orang yang melakukan itu akhirnya saya perkarakan di pengadilan, walaupun dia pernah menjadi kawan seiring saya dan sudah saya anggap sebagai saudara,” ungkapnya sambil menyipitkan mata.

“Kemenangan saya peroleh namun lebih dari separuh uang tender yang kembali habis untuk membayar beberapa pengacara terkenal, padahal proyek harus tetap saya jalankan karena sudah menjadi kontrak,”sekali lagi Pak Gudril menghela nafas seolah-olah membuang sesuatu dari kedalaman hatinya. “Akhirnya saya harus mendekonstruksi tabungan dan asset yang saya miliki demi berjalannya proyek.” Kemudian dia terdiam dengan mata terpejam dan nafas menjadi berat.

Kesunyian kemudian kupecah dengan tanyaku, ”waktu itu Bapak di sini, di kota ini, Pak ?”

“Tidak, Mas, waktu itu saya tinggal di kawasan Pondok Indah, Jakarta selatan.” Jelasnya.

“Ooh, jadi dulu perusahaan Pak Gudril ada di Jakarta to ?” tanyaku untuk memperjelas.

“Benar, Mas, waktu itu industrialisasi sedang digalakkan dengan mengundang investor-investor asing,” lanjut pak Gudril sambil menghirup teh hijau buatannya dan mengambil sejumput lanting.

“Wah, Pak Gudril hebat ya dulu, masih muda sudah punya perusahaan sendiri ck…ck…ck…ck.” Seruku terkagum-kagum, ”Anugerah Tuhan yang besar itu, Pak,” seruku lagi, ”saya saja sampai sekarang masih tertatih-tatih, menggotong hidup saya sendiri, Bapak sudah pernah memiliki perusahaan dengan asset yang sedemikian besar.” Ucapku lagi sembari geleng-geleng kepala.

“Tunggu dulu, Mas, memang sekarang Mas, kerja di mana ?” Tanya Pak Gudril kepadaku sambil sedikit memiringkan kepala.

“Aahh, saya cuma kerja di sebuah perusahaan kecil sebagai teknisi, Pak.” Ungkapku, ”gaji saya hanya sedikit di atas UMR, sementara harga-harga kebutuhan barang sudah di atas itu.” Tambahku lagi.

“Ok, Mas, saya lanjutkan cerita saya lagi, boleh ?” Tanya Pak Gudril untuk memintaku berhenti berkisah.

“Maaf Pak, silakan.” Pintaku dengan rasa tidak enak hati karena telah memotong banyak kisah Pak Gudril.

“wah, tadi sampai di mana ya ?”, Tanya Pak Gudril dengan berkerut kening.

“Sampai Bapak mengeluarkan tabungan dan asset pribadi untuk proyek,” jawabku untuk mengingatkannya.

“Aahh ya, saya menjual rumah mewah saya yang seharga 1,5 milyar dengan setengah harga kemudian saya beli sebuah rumah kelas menengah, saya jual dua mobil Eropa kesayangan saya dan saya gantikan dengan satu mobil Jepang seken.” ungkapnya lalu menghirup sekali lagi tehnya, ”Itu semua untuk menutupi nilai proyek yang harus saya jalankan.”

“Tapi itu semua belum apa-apa, Mas.” Kemudian pandangan Pak Gudril seperti menatap sesuatu yang tak ada, agak lama dia terdiam dan tak terasa dua titik air mata mengembang di sudut-sudut mata Pak Gudril.

“yang paling menyakitkan adalah ketika proyek terakhir itu selesai, isteri saya kabur bersama rekan kerja saya yang lain dengan membawa anak kami satu-satunya yang masih berusia dua tahun beserta sebagian besar tabungan perusahaan dan hanya menyisakan 1,5 juta, dan ternyata anak itu bukan anak saya melainkan anak hasil hubungan gelap isteri saya dengan rekan saya itu, dan itu saya ketahui dari surat pamitnya.” Lanjutnya lagi dengan suara terbata-bata.

“Saya benar-benar jatuh Mas saat itu, uang di tabungan pribadi saya saat itu tinggal 30 juta, padahal saya masih menanggung gaji delapan orang pegawai saya.” Ungkap Pak Gudril dengan suara tertelan.

Tiba-tiba dari luar terdengar suara berat Romo Siswoyo memanggil Pak Gudril, “Pak Gudril, Pak….sudah menyiapkan kelengkapan misa untuk ke stasi, Pak ?” tiba-tiba Romo Sis – panggilan Romo Siswoyo – yang tinggi besar itu sudah berada di depan pintu pondok kosteran. “Waaah, Mas Hank to…tumben main ke kosteran biasanya setelah misa langsung nginclik pulang,” sapa Romo Sis sembari menggodaku. “Pagi, Romo…” sapaku agak malu-malu dan tidak enak hati karena mengganggu tugas Pak Gudril. “Pagi, juga Mas,…gimana kabar bapak-ibu, sehat to ?”, kata Romo Sis menjawab sapaanku, Pangestunipun, sehat Mo,” jawabku.

“Semua sudah saya siapkan sejak dari semalam, Mo, tapi kalau ada kekurangan sebaiknya kita periksa bersam-sama.” jawab Pak Gudril kemudian mereka berdua bersama-sama pergi menuju pastoran.

Sepeninggal mereka aku mencoba mengilas balik hidupku. Kukilas hidupku dari semenjak SD, SMP hingga SMA masa-masa penuh kepongahan dan egoisme sebuah romantisme bayi monyet, kemudian kukilas masa-masa di perguruan tinggi yaitu masa-masa pancaroba ketika seorang anak biasa digendong emak-bapaknya harus mulai belajar menata diri, apalagi waktu itu kuliahku lumayan jauh di Kota Semarang. Pada masa kuliah aku masih sangat berpegang teguh pada benteng reputasi kejujuran, sebuah romantisme idealis yang kubawa semenjak SD, romantisme ‘cheat-proof’ atau anti contek-menyontek, walaupun itu sangat menyusahkan jalan hidupku namun aku tetap melakoninya bukan karena janji-janji manis Tuhan melainkan lebih kepada kesombongan intelektual. Apapun itu tetap aku syukuri sekalipun harus mengorbankan IPK dan hampir terkena finalisasi drop-out.

Kukilas kembali setelah aku lulus kuliah, masa ketika aku harus belajar menghidupi diri-sendiri, seuntai dunia kerja. Dunia kerja bukanlah bagian dari dunia dongeng, bukan dunia kontras warna melainkan sebuah dunia dengan penuh warna ‘setengah’ - setengah jujur,setengah curang – suatu hal yang belum pernah kubayangkan sebelumnya. Kadang-kadang aku berpikir seandainya Tuhan sudi mengubah seluruh dunia seperti dunia dongeng mungkin hidup seluruh manusia di muka bumi akan menjadi indah.

Dunia asmara pun bukanlah sebuah tayangan tonil, sinetron ataupun telenovela. Banyak orang membuat kata-kata mutiara tentang cinta-asmara yang menghanyutkan hati, tentang cinta sejati, ketulusan, kesetiaan, dan masih banyak lagi tetapi sangat sedikit yang mampu menjadikannya sebagai jiwa kehidupan kecuali hanya sebagai jiwa bibir pemulas kata, pemulas mimpi-mimpi tak sampai. Banyak kata-kata mutiara asmara merumuskan tentang kesejatian cinta pada sikap hati bukan pada tataran tubuh atau harta, tetapi pengalamanku mengatakan manusia akan tetap mengikuti insting dasarnya, sebuah insting mengenai kenyamanan baik visual maupun sentuhan kenikmatan.

Tak terasa satu setengah jam aku mengilas balik hidupku, dan pertanyaan terakhir yang muncul di benakku, ‘Tuhan, Engkau ada di pihak mana ?’

Kudengar langkah ringan dan cepat Pak Gudril yang kembali menuju pondok kosteran. “Maaf Mas, saya tinggal agak lama, karena harus ada beberapa barang tambahan yang harus dibawa Romo Sis ke stasi,” jelas Pak Gudril kepadaku.

