Selasa, 22 Juni 2010

SANG GURU TARI (Sebuah Pertemuan dengan Aku Sejati)

Sudah lebih dari duapuluh tahun aku mengelana di padang pasir ini, sehampar padang pasir tanpa tepi. Aku terdampar di sini tepat setelah peringatan hari lahirku yang ke delapanbelas, terpisah dari kedua orang tuaku yang membawa kabilah emas dan kemenyan. Aku terpisah setelah badai pasir yang besar, dan sisa bekalku saat itu hanya tinggal sekantung air dan tiga potong roti khamir. Kususuri ribuan depa setiap lepas fajar hingga hari dipeluk petang selama duapuluh tahun ini, tetapi belum juga kutemui tepi-tepinya. Setiap aku lepas rehat malam esoknya pasti berubah.

Beberapa kali kubertemu musafir lewat dan kutanyai dengan ratapan,”Wahai musafir bijak tunjukkan pada hamba tepi-tepi hampar pembuta mata ini.” Beberapa musafir menjawabku dengan senyum lalu pergi, yang lain menjawabku berurai bunga-bunga kata bersayap hingga membuat mataku berkunang-kunang dan telingaku berdenging-denging, ada pula musafir yang kutanya apa nama padang pasir ini, dan dijawab ‘padang pasir tanpa nama,’ akhirnya aku hanya terduduk lemas memandangi tepi yang bukan tepi.

Setiap terik kucari peneduh yang bukan peneduh, dahaga kuseka air yang bukan air. Duapuluh tahun ini makananku kotoran nazar yang jatuh atau kotoran unta yang tergeletak, minum dari keringatku sendiri dari air kencingku sendiri bila beruntungpun bisa menadah kencing unta, aku telah tak tahu apakah aku ini, aku sudah lelah bertanya siapa aku, menggelandang aku di ceruk-ceruk gersang berharap ada susuan bumi di sana. Ketika kumohon pada Sang Pemilik untuk mematikan aku di kering malam, desau angin menjawabku,”Bodoh ! Kamu sudah mati untuk apa minta mati ?”

Hari ini kususuri lagi bukit-bukit berpasir panas, kujalani dengan telapak kelupas tanpa harap kapan kan lepas, hanya bertepi bayang setitik kuhela seretan langkahku. “Wahai Sang Pemilik Jiwa, jika memang ini alam kematianku, apa salahku ?” kubergumam dalam lunglaiku.

Tak seperti biasanya hari ini, panas membuat kulitku meranggas, lepas sekelupas demi sekelupas, kutersenyum menikmati derita sakit ini, kupikir inilah saatnya Sang Pemilik mengambilku. Hausku yang semakin menusuk kerongkongan semakin meyakinkan aku inilah saatnya Sang Pemilik mencabut sekerat jiwaku, ya, aku bergembira karena makin tingginya takik deritaku . Aku jatuh, nafasku jadi mengetat satu-satu. Semakin ketat nafasku, semakin tenang aku, ya, ini saatnya selesai perjalananku di padang pasir tanpa nama.

Entah berapa lama aku tergeletak, aku siuman lagi, kupincingkan mata berharap teduh surga, tapi tetap silau seperti yang lalu, kuraba tanah harap rumput surga kugenggam, tapi tetap pasir seperti dulu. Aah, ada urai gubah di sini padahal belum pula lepas malam, kulihat luas enam-tujuh depa tanah menghijau di kejauhan seratus depa, berpayung pohon zaitun dan kurma menjulang, “itukah surga ?” gumamku. Kupacu rangkakku dengan setengah jengkal sisa keratan jiwa, harap tipis itulah surga bukan bayang iblis penipu hati.

Kusampai di sana, kuraba tanah rumput, “dingin,” gumamku, kumaju sekuku, “embun,” gumamku lagi. Kujilati rerumputan itu, embun dingin kucecap, suatu rasa dingin dari lebih 20 tahun yang lalu, rasa yang sudah terlupa. Segar yang sudah kulupa menyeruak gelung-gelung kerongkonganku. Kuatku bertambah sepotong demi sepotong, jiwaku menebal selembar demi selembar, aah, ini surga,”ucapku dalam hati. Berdiri aku terhuyung, langkah tertatih kuingsut maju. Oooh, oase,” desahku gembira, kuminum berteguk-teguk air oase dihadapanku kupuaskan dahagaku yang tertunda selama 20 tahun. Kenyang air aku, kuhenti sejenak, lalu kutatap pohon kurma di sampingku, seonggok kurma matang berada tepat di sebelah kananku, buah yang tak kutemui selama duapuluh tahun ini. Kukenyangkan laparku yang terlupa serasa beratus abad.