“Tadi sampai di mana ya Mas, cerita saya ?”, tanya Pak Gudril kebingungan akan kisah lampaunya sendiri.

“Sampai Bapak harus membayar sisa gajian delapan orang pegawai Bapak,” jawabku dengan rasa kasihan kepada Pak Gudril yang beranjak renta ini.

“Ooh ya, ya saya ingat,” kata Pak Gudril sambil mengambil posisi duduk.

“Saya menjual sisa bidang tanah yang saya miliki untuk membayar gaji mereka dan biaya permohonan kepailitan ke Dirjen industri,” ungkap Pak Gudril menyambung kisahnya yang terputus, “kemudian saya mencoba melamar kerja di tempat relasi-relasi saya dahulu yang pernah menjadi klien saya, tapi hasilnya nihil mereka kebingungan harus menggaji saya sebesar apa,” lalu Pak Gudril mengambil sebuah buku kartu nama yang sudah sangat lusuh dan ditunjukkannya kepadaku, “Ini Mas, sebagian klien saya tigapuluh tahun lalu.” Banyak nama yang tidak asing dan sangat terkenal di bidang industri pada buku itu. “Mereka selalu mengatakan,’kualifikasi Bapak jauh di atas yang kami butuhkan, maaf kami tidak bisa menerima Bapak,’ itu kata mereka.”

“Kemudian saya mencoba berbalik arah, saya berpikir mungkin saya terlalu banyak berdosa pada lingkungan dan Tuhan sehingga saya bertekad berkarya di bidang sosial, lalu saya mendatangi dewan paroki, saya membuat proposal pengajuan pendirian Balai Latihan Kerja industri, maksud saya adalah dengan mendidik generasi muda gereja yang kurang mampu secara finansial namun berkemauan tinggi akan menjadikan mereka mandiri, tapi…,” cerita Pak Gudril terhenti oleh helaan nafas panjangnya, “di jajaran dewan paroki sendiri duduk beberapa orang yang sebelumnya pernah menjadi pesaing tender saya, dan rupanya bara dendam masih menyala di hati mereka walaupun sering mendoakan … seperti kami pun mau mengampuni orang yang bersalah kepada kami …, akhirnya proposal saya ditolak.” Katanya pula sambil tak sadar meremas-remas peyek yang ada di tangannya.

“Habis sudah kepercayaan saya pada Tuhan dan sesama manusia, itu adalah hari terakhir saya berharap pada Tuhan. Malam itu saya menangis tanpa air mata, tabungan yang semakin menipis hingga tinggal enam juta, ditolak di mana-mana,” tak sadar ujung-ujung mata Pak Gudril mengalir sejalur tipis air mata, “kemudian saya keluar rumah menuju halaman dan saya berteriak,’Heh Tuhan yang buta, tuli dan imbisil jika memang untuk merasakan gendongan-Mu jiwaku harus hitam dan pikiranku harus sesat lebih dahulu, maka mulai esok di titik balik fajar, aku akan menjadi sesat dan hitam, sehitam-hitamnya, ya, aku menantang-Mu !!!’ saya waktu itu seperti kerasukan dan mengacung-acungkan kepalan ke langit” kata Pak Gudril dengan agak berapi-api.

“Keesokan harinya saya mencari seorang mantan staff sales project saya, dan saya minta dikenalkan dengan germo yang dia kenal,” lanjut Pak Gudril sembari menyeka air mata. “Sudah rahasia umum Mas, untuk melancarkan tender proyek harus ada pelicinnya entah itu berupa materi atau wanita, dan itu masuk dalam biaya entertainment,” sekali lagi Pak Gudril menghela nafas. “Dia kaget setengah mati mendengar maksud saya, karena dahulu dia mengenal saya sebagai orang saleh, ’serius nih Pak ?,’ tanya dia waktu itu.”

“Saya menerangkan kesulitan saya padanya dan saya katakan kesalehan adalah makanan orang imbisil.” Lanjut Pak Gudril sembari geleng-geleng kepala mengingat masa itu.

“Lalu dia mengenalkan saya dengan seorang germo kelas tinggi yang bermain di tataran kelas atas, pekerja-pekerja seksnya banyak model kurang terkenal yang biasa digunakan untuk modeling kalender, baik domestik maupun luar negeri seperti dari Uzbekistan yang biasa disebut sebagai ‘kuda putih’ maupun dari daratan RRC dan Thailand.” sekali lagi Pak Gudril menghirup teh hijaunya yang sudah mulai dingin.

“Satu tahun saya menjadi asisten germo, saya jadi mengenal liku-liku dunia hitam pelacuran, saya tahu bagaimana sistem recruitmentnya yang susah-susah gampang, untuk mencari yang domestik agak susah, perlu banyak rayuan jebakan, sedangkan untuk yang dari luar negeri biasanya justeru mereka yang menawarkan diri,” kata Pak Gudril menjelaskan dunia pelacuran.

“Wow…!,” seruku setengah tak percaya.

“Penghasilan saya beranjak cepat, Mas, semenjak menjadi asisten germo, dalam sebulan saya bisa memperoleh antara tigapuluh hingga empatpuluh juta jika sedang ramai.” Lanjutnya dengan pandangan menerawang.

“Setengah tahun kemudian saya berpisah dari bos saya dan mendirikan escort agency sendiri, oh ya escort adalah istilah untuk pelacur high class, Mas.”

“Saya mendirikan agency sendiri karena ketidaksesuaian prinsip dengan mantan bos saya, dia senang menjebak gadis-gadis lugu dengan rayuan, sedangkan saya tidak suka cara itu, saya lebih suka mengatakan apa adanya, dan yang paling saya tekankan adalah rasa ketidaktakutan pada Tuhan, karena itu adalah bagian dari dendam saya waktu itu, saya paling tidak suka jika seorang calon escort lady masih membawa-bawa nama Tuhan.”

“Wah, Pak…aduh !,” seruku sambil geleng-geleng kepala.

“Ya, begitulah Mas, niat saya untuk menjadi sesat waktu itu tidak tanggung-tanggung, tidak suam-suam kuku.”

Agency saya berkembang pesat karena dipenuhi gadis-gadis yang tulus untuk menjadi sesat, tidak setengah-setengah dan kami pun sepemikiran bahwa kesalehan adalah pekerjaan orang imbisil.”

“Bahkan permintaan dari luar negeri seperti Malaysia, Thailand, bahkan negara-negara timur tengah pun banyak. Agency saya menjadi salah satu favorit mereka.”

“Saya hidup dalam kesenangan duniawi yang tak terbayangkan Mas, waktu itu, bahkan beberapa gadis escort mau jadi simpanan saya.”

“Hufff…!!!” seruku tanpa kata-kata.

“Delapan tahun saya jalani bisnis hitam itu, tapi akhirnya terendus juga oleh intel kepolisian yang memang sudah lama mengincar saya, dan saya dikenai pasal trafficking, kemudian saya di-nusakambangan-kan.”

“Di Nusakambangan saya harus menjalani hukuman selama tiga tahun lima bulan,” kata Pak Gudril dengan mengambil nafas yang cukup dalam.

“Di situlah, dalam keterasingan saya merasakan kekeringan jiwa, saya baru menyadari banyak yang hilang dari diri saya.”

“Satu bulan sekali paroki ini melakukan kunjungan ke Nusakambangan, waktu itu masih Romo Bimo yang menjadi pastor paroki, dan setiap kali saya mengamati misa dari luar ada satu kekuatan luar biasa yang menarik saya dan mendorong saya melakukan kilas balik hidup saya.”

“Setelah tujuh bulan di Nusakambangan, baru saya memberanikan diri menemui Pak Tinus, lalu saya sampaikan maksud saya bertemu Romo Bimo untuk minta sakramen tobat.” Ungkap Pak Gudril sambil meraba dan mengusap-usap foto Pak Tinus.
“Pak Tinus itu seorang sahabat sejati Mas, bahkan senasib sepenanggungan dengan saya, dahulu dia adalah anggota angkatan darat berpangkat letnan, lalu dia difitnah demi kepentingan politik internal dan akhirnya desersi dan menjadi pembunuh bayaran.” Lanjut Pak Gudril dengan mata berkaca-kaca. “Dia menjalani hukuman selama 10 tahun sebagai kriminal di Nusakambangan juga.”

“Pak Tinus selalu berpesan bahwa pintu pondok kosteran terbuka lebar untuk saya jika saya selesai menjalani hukuman.”

“Apakah Bapak setelah selesai menjalani hukuman langsung ke sini, Pak ?” tanyaku ingin tahu.

“Tidak Mas, saya kembali ke Jakarta untuk melihat rumah saya.” Jawab Pak Gudril singkat.

“Kembali ke rumah, saya pikir akan menemui kondisi yang menyedihkan, kotor dan berdebu, tetapi apa yang saya temui membuat saya tercekat dan terjatuh lemas.” Lagi-lagi sejalur airmata turun.

“Rumah saya tetap bersih rapi walaupun di depan berdiri sebuah warung makan kecil yang sangat ramai.”

“Lalu ada suara memanggil saya dari dalam warung, ‘Pak Luk, Pak Luk, saya di sini,’ kemudian saya mendatangi warung dan saya lihat Mbak Sri pembantu saya menyambut dengan wajah gembira.”

“Saya langsung bersujud di kakinya Mas, saya ciumi kakinya seperti saya mencium kaki ibu saya sendiri, sebab dia adalah orang setia kedua setelah ibu saya.”

“Saya tidak bisa membayangkan orang dengan kesetiaan begitu besar menunggui tuannya yang hidupnya bejat sampai masuk penjara, dia sudah mengikuti saya sejak umur tigabelas tahun, sejak saya kaya raya sampai jatuh miskin, lalu ketika saya jadi bejat dia tetap mengikuti saya dalam pengabdian yang diam, akhirnya saya hanya bisa bersujud di kakinya.”

Tiba-tiba dari luar terdengar suara memanggil Pak Gudril, Pakne, ki lho dhahar siangmu, pesenmu pete goreng sambel trasi yo tak gawake (Pak, ini lho makan siangmu, permintaanmu pete goreng dan sambal terasi ya saya bawakan), “ suara yang empuk dengan logat khas Jogjakarta yang halus, berbeda dengan logat Banyumasan yang meledak-ledak.

Kulihat seorang ibu paruh baya yang samar-samar sering aku lihat di gereja, seorang ibu dengan badan agak gemuk pendek, wajah biasa saja namun cukup manis.

“Kenalkan Mas, ini isteri saya Yohanna Sri Wilujeng Handayani, dia harta pertama saya yang dikembalikan Tuhan melalui Pak Tinus, inilah orang yang saya ciumi kakinya sepulang saya dari Nusakambangan.”

“Sebulan setelah saya pulang dari Nusakambangan, Pak Tinus mampir ke rumah saya dan kami dijodohkan olehnya.”

Halaaah Pakne ki crito opo yo, kok ngoyoworo ngene (halah, Bapak ini cerita apa ya, kok aneh-aneh begini),” sergah Bu Gudril malu-malu.

“Saya pilihkan nama baptis Yohanna untuk dia karena dialah yang telah membaptis kembali kehidupan saya yang penuh kebejatan, Mas.”

“Harta kedua yang dikembalikan Tuhan melalui Almarhum Pak Tinus adalah kepercayaan diri saya akan kemampuan saya dahulu di bidang engineering, dialah yang mengusahakan saya bisa mengajar di STM yayasan sebagai guru laboratorium.” Kata Pak Gudril sembari menunjuk bangunan STM yang berada persis di samping gereja.

“Saya memang tidak kembali sekaya dahulu, tapi sekarang inilah saya menemukan ketenangan hidup saya, terlebih anak adopsi saya sekarang juga sudah melanjutkan ke seminari menengah di Mertoyudan, saya sudah merasa memperoleh lebih dari cukup semua pemberian Tuhan ini, Mas.”

Ajakan Pak Gudril untuk makan siang bersama aku tolak, karena ibu di rumah pasti sudah masak untuk porsi keluarga dan aku tak mau mengecewakan dia. Aku pulang dengan bermacam-macam perasaan, dan hanya satu kesimpulanku Tuhan memang penuh misteri.

Tamat.

(Cerpen ini dipersembahkan untuk Romo Mikhael Sheko Pr. Pastor Paroki Gereja St. Lukas, Pemalang Jawa Tengah)

Catatan:
-Cerpen ini diramu dari pengalaman beberapa orang sejak 25 tahun yang lalu, termasuk pengalaman hidupku.

Kisah Sepotong Gwa pao (kue bulan).

Delapan belas tahun lalu Mei Hwa memberiku sepotong gwa pao sebagai tanda peringatan musim menanam di tahun baru, kami menggigit bersamaan kue itu berdua, kemudian dibelahnya kue itu separuh gigitannya untukku dan separuh gigitanku untukknya :"lambang kebersamaan kita", ucapnya sambil mengulurkan potongan itu kepadaku. Delapan belas tahun sudah kue itu di dalam freezerku.

Kulayangkan kembali kenangan 18 th. lalu, kami masih anak-anak bau angkak. Mei Hwa seperti namanya tingkahnya pun seperti dawai-dawai kecapi yang mudah ditingkah perasaan jemari si pemetik. Kini dia tinggal di sebuah kawasan bisnis di Shanghai sebelah utara jembatan pelabuhan Dong Hai bersama suami dan anak-anaknya.


Suatu kali aku pernah ditugasi audit supplier untuk berkeliling daratan Tiongkok selama seminggu, dari Beijing, Shensen hingga Mongolia. Aku diberi tahu alamat terakhirnya di sana, dan aku berniat mengunjunginya untuk sekedar nostalgia di masa muda. Penuh rasa rindu dan penasaran kudial nomor cellphone-nya namun bak tercekat leherku karena di seberang sana yang kudengar adalah suara isak tangis tertahan, dengan ragu-ragu dan terbata-bata kupanggil namanya:" Mei...mei Hwa ?" lalu kudengar jawaban dengan suara isak tertahan, "hao, xue men ni (benar siapa ini)?" aku kurang faham apa yang dia katakan namun ketika dia berkata 'hao' sebagai pembenaran seombak emosi memenuhi dadaku dan lidahku agak kelu. Lalu aku menjawabnya dalam bahasa Tegal bahasa pergaulan kami di masa remaja: "ini aku...ingat gwa pao yang kau jadikan lambang kebersamaan kita".


Isak tertahan itu meledak, menjadi tangisan yang menggaung hati meremas jiwa demi mendengar jawabanku.”Hank itukah kamu ?” tanyanya di dalam tangis, “yak, ini aku”, jawabku dengan suara tertelan. Agak lama kami saling terdiam melumat sunyi. ”Bagaimana kamu bisa sampai ke negeri ini ?” tanyanya memecah kering senyap sembari keheranan,”Oh, aku ada tugas dari kantor untuk melakukan audit engineering.”jawabku, lalu kulanjutkan tanyaku:”Alamatmu masih di Distrik Dong Hai utara kan ?”, “ya...tapi sudah tidak di tempat lama, sekarang aku di tempat kumuh”, jawabnya.”Ok...ok...sekarang sms alamatmu ke cellphoneku, aku akan ke tempatmu sekarang”,”Gak bisa !!!”, jawabnya, ”Kenapa ?”tanyaku terperanjat, ”Penduduk negeri ini sebagian besar buta baca-tulis latin mereka cuma bisa baca-tulis Qan-Zi(Jepang: Kanjikana), mending kamu beritahu alamatmu menginap, aku yang ke tempatmu”, jelasnya, “Oookeee...”, jawabku ragu.”Cepat !”, perintahnya, lalu kuberikan alamatku menginap:”Regal Palace International Hotel di lantai I Shanghai Indoor Stadium”.