“Puaskah kamu ?” tiba-tiba serenteng kata-kata menghembus seperti angin mendesir telingaku.
”Anginkah kamu ?” tanyaku sembari menengok kiri kanan dan mencari asal-usul kalimat itu.
“Bukan, lihatlah kemari,” kata suara angin itu.
Kutengok sebelah kananku, entah kapan dia datang tiba-tiba sudah berada di bawah pohon kurma. Kuamati sosok itu, sosok yang membuatku terhuyung mundur. Perawakannya sama dengan aku bahkan wajahnya pun plagiat wajahku, tetapi berbeda rona denganku, dia mempunyai rona bahagia sedangkan aku rona pohon wijen kering. Pakaiannya sederhana namun berkilau, ditangannya memegang rebana kecil dan dipinggangnya terselip sebatang seruling dari ranting zaitun.
“Siapakah Anda wahai pemilik oase, hamba mohon maaf telah mengusik tempat Paduka.” Ungkapku sambil bersujud di hadapannya.
“Aku ?” selorohnya, “Aku adalah Aku yang kau lupakan, dan tempat ini adalah tempatmu yang kau singkirkan,” jawabnya pula.
“Maksud Paduka ?” tanyaku tak mengerti ungkapannya yang begitu membingungkan.
Dia lalu memainkan rebana dan bersyair:

“ Sealun nafis berbelas tahun lalu
Kita bersama menggaris hidup
Meniti duka mengais bahagia

(Interlude rebana: tak, tak, tratak tak bam)
Sekuak bilur menebas galau
Menyabit suluh jiwa yang redup
Melepas bimbing rasa terima”


Syairnya begitu gaib, begitu mistis mendebam jantungku, seulas kata demi seulas kata menarikku ke hidup lalu. Dikaitnya aku dengan kekang gaib tak kelihatan, jiwaku terserak di antara jembatan-jembatan waktu, dibantingnya aku ke dalam ceruk-ceruk kekecewaan masa dulu, dilemparnya aku ke atas tumpukan kesedihan lampau. Sakit aku di sana, merana aku diombang-ambingkannya. Tertindih aku di bawah gilas-gilas kegalauan, lalu terpelanting aku kembali ke saat kini.

Limbung, pusing, berdenging-denging telingaku. Sejenak kuhela nafas pendek-memendek, dengus-berdengus hidungku perih. Sekuku demi sekuku sadarku kembali.

“Apa yang kau lihat wahai aku ?” ucapnya lembut menghujam
“Semburat apa yang kau wawas wahai aku ?”
“Kecewa, sedih, galau, merana, lebur.” Jawabku pelan mengerang.
“Itulah badai pasirmu wahai aku,” ucapnya dalam kalimat mencengkeram jiwa.
”Di situ kau tinggalkan Sejatimu wahai aku,”
”Kau lupakan tarian jiwamu yang Kuajarkan wahai aku,”
”Ulasan Paduka memusingkan hamba,” jawabku gulana.

Dia terdiam lalu mengamatiku dengan tatapan mengiris potongan-potongan nadi gaibku. Lalu dia menarik seruling zaitun dari pinggangnya, ditiupnya dengan nada lembut mengalun mistis.

“Wahai sang musafir dalih
Tuntaskah hatimu beralih ?
Kau gusur nyata alihkan angan
Suaikah jiwamu di tepi rangan ?

Lalukan aku simpar ke ceruk jurang
Lontar hasratmu ke buai goda
Terukkan niatmu beradu kata
Keluhmu terali ruji bersarang

Jelai gandum seikat kau buang
Ganti remah lumpur jamban
Pasir-pasir pun kau jerang
Tahi pun kau timang kau emban.”


“Ah, Paduka sakti rupanya, berulah syair di dalam hembusan seruling, maaf, hamba mohon maaf.” Ungkapku dalam ketakziman.

“Wahai sang musafir dungu
Tulikah lorong telingamu ?
Syairku ini isian benakmu
Ulahmu itu lemak galaumu

Wahai sang musafir dungu
Kau lesatkan panah jiwamu
Pisahkan dia dari bimbingKu
Kau kais angan kau buang Aku.”


Melengking kini nada serulingnya bak seorang ibu menjuntaikan amarahnya menghantam degup jantungku. Menarik lagi tulang-tulang atmaku, ditenggelamkannya aku dalam peringatan-peringatan masa berantahku. Remuk isi benakku terburai terkapar-kapar, lalu hilang wawasku.

Sepanjang apa aku tak tahu pingsanku, hari ini bak tak ada malam. Seusap dingin melerai pingsanku, kucuran air mengulas dahi dan bibirku.

“Apa yang kau rasakan wahai aku ?” Tanya Tuan Paduka selepas kembali sadarku.

“Hamba merasakan penolakan.”
“Hamba merasakan ketidaksabaran.”
“Hamba merasakan kesombongan.”
“Hamba merasakan keserakahan.”
“Hamba merasakan kemurkaan.”
“Hamba merasakan ketumpulan hati.”
Jawabku berurai air mata.

“Itulah dirimu wahai aku.” Ucapnya berwibawa
“Kau sabungkan Aku dengan ilmu-ilmumu.”
“Rancak kau berucap bak dunia di genggammu.”
“Kau hantamkan benakmu pada dunia semu.”
“Kau lupa menarikan jiwa pengindah cinta”
“Kau fikir gerak sepuluh jarimu cabaran dariKu.”
“Kau fikir benakmu kan fahamkan semua.”
“Itulah kembaramu di tilam pasir tanpa nama,”


“Ohhh, Paduka Mulia sekarang hamba mengerti, hamba mohon beribu maaf Paduka, karena hamba meninggalkan Paduka.” Aku bersujud dan kubenturkan dahiku ke tanah, sesal dalam melibat aku.