Kuulangi lagi menyebutkan alamat tempatku menginap di Shanghai kemudian kami saling berjanji bertemu di hotel, lalu kututup cellphoneku. Kutitipkan pesan kepada resepsionis hotel yang kemampuan Bahasa Inggrisnya sangat pas-pasan; cukup lama aku menerangkan maksudku akhirnya aku minta secarik kertas untuk melukiskan pesanku:’Please, let me know if Mrs. Mei Hwa is coming to the hotel.’
Kubuka bungkusanku yang telah berumur delapan belas tahun, kuamati sepotong gwa pao yang tepinya dihiasi bekas gigitan mulut mungil Mei Hwa ketika remaja. Memang gwa pao itu sudah membeku karena lewat basi. Penasaranku semakin besar jika ingat masa-masa itu, seperti apakah sekarang Mei Hwa ? Apakah dia menjadi perempuan anggun mempesona ataukah seorang perempuan yang lincah dan enerjik seperti masa remaja dahulu ? Ahhhh, ribuan pertanyaan menggantung di benakku.

Dua jam sudah kumenunggu di kamarku sambil menonton acara televisi lokal yang bahasanya sama sekali asing di telingaku, yang kuingat berbeda hanya dua spot iklan Indonesia yang ditranslate ke Bahasa Mandarin; iklan Adem Sari dan Indosat.Akhirnya telepon kamar berdering dan dari seberang resepsionis memberitahu kedatangan Mei Hwa dengan logat Mandarinesse-English.

Kuturuni tangga hotel dengan rasa gundah sekaligus penasaran seperti apakah Mei Hwa sekarang. Ketika sampai di lobi hotel aku celingukan karena terdapat lebih dari enam perempuan yang kira-kira seumuranku. Tiba-tiba terdengar suara perempuan cukup lantang memanggil namaku dalam bahasa yang sangat kukenal:”Hank, Hank aku di sini…”Kaget, senang, bimbang mendengar suara itu. Pelan, perlahan kuikuti suara itu, dan di sudut kiri lobi kulihat seorang perempuan dengan pakaian yang sangat seksi, mungkin terlalu seksi untuk ukuran mataku, baju warna krem lembut tanpa lengan dengan fashion tank top yang cukup ke turun bawah hingga menampakkan sebagian buah dadanya, celana jeans pendek yang terlalu pendek menurut ukuran mataku, hingga menampakkan tiga perempat bagian pahanya. Di antara jemari tangannya terselip sebatang virginian cigarette merk Hong Mei sebuah merk cigarette kelas menengah di China. Kudatangi meja tempat dia duduk lalu aku duduk disebelahnya,”Benarkah kamu Mei Hwa ?”,”yak”, jawabnya singkat lalu dia tanya,”kenapa ?” dengan kembang senyum yang dipaksakan demi melihat mimik wajahku yang seperti orang bodoh memandangi dia. “Aaaahhhh benar kamu Mei Hwa, gimana kabarmu Ahwa ?” sapaku untuk memecah kecanggungan. Tiba-tiba dia memelukku erat-erat seperti tak mau melepaskan lalu dia menangis sejadi-jadinya. Orang-orang di lobi tiba-tiba menengok ke arah kami dan dengan sigap resepsionis hotel mendatangi kami sambil membawakan sekotak kertas tissue. Kuajak Mei Hwa menuju kamarku supaya tidak menjadi pusat perhatian.

Aku sungguh merasa jengah dengan sikap berani Mei Hwa terhadapku, sebagai seorang yang sejak kecil dididik dalam keluarga puritan, pelukan Mei Hwa membuatku agak limbung. Tak sedetikpun dia melepas pelukannya dariku ketika kubimbing menuju ke kamarku. Aku berusaha menolak halus pelukannya, namun malah membuatnya memelukku lebih erat. Pelukannya membuatku sulit membuka pintu kamar.

“Ahwa, please, tolong lepaskan sebentar pelukanmu aku jadi sulit membuka pintu kamar” pintaku, kemudian dengan enggan perlahan dia melepaskan pelukannya. Kesempatan itu kugunakan untuk cepat-cepat membuka pintu dan menjauh darinya kemudian kupersilakan dia masuk, lalu kupersilakan dia duduk di atas couch kamarku. Aku beralasan akan memesankan minuman supaya dia tak memelukku lagi. Namun dia justeru berdiri dengan pandangan nanar menatapku. Kuulangi lagi pintaku,”silakan duduk Ahwa, aku mau memesan seguci sa-ke untuk merayakan pertemuan kita.” Shanghai terletak di China timur laut sehingga percampuran budaya Mongol dan Jepang cukup kental, dan hal itu membuatku mudah memesan sa-ke a la Jepang.

Setelah kulihat Ahwa agak tenang aku mengambil jarak duduk yang agak jauh darinya. Tiba-tiba dia menyentak kesunyian dengan nada agak ketus,”Kowen ora kangen karo nyong yaa, ndut (kamu tidak kangen aku yaa, ndut) ?”, tuduhnya dengan logat Tegal yang tidak berubah dari delapan belas tahun lalu. “Lah, angger nyong ora kangen, ya ora telpon kowen raa (Lah kalau aku tidak kangen, ya tidak telpon kamu, dong) ”, jawabku agak merasa aneh dengan pertanyaanya.”Tapi kok kamu seperti enggan aku peluk”, ujarnya sambil merajuk. ”Bukan begitu, masalahnya kamu kan sudah punya suami, masa aku peluk-peluk bini orang”, Jawabku. “Oh ya, bagaimana kabar suami dan anak-anakmu ?” , tanyaku untuk memecah kecanggungan sekaligus mengingatkan posisi dia, namun pertanyaanku malah menggugah tangisannya kembali. Kini aku yang merasa bersalah dan terpaksa memeluknya untuk menenangkannya. “Oke, tenangkan perasaanmu dan ceritakan bebanmu kepadaku.”

Kutunggu tangisnya sampai habis lalu kulepas pelukanku, kemudian kutawari dia virginian cigarette Mild Seven milikku. “Kamu merokok juga ?” tanyanya sambil menarik sebatang,” Kadang-kadang, jika ingin menikmati kesendirian,” jawabku.”Hmmhhhh, ini cigarette Jepang yang kusuka.”Semenit, dua menit dia nikmati cigarette yang terselip di antara jemari lentiknya, kemudian mulailah dia bercerita, ”Empat tahun yang lalu bahtera rumah tanggaku dihancurkan oleh suamiku sendiri”. Dia terdiam sejenak, matanya menatap sesuatu yang tak ada menerawang entah ke mana. ”Selingkuh ?”, tanyaku menyelidik. “Aahh kalau dia selingkuh aku takkan terlalu memusingkan, di sini hampir setiap laki-laki punya wanita simpanan, kecuali para buruh, bikkhu dan gay,”ujarnya sinis, “Oooooh”, seruku terperanjat, ”lalu mengapa ?”. “Tak kusangka dia melakukan korupsi dan menggelapkan uang kantor dagang negara, persidangan untuknya pun berlangsung cepat hanya tiga hari, esoknya dia langsung menghadapi regu tembak pemerintah.”jawabnya datar. Dalam hati aku berseru, ’wow, cepat sekali negeri ini kalau memberantas korupsi,’”Lalu bagaimana anak-anakmu ?”, semakin besar rasa ingin tahuku. ”Semua harta dan anaku satu-satunya disita oleh Negara.””Haaaaah !”, seruku terkaget-kaget, “anakmu disita negara ?”.”di negeri ini banyak hal yang sulit disebut milik pribadi “, jelasnya. ” Lalu bagaimana kamu menghidupi dirimu selama ini ?”.”Aku menjadi waitress di sebuah pub internasional, dan beberapa kali jadi simpanan para expatriate Eropa karena kemampuan Bahasa Inggrisku yang lumayan.” Entah mengapa tiba-tiba leherku seperti tercekik dan aku jadi susah bernafas mendengar kisah hidup Mei Hwa. Tak terasa meleleh sejalur air mata meluncur turun, tiba-tiba Mei Hwa mendekatiku dan langsung mengecup setiap air mata yang turun dari mataku, ”Sst, cup, cup jangan menangis gendutku sayang, aku sudah kebal dengan masa laluku kok.” Hiburnya. Aroma wangi tubuhnya serta desakan hangat buah dadanya sekali lagi membuatku limbung dan susah berpikir jernih, hingga aku cuma terdiam.