“Mari, menarilah kembali bersamaKu.” Ajaknya sembari mengulurkan tangan.
“Kuajari kau dari semula gerak, semula-mula gerak yang kau singkirkan.”
“Berdirilah siapkan lekuk kakimu, angkat kedua tanganmu, sentuh degup jantungmu.”
“Angkat tangan kirimu, rasakan angin membelaimu.” PerintahNya sambil memberiku singkapan-singkapan gerak.

Kucoba mengikuti setiap langkah geraknya, aahh, aneh sepertinya aku dulu pernah melakukannya di zaman entah. Semakin lama semakin mudah aku mengikuti gerakan tariannya, hatiku penuh terisi perasaan senang yang entah darimana.

Mistis, ketika Dia menari di atas tepian pasir oase tiba-tiba tumbuh rumput dari bekas jalinan-jalinan gerak telapak kakinya. Semakin cepat dia menari semakin berimbuh rumput-rumput yang tumbuh, bahkan bunga-bungapun bermekaran ikut menari.

Terdiam aku melihat tariannya, beringsut mundur aku, terduduk heran. Setiap gerak tangannya mendulang angin menyiangi panas dari sejuk, tunas-tunas zaitun dan kurma pun seruak menghijau pupus. Lama aku menikmati tarian mistisnya yang menjaring hingga tepian-tepian gaib.

“Ayolah, mari menari bersamaKu, jangan teronggok disitu !” serunya memerintah.
“Paduka Tuan, saya takjub dengan tarian Paduka yang gaib, menumbuhkan setiap tunas kehidupan dan membangkitkan yang layu.” Seruku takjub tak henti.
“Akankah kau hanya memandangi, wahai aku ?” memerintah pula dia dalam tanya.
“Mari, Kuajari kau menari di atas pasir.”

Kuikuti arahNya ke pasir tepian oase, lalu aku menari lagi bersamaNya di atas pasir. Kutarikan tarianku mengikuti perasaanku, aduh, bukan rumput yang tumbuh di bawah kakiku tetapi onak duri setajam paku berulah di situ. Terpincang-pincang aku, lalu kuhela tarianku.

“Paduka Tuan, hamba tak segaib Paduka.”
“Onak duri yang berulah di bawah telapak kaki hamba.”
“Jangan kau puja amarah, jangan kau puja pedih, jangan kau puja kesenangan, larutkan semua dalam ketulusan.” Ujarnya sambil menari dan tetap tak henti.

Kuulangi lagi tarianku, kuulas setiap rasaku di titian gerak, aahh, inikah maksud Paduka Tuan, dari setiap rasa yang muncul akan meninggikan onak duri, kucoba menari dalam rasa, kucari tulus dalam tiap titian ruang hatiku, kupancarkan untuk melarutkan amarah, pedih dan kesenangan dari gerak tariku. Kumenari lagi, menari lagi dan rasa tulus pun semakin meluas dalam tarianku, kumenari lagi, menari lagi dan onak duri pun berubah rupa menjadi rumput lembut menghijau.

Tulus itu berubah menjadi bahagia dalam tarianku, gerak tanganku menyiangi angin melerai sejuk dari panas, entah aku tak lelah, hanya menari dan menari, seluruh jiwaku menari.

“Kini saatnya kau kembali padaKu wahai aku.” Kata Paduka Tuan, dan tiba-tiba dirinya menjadi cahaya menyilaukan lalu merasuk tubuhku.

Tarianku semakin meluas, kutarikan diriku di atas hamparan pasir tanpa tepi ini dan rumputpun tumbuh di sana, tarianku kutandangkan pula semakin jauh dan bunga-bungapun bermekaran di sana.

Kini angin pun mendendangkan syair bagi tarianku, dan hamparan padang pasirpun semakin menipis. Tak kucari sudah tepi-tepi padang pasir ini karena tepi-tepinya ada dalam jiwaku, karena tepi-tepinya ada dalam hatiku, karena tepi-tepinya ada dalam tarianku.

“Berulah tari wahai jiwa mulia
Singkapkan kira alih kan rasa
Sepulung janji lainkan nyata
Rombakkan rusuh mengilang duka

Tempayan angan pecah berpuing
Guratan kira pucuk berpaling
Ber-angan salah ber-angan benar
Sandungan hati sebabkan nanar.

Pusar hati hanyalah bertulus
Rancak kata rusuhkan benak
Olak murka lantakkan halus
Emban duka rusakkan benak. “


Menarilah aku sepanjang umurku.

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pentjerita-pentjerita Goemoel Djiwa

Mengenai Saya

Foto saya
Blog ini merupakan saranaku untuk menuangkan cerita-cerita pendek yang scene-nya melintas di benak saya. Kisah-kisah di sini kudus/suci dari jiplakan/plagiatan/contekan sehingga jika ada kisah yang sama persis dengan yang saya tuliskan bisa dipastikan membajak/menjiplak/memplagiat dari cerpen saya.