“Hmm, kamu masih laki-laki,” ucapnya sambil tersenyum, aku terhenyak atas ucapannya,”maksudmu ?”, “tatapan matamu pada buah dada dan pahaku menunjukkan itu, tapi ndak apa-apa kok aku senang karena kamu yang menatapku begitu.” jawabnya sambil nyengir. Aku tersipu atas perbuatanku itu. “Kamu sendiri gimana Hank, anakmu berapa ?”, “Aku belum berkeluarga,” jawabku singkat. “Kenapa ?, Cari puteri dongeng,?”, tanyanya sambil menuduh, ”Justeru kebalikannya, setiap perempuan yang kuajak serius ternyata sedang mencari pangeran dongeng.” Jawabku. ”Mungkinkah aku puteri dongengmu ?”, tanyanya singkat, ”Mungkin saja, dan itu pasti menyenangkan.” jawabku sambil mengecup keningnya. “Ahwa kamu masih ingat ndak dulu waktu kita masih SMA, kita sering misdinar* bersama ?”, tanyaku.”Huh, kamu mau mengingatkanku tentang Tuhan ? Oh, no, please, God is a myth, I‘ve been years disconnected with that myth,” jawabnya dengan nada meninggi tak sedap.”Tidak, bukan begitu. Apa kamu ndak ingat kapan kamu memberikan potongan gwa pao sebelum akhirnya kamu menghilang?”,tanyaku,”Oww, itu. Mana mungkin aku lupa itu, Tuan Bakpao.”

Tiba-tiba terdengar ketukan dari luar,” Reservation please, sa-ke”, dengan sigap Mei Hwa menuju pintu membukanya dan menerima pesanan sa-ke dari waiter, kesempatan itu kugunakan untuk mengambil bungkusan gwa pao dari freezer dan meletakkannya di atas meja. “Nih, sa-ke pesananmu,” kata Mei Hwa sambil meletakkannya di atas meja. Aku menuang dua cawan sa-ke, masing-masing untukku dan Mei Hwa. “Apa isi bungkusan kain putih itu ?” tanyanya penuh rasa ingin tahu. Aku tidak menjawab dengan kata-kata, hanya membuka bungkusan itu lalu kuperlihatkan padanya. Dia hanya tercenung menatap isi bungkusan yang kuperlihatkan kepadanya. Tiba-tiba dia menubrukku hingga aku terjatuh ke atas couch lalu menciumi wajahku, kening, hidung, mata pipi dan bibirku. Kehangatan tubuh dan kelembutan buah dadanya hanya bisa membuatku memejamkan mata supaya nafsuku tetap terkendali. “Ternyata kamu masih mengingatku hingga selama ini, seromantis inikah kamu ?” bisiknya lembut. Akhirnya kami hanya saling diam, Mei Hwa menyandarkan tubuhnya di atas tubuhku dan lamunan kami melayang kembali ke masa delapan belas tahun silam, ketika setelah selesai menjadi misdinar (pelayan altar) pada misa imlek kami mendapat pembagian kue bulan oleh panitia misa imlek, kami saling menukar segigit potongan kue bulan di depan patung Maria sebagai tanda kebersamaan tak terpisahkan.
Kemudian aku bergeser dan beringsut supaya hal-hal tak senonoh tidak terjadi,” Mau ke mana ? “ Tanya Mei Hwa. “Aku mau lihat agendaku besok harus ke mana.” Jawabku sembari bangkit dan mengambil buku agendaku. ”Aah…Tianjin”, gumamku. “Tianjin ?!” seru Mei Hwa, “Kita baru bertemu beberapa jam dan kamu sudah bicara harus ke Tianjin ?!” serunya lagi. “Yah begitulah, besok jam 10 pagi aku harus mengejar penerbangan ke Beijing lalu ke Tianjin.””Sekarang sudah jam 8 malam, kamu mau aku antar pulang ?”, tanyaku. “Tidak”, jawabnya singkat dengan nada merajuk,” Aku ingin menghabiskan malam ini bersamamu hanya denganmu dan bukan dengan urusan bisnismu !!!” lanjutnya lagi dengan nada protes.”Oke, oke…tapi beri aku waktu barang setengah jam untuk doa malam ya ?”pintaku. “Mau ikut doa malam ?” tanyaku,” for the old time sake, please ”, ajakku kepada Mei Hwa, “Okay, just for the old time memory, not more.” jawab Mei Hwa agak keberatan.

Kuambil untaian rosario dan buku doaku lalu kami berdoa bersama, selesai Doa Rosario aku mengucap syukur atas pertemuan kami yang takkan terjadi jika tanpa kehendak Tuhan, dan kudoakan semoga Mei Hwa memperoleh jalan yang terbaik. Terlalu khusyuk aku berdoa hingga baru menyadari bahwa Mei Hwa tengah menangis sesenggukan di tengah doanya ketika aku selesai membuat Tanda Salib. Kubiarkan dia sampai tangisannya selesai hingga dia membuat Tanda Salib. Sekali lagi kami terdiam agak lama setelah doa malam,” Maukah kamu membawa Rosario, Buku Doa dan Kitab Suciku ini, Ahwa ?”, tanyaku memecah sunyi, Mei Hwa hanya mengangguk samar. Lalu kuambil Rosario, Buku Doa dan Kitab Suci dan kuberikan kepada Mei Hwa dan dia memasukkannya ke dalam tas yang dibawanya.

“Kamu sudah mencoba mengadu nasib ke Hongkong ?”, tanyaku memecah kecanggungan. “Di sana banyak perusahaan dan kantor dagang, kemampuanmu berbahasa Inggris serta bahasa Indonesia pasti dibutuhkan di sana.””Belum, tapi idemu akan aku coba”,jawabnya datar.

Hingga larut malam waktu kami habiskan dengan bercanda seperti dua anak kecil yang lugu hingga kami kelelahan, dia kupersilakan tidur di atas spring bed dan aku di couch. Ketika hampir terlelap tiba-tiba kurasakan ada sesuatu yang perlahan menindihku. Kehangatan dan kelembutan Mei Hwa rupanya yang menindihku, ”belum puas kangenku, aku ingin tidur di atas kehangatan laki-laki yang tak pernah melupakanku,” bisiknya lembut, kemudian dia mengecup pipiku, tapi aku bergeser agak sedikit menjauh sehingga dia tidak benar-benar menindihku, kemudian kami berdua pun terlelap.

Tepat pukul 8:00 pagi kami berpisah setelah sarapan pagi dan sebelumnya kami bertukar alamat email, kuminta mobil hotel untuk mengantarkam Mei Hwa sampai ke rumahnya, dan aku mengejar pesawat menuju Beijing.

Sudah lebih dari delapan bulan sejak perjalananku di negeri China, dan kabar tentang Mei Hwa pun seperti tertelan bumi. Tiba-tiba mataku tertuju pada email inbox dan sebuah surat dari Mei Hwa tiba di address emailku,
Dear Hank,
Bagaimana kabarmu Gendut romantisku ?

Kini aku sudah bekerja di Hongkong sebagai Bussines Relation, dan memang seperti katamu di Hongkong sangat butuh orang dengan kemampuan berbahasa asing terutama Bahasa Inggris dan kehidupanku sekarang jauh lebih baik, dan yang paling penting aku sudah baikan lagi dengan Tuhan.

Aku sering membayangkan jika seandainya sejak dahulu kamu adalah suamiku mungkin saat ini kita sering meluangkan waktu malam berdoa malam bersama anak-anak kita, tapi memang mungkin jalanku harus begini. Jika saat ini kamu belum punya tambatan hati aku akan sangat bahagia jika kamu memilihku untuk menjadi puteri dongengmu, walaupun aku sadar mungkin tak pantas bagimu seorang bekas pelacur seperti aku untuk menjadi pujaanmu.

Dari yang mengharapkanmu,

Mei Hwa



TAMAT

PAPA, MAMA BIARKAN AKU BERGINCU

Tidak seperti biasanya Qatar Airlines melakukan delay pada jadwal penerbangannya, saat ini masih pukul 17:00 waktu Singapura dan aku sudah menunggu selama setengah jam di Chang-I, pula aku sudah dua kali menggunakan mesin pijat refleksi gratis yang disediakan oleh pihak bandara. Aku bergegas menuju ke smoking room di koridor ujung selatan bandara untuk sekedar menikmati sebatan virginian cigarette Camel dan yang terutama untuk menatap negeri yang telah kutinggalkan selama 8 tahun, Indonesia. Paling tidak aku masih bisa menatap Batam, Pasai dan sebagian Riau.


Sudah 8 tahun aku menetap di Beirut bersama isteriku Rafqa Dababneh dan anakku perempuan Nesrin. Pada mulanya aku memutuskan tinggal di Beirut untuk mendalami Teologi Katolik Oriental di salah satu seminari Katolik Syria, kebetulan proposalku untuk bekerja di salah satu electrical service company di Beirut disetujui. Rona budaya yang benar-benar beda kualami di salah satu negeri timur tengah ini, kurma dan zaitun merupakan hasil pertanian terbesar. Sekarang aku telah menjadi abuna/pastor di salah satu paroki (wilayah kegerejaan) di Beirut dan mendirikan usaha kecil sampingan sebagai konsultan teknis kelistrikan, memang sedikit umat Katolik Syria karena mayoritas di Lebanon adalah Maronit bahkan isteriku pun seorang Maronit. Kami bertemu bukan melalui suatu kegiatan gerejawi tetapi justeru pada suatu seminar fisika listrik di Beirut. Ya, isteriku adalah seorang dosen fisika terapan di AUST (American University of Science and Technology), sebuah universitas swasta yang didirikan oleh Dr. Hiam Sakr. Sebenarnya pertemuan kami terjadi disebabkan aku mencari warga Lebanon yang mampu berbahasa Inggris untuk mengajariku Bahasa Arab atau Perancis karena di sana peduduknya rata-rata hanya mampu berbahasa Arab sebagai bahasa nasional dan Bahasa Perancis sebagai bahasa asing. Anak kami Nesrin sekarang berumur 5 tahun dan sedang lucu-lucunya, di pernah bertanya kepadaku,Baba, hidungmu kok pendek, dan matamu lebar tidak seperti yang lain ?”. Aku hanya tertawa menanggapinya .


Kubuka dompetku dan mengambil foto kami bertiga, kutatap gambar mati namun berjiwa, ya, jiwa dari seorang ayah yang sejauh setengah dunia mengelana demi memenuhi tugas suci, lalu kuambil dua souvenir boneka kanguru dan koala untuk anakku dan juga untuk menambah pengetahuan anakku tentang luasnya dunia. Boneka-boneka ini aku beli di Brisbane, walaupun aku tahu boneka-boneka ini adalah buatan tanah kelahiranku Indonesia, dan suatu hari aku ingin mengajak isteri dan anakku mengunjungi tanah kelahiranku. Aku ditugaskan untuk berkarya di Australia tepatnya Melbourne selama tiga bulan karena di sana terdapat satu komunitas Katolik Syria walaupun kecil, hanya sekitar 300 orang dan belum terbentuk paroki, mereka rata-rata mengikuti qurbono/misa di gereja Ortodoks Syria.


Begitu asyiknya aku menatap keluar sambil berdiri di depan kaca mengamati Batam dan sekitarnya sampai-sampai aku tak sadar jika seorang perempuan berwajah melayu dan cukup manis yang juga berdiri - kira-kira lima langkah dari tempatku berdiri - sejak tadi mengamatiku. Tiba-tiba dia mendekat dan bertanya dengan mimik wajah penasaran,”Pak pendeta dari Indonesia ya ?”,”benar, tapi saya bukan pendeta, saya seorang abuna atau pastor”, jawabku sambil menjelaskan, “Oooh, I see, serunya; kemudian dia melanjutkan,”apakah abuna dari Jawa ?” tanyanya lebih jauh ,”Benar”, jawabku sambil lalu, “Pemalang ?”, lanjutnya. Pertanyaan terakhir membuatku tersentak dan terhenyak lalu kuamati perempuan itu lebih jauh. Dia seorang perempuan yang berwajah cukup cantik dan dapat membuat setiap laki-laki melirik jika melihatnya, tubuhnya ramping dengan postur yang mendekati sempurna, namun aku tetap tak mengenalnya walaupun wajahnya samar-samar seperti pernah kukenal. “Anda siapa ya, kok tahu saya dari Pemalang ?”, tanyaku tetapi dia tidak menjawab bahkan melanjutkan tanya,”Kamu Hank, bukan ?”, aku bergerak sedikit ke belakang, ”Anda siapa, kok tahu nama panggilan saya di Indonesia ?”, tanyaku sambil memincingkan mata . Tiba-tiba dia bergerak lebih dekat dan mendekati telingaku lalu berbisik, ”Aku Haryo, temanmu SMP”, ”Haaa !!!”, seruku dalam kaget hingga seluruh pengunjung smoking room menengok ke arahku. Agak pelan aku memastikan, “Benarkah kamu Haryo temanku di 1D ?”,Yes, I was Haryo, but now I am Rachel jawabnya dengan Bahasa Inggris berlogat Amerika yang sangat kental dan nada kurang senang karena seruanku mengagetkan semua orang. I apologize for what I behave, that made you unpleasant, jawabku meminta maaf. “Benar kan, kamu Hank ?”, tanya ‘Rachel’ memastikan, ”benar, benar, kamu tidak salah, aku Hank,” jawabku.


Kesunyian pun mencekam pembicaraan kami, kuamati dengan lebih seksama sembari mengingat-ingat ciri khas dari Haryo yang dulu pernah kukenal dan ahh tiba-tiba aku ingat ciri khas Haryo dahulu yang pernah sekali tertimpa bogem mentahku gara-gara mencuri cium pipiku, atau ‘Rachel’ sekarang,”Bulu matamu masih asli kan Har….ehh, maksudku Rachel ?” tanyaku sambil tersenyum mengingat masa dulu, ”Tentu, ini adalah kebanggaanku sejak dulu !!”, serunya menyahutku dengan nada emosi. ”Kamu sekarang tinggal di mana, Rachel ?”,tanyaku untuk meredam emosi sensitifnya yang sudah mulai naik, ”Kok, kamu memanggilku Rachel, apa nggak canggung ?”, dia balik bertanya dengan nada curiga. ”Jika kepribadianmu adalah Rachel dan bukan Haryo, bukankah aku lebih baik memanggilmu begitu ?”. Tiba-tiba dia menubruk dan memelukku lalu sesenggukan di bahuku, ”Thanks ya Hank atas pengertianmu, cuma kamu yang memanggilku Rachel dari teman-teman kita dulu.” Tiba-tiba dia segera melepas pelukannya, mungkin teringat masa SMP kami, ketika dia tertimpa pukulan tanganku.


“Maaf, aku terbawa emosi hingga memelukmu”, ujarnya sambil mengusap sejalur airmata yang meluncur. Its ok, no problem.", sahutku. “Kamu sekarang tinggal di mana, Rachel, kok dialek Amerikamu begitu kental ?”, tanyaku penasaran. “Aku sekarang tinggal di Detroit, US, bersama suami dan anak-anakku.”, jelasnya sambil memincing mata curiga. So, you have a complete family now, jawabku.”Suamimu asli Amerika ?””lalu anak-anakmu bawaan suamimu kah ?”,”Bagaimana dengan keluargamu di Indonesia ?”, tanyaku beruntun karena didera rasa ingin tahu yang dalam. Suatu pengalaman yang benar-benar baru untukku beradu wicara dengan seorang pelaku transgender.


Dulu, Haryo atau Rachel sekarang memang sudah menampakkan gejala-gejala feminin, tapi tak ku menduga berlanjut hingga seperti sekarang. Kemudian dia mulai bertutur cerita sambil memandang entah menatap berantah ,” Aku di Pemalang cuma sampai tamat SMA, kemudian selama lima tahun aku bekerja di bidang administrasi, dua tahun aku menetap di Jakarta dan selebihnya di Surabaya,” Rachel berhenti sejenak memejam mata sambil menarik nafas panjang seumpama berat tertanggung, kemudian lanjutnya, ”Berat, sungguh berat menjadi orang seperti aku, kerja di manapun selalu menjadi bahan bulan-bulanan, ejekan bahkan hinaan.”, sekali lagi dia menarik nafas panjang sembari mengusap titik air mata yang mengembang di kedua sudut matanya. “Di Surabaya aku mau bekerja apapun asal jangan di salon, karena aku memang tidak bakat di situ. Selama di Surabaya akhirnya aku bekerja sebagai staff data entry sekaligus kuliah di bidang jurnalistik.” Dia berhenti sejenak memandang ke arah Pasai seolah di sana ada Surabaya. ”Aku bekerja dengan dua beban, beban kerja dan beban hinaan, padahal waktu itu aku selalu berpakaian pria, bahkan memelihara kumis. Aku bahkan pernah berusaha untuk berlatih menjadi pria sejati, kucoba untuk ke Gang Dolly mencari pelacur untuk sekedar berlatih tapi jiwaku berontak. Sedemikian lama pula aku jadi ateis dan melepas agama KTP ku Islam, dan memang sebenarnya aku tak pernah menjadi muslim bahkan agama apapun, karena tak ada yang mampu menjawab masalahku kecuali memojokkan jiwaku, baik halus maupun kasar.”,kemudian dia terdiam cukup lama, bak ibu-ibu tua renungi nasibnya. Tiba-tiba dua anak laki-laki dan perempuan umur lima tahunan – mungkin lebih - berpostur Caucasian mendatangi Rachel dan menyeru memecah kesunyian kami berdua, Mommy, mommy how come you took so long, Daddy is waiting for You.. Okay, Bryan, Dorothy…call Daddy to come here. Come, come ! perintah Rachel pada kedua anaknya. ”Mereka berdua anakku,… anak kami…, kami mengadopsi mereka ketika masing-masing berumur satu tahun dan tiga bulan”, paparnya sambil tatapannya mengikuti larian kedua anak-anak yang lucu-lucu itu.


Tiba-tiba dia memecah kesunyian dan bertanya, ”Kamu sendiri sekarang tinggal di mana, Hank, masih di Indonesia ?”, ”Tidak, aku sekarang tinggal di Lebanon, tepatnya Beirut”, jawabku. ”Waaaw…negara yang penuh hujan bom dan peluru !”, serunya. “Ah, tidak juga, hanya Lebanon Selatan yang penuh bom dan peluru, di Beirut aman-aman saja kok.”jelasku, ”Aku bahkan berkeluarga di sana,” lanjutku menjelaskan. “Haaa, kamu kan pastor, kok, berkeluarga ?”, serunya terheran-heran. Aku sudah menduga bakal disikapi seperti ini karena sebuah istilah ‘pastor’, namun aku tak mungkin bercerita mendalam maka aku hanya menjelaskan bahwa pada Tradisi Gereja Katolik Timur umat awam yang telah menikah boleh mengikuti pendidikan seminari untuk menjadi pastor. Kutunjukkan padanya foto bersama kami sekeluarga. “Hmmm, isterimu Arab ya ?”, tanyanya ingin tahu, “Ya, tepatnya warga Negara Lebanon keturunan Yordania, namanya Rafqa Dababneh dan ini puteri kami Nesrin, dia baru berumur 5 tahun,” jawabku. “Kalian sungguh keluarga sempurna,”ujarnya sambil lagi-lagi mengusap air mata, “Ayah pria sejati, ibu perempuan sejati tentu anaknya pun hasil buah cinta berdua,” lanjutnya sambil menelan kata-kata dalam corak duka.


Merasa riasan wajahnya lantak digulung lontaran kenangan duka, Rachel pun mengambil seperangkat perias wajah dari dalam tas tangannya. Begitu lincahnya dia memainkan mascara untuk melentikkan bulu matanya yang memang lentik, menggambar kelopak matanya dengan eye brush, mengulas bibir dengan lipstick, sungguh suatu yang out of my mind. Aku hanya bisa bertanya dalam hati, ’God, is this Haryo, How come ?’. ‘Mengapa Tuhan menciptakan manusia tanggung seperti Haryo ?’’atau duniakah yang telah membelokkan sistem yang telah dicipta oleh Tuhan ?’, aku sedikit menggugat karena pertemuanku dengan Haryo ‘Rachel’ ini. Kutatap, kuamati, kuperhatikan Rachel yang sibuk menata riasan wajahnya. “Cantik ya, aku ?”, tiba-tiba Rachel memecah gugatan-gugatanku kepada Tuhan, “Cantik”, jawabku samar sembari menutupi gelagapanku atas pertanyaannya.


Selesai menata riasan dan memasukkannya kembali ke tas tangannya yang berwarna soft-blue Rachel menarik nafas panjang dan bertanya, “sampai di mana tadi cerita kita ?”, “Maaf, ya Rachel mungkin ini pertanyaan yang tidak pantas, apakah kamu operasi…err ?” tanyaku pelan takut menyinggung emosinya. “Yak, aku operasi kelamin, aku menambah ukuran payudaraku menjadi 34B dengan silicon, aku membuang semua hal yang merupakan atribut laki-laki termasuk testis penghasil testosterone, dan menggantinya dengan suntik hormone estrogen” , jelasnya dengan ringan, ”Aku ingin menjadi perempuan sepenuhnya.”tambahnya. ”Ooooh…”, seruku samar, ”Aneh ya mungkin buatmu ?” tanyanya dengan agak sinis, ”Apalagi kamu seorang reverend, abuna Katolik pula tentu mempertahankan filsafat-filsafat usang mengenai moralitas.” Aku hanya bisa tersenyum, sebab jika kujawab pasti akan menaikkan amarahnya, namun sebagai seorang abuna aku harus membela ajaran yang kuimani benar, “Moralitas sampai kapanpun tidak ada yang usang, kita tinggal mengolahnya dengan hati ”, jawabku pelan. “Tapi, jika membuat sekelompok manusia menderita baik secara psikis maupun fisis, apakah masih pantas disebut moralitas ?” sergahnya. “Pada iman Katolik seseorang atau sekelompok yang dinilai menyalahi moralitas bukanlah objek hukuman, justeru sebaliknya menjadi objek kasih”, aku mencoba menjawab selembut mungkin untuk meredam emosinya. But, Act speaks differently with your golden shit morality, kenyataanya mana ?”, bantahnya dengan tanjakan amarah yang begitu kentara. “Memang harus kuakui di antara umat kami banyak yang bersikap tidak sesuai dengan ajakan Gereja Katolik mengenai hal ini dan itu menjadi tugas kami para abuna untuk memberikan penyadaran.”jawabku, lalu kami berdua pun saling terdiam hanyut dalam ombak sangka masing-masing.


Tiba-tiba terdengar sebuah panggilan dengan arah mendekat, Rachel honey, it’s been almost one and a half hours you are here, our kids are missing you. Seungkap suara berat memanggil Rachel, kulihat seorang dengan postur Caucasian tinggi besar, rambut berwarna terracotta kemerah-merahan namun tipis dan mendekati kebotakan, berperut agak membuncit seperti perutku, wajah biasa saja untuk ukuran ketampanan Caucasus. Namun yang membuatku kaget adalah model pakaiannya, dia menggunakan pakaian model reverend kemeja dan celana panjang dengan warna hitam dan menggunakan sisipan collar neckless berwarna putih di antara kerah kemejanya seperti yang kugunakan jika bepergian, di samping kanannya berdiri kedua anak mereka Byan dan Dorothy. “Kaget ya ?”, tanya Rachel kepadaku, dan aku pun menjadi gelagapan, ‘lelucon apa pula ini ?’ tanyaku dalam hati. “Suamiku adalah pendeta, kami berdua sebenarnya baru dari Bangkok untuk mengikuti seminar kesetaraan transgender, kebetulan aku dan suamiku menjadi keynote speakersjelasnya kepadaku. Rachel kemudian menerangkan kepada suaminya siapa aku dan dia menyalamiku dengan hangat, sembari memperkenalkan nama Assalamualaika fi baraka Yasu’l Masih, yaa sayid abuna (Damai bagimu dalam berkat Yesus Kristus, ya tuan pastor)”, ucapnya dengan Bahasa Arab yang kaku lalu kujawab, wa’alaika salamunaziz min Yasu’l Masih, yaa sayid reverend(dan bagimu damai kasih dari Yesus Kristus, ya tuan pendeta)”. ”Kami berdua mendirikan Universal Heart Ministry, dan di gereja kami kaum gay dan lesbian tidak diperlakukan sebagai makhluk najis, tidak sebagai cacat moral melainkan setara di hadapan Tuhan.”, tandas Rachel. “Seandainya, menjadi transgender adalah cacat tak lebih seperti cacat buta, lumpuh, atau mentally retarded, dan banyak dari para transgender yang menemukan kasih Tuhan, kasih universal, kasih yang memahami di gereja kami, bukan kasih yang memihak karena ketidaktahuan”, gugatnya. Sean – suami Rachel – menyentuh bahu Rachel sembari mengingatkan tanjakan amarah Rachel, Please, don’t honey. Aku hanya tersenyum melihat gelagat panas Rachel yang dibakar amuk masa lalu. Sorry, honey I am drifted to my past, it is still hurt inside,, jawab Rachel sambil merajuk.


Tiba-tiba terdengar pengumuman penerbangan menuju New York akan berangkat setengah jam lagi, Sean meminta Rachel beserta anak-anaknya bersiap untuk menuju gerbang pemberangkatan. “Kami akan ke New York lebih dahulu,” papar Rachel kepadaku, “Pembicaraan kita belum selesai, Hank, aku masih banyak menyimpan pertanyaan tentang doktrin agamamu pada golongan seperti kami, kamu punya email address, kan ?” tantang Rachel sekaligus bertanya email address-ku, aku hanya mengangguk pelan dan kami pun bertukar email address, kemudian mereka sekeluarga berlalu dan keluar dari smoking room Bandara Chang-I, Singapura. Aku termenung sendiri mengingat-ingat pembicaraan kami tadi selama kira-kira satu setengah jam, ada satu point yang menyentuh hati Haryo sebenarnya yaitu ketika kutunjukkan foto keluargaku, terasa sekali dia ingin pada posisiku sebagai ayah. Yah, bagaimanapun juga dia terlahir sebagai laki-laki.


Aku mengambil buku catatan kecilku yang biasa kubawa untuk mencatat hal-hal menarik yang kutemui untuk kujadikan bahan khotbah pada qurbono, tak lupa pula aku menyusun sebuah draf surat kecil untuk organisasi social rehabilitasi transgenderisme yang dibentuk oleh beberapa tokoh dari beberapa agama di Beirut. Draf surat itu kutujukan untuk Abuna Jorgis Hayek dari Maronite, Abuna Dawoud Haddad dari Melkite, Syekh Mahmoud Al Hanmbali dari Islam serta tembusan untuk Sayed Turgun dari Mandai (agama kebatinan di sekitar Irak hingga Palestina).

Assalamualaikum yaa akhi,
Pada perjalananku pulang ke negeri kita Lebanon, dari benua di ujung tenggara bumi Australia, aku menemukan satu hal menarik mengenai transgenderisme aku bertemu teman masa laluku ketika aku muda di Indonesia. Dia sungguh sangat tersakiti oleh perlakuan ‘dunianya’ di masa lalu karena perlakuan yang tidak bersahabat dari kolega-koleganya (mungkin termasuk diriku) hingga akhirnya dia memilih untuk berganti kelamin dengan operasi tentunya.
Namun ada satu hal walaupun itu hanya tampak setitik dia sungguh sebenarnya masih punya watak kebapakan, hal itu tampak ketika kutunjukkan foto keluargaku. Oleh karena itu yaa akhi yang bijaksana mungkin sudah saatnya kita mengubah pendekatan kita pada kaum transgender. Selama ini kita lebih cenderung meremas-remas kepala mereka dengan hukum dan doktrin-doktrin kita, tetapi kali ini aku menemukan bahwa untuk mengembalikan mereka ke fitrah yang telah digariskan Allah adalah sangat baik kita sentuh hati mereka, kita sentuh jiwa terdalam mereka, insya Allah mereka akan memahami dan mengerti fitrah mereka seharusnya.
Wassalam,
Fi nafsihulaziz,
Estefanous Kefa W.

Tepat pukul 20:00 waktu Singapura pesawat menuju Istanbul, Turki yang kutumpangi lepas landas dari Bandara Chang-I, menyisakan rasa rindu kepada tanah kelahiranku di seberang Singapura, Indonesia.


Sudah tiga bulan sejak pertemuanku dengan Haryo, aku disibukkan oleh rencana pembentukan paroki di Melbourne – Australia, isteriku tercinta yang cekatan mengurus kemungkinan kami bisa berdiam di negeri kanguru itu dengan layak, mulai mencari universitas sebagai tempat kami mengajar (di Lebanon aku mengajar Pengantar Teologi Kristen Semitik dan Analisis Daya Listrik – suatu susunan mata kuliah yang tak terkait sama sekali) di Australia hingga mencari informasi mengenai tempat tinggal layak di Melbourne. Ketika aku membuka internet untuk melihat korespondensi dengan calon umat paroki di Melbourne, terselip sebuah email dari Haryo:


Shalom Alecha,
Dear Hank,
Mungkin kamu masih bertanya-tanya mengapa aku mengambil sikap untuk operasi kelamin. Seperti kamu ketahui aku adalah anak ke tujuh dari tujuh bersaudara, dan semua kakakku adalah laki-laki. Dahulu semasa ibuku mengandungku, kedua orangtuaku sangat berharap bahwa anak yang ketujuh akan terlahir perempuan, bahkan ayahku mengancam jika anak ketujuh ini masih terlahir laki-laki maka dia akan menceraikan ibuku.
Kemudian mereka berdua menipu diri seolah-olah anak yang dikandungnya adalah perempuan, boneka, pakaian dan semua alat mainan perempuan dibeli sebelum aku lahir bahkan selama aku di dalam kandungan kedua orang tuaku selalu menyapaku dengan sebutan ‘ndhuk’ (sebutan untuk anak perempuan).
Ketika hampir tiba masa persalinan ibuku melahirkan aku, kedua orang tuaku masih belum percaya analisis dokter bahwa anak di kandungan ibuku adalah laki-laki, mereka sangat yakin dengan semakin memperlakukan kandungannya sebagai anak perempuan, jenis kelaminku akan berubah.
Apa mau dikata aku tetap terlahir sebagai laki-laki. Akhirnya ayahku menceraikan ibuku, dan aku menjadi anak dengan tubuh laki-laki berkepribadian perempuan.
Singkat cerita aku akhirnya memutuskan untuk operasi berganti kelamin, demi memenuhi kepenuhan kepribadianku, dan aku hanya bisa memohon kepada ayah-ibuku: Papa, Mama biarkan anakmu ini bergincu.

Dari korban masa lalu,
Rachel G Howard/Haryo Santoso


Tamat.

Pentjerita-pentjerita Goemoel Djiwa

Mengenai Saya

Foto saya
Blog ini merupakan saranaku untuk menuangkan cerita-cerita pendek yang scene-nya melintas di benak saya. Kisah-kisah di sini kudus/suci dari jiplakan/plagiatan/contekan sehingga jika ada kisah yang sama persis dengan yang saya tuliskan bisa dipastikan membajak/menjiplak/memplagiat dari cerpen saya.