Sabtu, 15 Januari 2011

Pesta

Aku mempunyai seorang tetangga yang sangat dermawan, dia selalu mengadakan pesta setiap hari semenjak aku kanak-kanak dan aku tak pernah melewatkan satu hari pun untuk tidak berpesta di sana.

Hari ini sepulangku dari tempatku bekerja aku bersiap untuk menghadiri pesta malam ini. Menurut undangan yang kuterima, malam ini hidang spesialnya adalah pai apel saus madu. Ahh, sudah lama aku ingin menikmati pai yang spesial ini semenjak sepuluh tahun lalu. Aku sering terlewat untuk pesta pai spesial ini, hanya sekali aku ikut menikmati pai apel saus madu itu dua tahun lalu itupun aku memperoleh pai basi.

Aku mengobrol dengan beberapa penjaga pintu sekedar basa-basi. Tiba-tiba dari dalam rumah terdengar sebuah pengumuman yang menyatakan pesta sudah dimulai. Para pengikut pesta semua dipersilakan untuk menikmati hidangan yang tersedia sesuai selera masing-masing, namun malam itu aku hanya ingin menikmati pai apel saus madu, bukan yang lain. Aku mencoba mencari meja hidang pai apel saus madu, namun sekali lagi aku kecewa karena semua apel pai telah tandas bahkan remah-remahnya pun tak ada yang tersisa.

Kulihat banyak orang mengambil lebih dari satu apel pai lalu hanya memakannya separuh, bahkan banyak pula yang hanya mengunyah-kunyah lalu meludahkannya ke tempat sampah atau ke lantai. Perasaanku saat itu kecewa tak terkatakan, sebuah penantian untuk menikmati pai apel saus madu kandas, namun aku belum putus asa. Aku datangi si tuan rumah demi memohon sepotong apel pai untuk sedikit memenuhi rasa inginku menikmatinya.

" Tuan, apel pai saus madu yang terhidang di sana telah tandas, apakah Tuan masih memilikinya barang sepotong ? "

" Semua yang terhidang telah kucukupkan, janganlah kau memintanya lagi ! "

" Tapi Tuan, banyak orang mengambil dengan seenaknya hanya untuk bahan permainan ! "

" Mohon, Tuan mengerti dan memahaminya. "

" Itu salahmu sendiri, Nak. Semua yang terhidang telah kucukupkan, janganlah kau memintanya lagi ! "

" Maaf Tuan, terus terang saya tidak pandai berebut, tapi saya bisa bersumpah kepada Tuan apel pai itu akan saya nikmati sepenuh hati. "

" Hahahahahahahahaha, aku tak akan memberikan sepotong pun lagi kepadamu, karena yang terhidang telah kucukupkan, janganlah kau memintanya lagi ! " Jawabnya sambil terbahak-bahak dan berlalu.

Kecewaku tak terkatakan, aku memilih tak menyelesaikan pesta malam ini. Aku keluar dari rumahnya yang sangat mewah dan besar dengan langkah gontai, sembari memikirkan sikap para pengikut pesta yang tak menghargai hidangan yang disediakan, dan sikap tuan rumah yang acuh tak acuh.

Tiba-tiba dari balik sesemakan pagar aku mendengar seulas sapaan lembut;

" Tidak mendapat jatah, Nak ? " Kulihat seorang lelaki renta dengan pakaian kusut dan dekil, bahkan lalat-lalat siang pun sibuk mengerumuninya.

" Tuan, siapa ? " Tanyaku agak kaget dan merasa jijik.

" Aku sama sepertimu, Nak, orang yang tak mampu berebut kue-kue di sana." Jawabnya sambil menunjuk rumah besar tetanggaku.

" Kamu pasti tadi sudah memohon sepotong kue, setelah kehabisan, bukan ? "

" Benar, Tuan."

" Lalu dia berulang-ulang mengatakan semuanya telah dicukupkan ? "

" Benar, Tuan."

" Aahhh, aku sudah mengalaminya berkali-kali bertahun-tahun yang lalu."

" Benarkah, Tuan ?"

" Yaahh, begitu. Akhirnya aku mencoba membuat kue-kueku sendiri. "

" Aku membuat pesta-pestaku sendirian, berteman kecoa, kutu-kutu dan rama-rama."

Kemudian dia menggelar secarik kain lebar yang lusuh dan kotor, di atasnya dia susun kue-kue yang untukku tampak menjijikkan.

" Tuan, maaf ini kue apa saja, kok...? "

" Di belakang rumah si kaya banyak bahan-bahan yang dibuang karena membusuk dan tak layak olah, aku ambil semuanya dan aku ramu sendiri, ini hasilnya. Rasanya tak kalah dengan kue-kue di dalam sana. "

" Kamu mencari kue apa, Nak ? " Tanyanya dengan menunjuki kue-kue busuk dihadapannya.

" Saya mencari pai apel saus madu, Tuan. "

" Aaahhh, kue yang istimewa !!! "

" Ini, nak, ambil kue ini...ya, yang ini adalah pai apel saus madu." Katanya sembari mengambilkan sepotong benda berbentuk mangkuk kecil berwarna hitam pekat seperti kotoran domba.

" Ambil Nak, ciumlah agak lama lalu gigitlah barang sedikit, dan kau akan tahu nikmatnya sepotong pai apel saus madu. "

Aku mengambil sepotong pai ramuannya itu lalu dengan ragu-ragu aku mencoba menciumnya. uhhhhh, busuk, benar-benar busuk aromanya.

" Cium sekali lagi nak, maka kau akan mencium aromanya yang mewangi bidadari. "

Aku mencoba mencium sekali lagi, dan aaahhh, segar seperti aroma tanah berembun, seungkap wewangian dewi bumi.

Tiba-tiba dari arah rumah besar tetanggaku terdengar suara banyak orang meneriakiku;

" Haaiiiiii, jangan kau makan kue-kue busuk itu ! "

" Itu kue beracun, sekali kau memakannya kau takkan bisa memasuki rumah ini lagi !! "

" Jangan kau percayai si dekil itu, dia akan menyesatkanmu !! "

Lalu aku memandangi si dekil di hadapanku dengan perasaan ragu-ragu.

" Tuan..."

" Hahaha, mereka mengataiku tapi kau sudah melihat tingkah mereka di dalam sana, bukan ? "

" Iya, Tuan, mereka bertingkah lebih buruk dari para penyamun di ruang pesta. "

" Begini saja Nak, bawalah pai apel dariku itu pulang, lalu kau nikmati dahulu aromanya, pikirkan lagi dengan matang untuk menyantapnya, semua terserah dirimu, aku hanya ingin sedikit memberi kelegaan atas rasa kecewa yang kau alami berkali-kali. "

" Bawalah beberapa..." Katanya sambil memasukkan beberapa kue hitam kedalam kantung plastik kumal untuk dibekalkan kepadaku.

" Terimakasih banyak, Tuan. " kataku dengan membungkuk hormat.

Aku pulang dengan hati agak tenang, sekalipun kue-kue busuk itu entah kapan akan aku nikmati.

Cinta Sejati ~ Sepenggal Obrolan dengan Seorang Ibu dari Seorang Anak Cacat Mental

Aku sebelum pindah ke Bekasi mempunyai seorang teman perempuan yang juga seorang ibu. Wataknya yang ramah membuat dia mudah bergaul di komunitas para muda Katolik di tempatku saat itu. Berikut kisahnya:



Suatu hari di jelang Paskah kami ~para lajang Katolik~ mengadakan kumpul-kumpul bersama untuk mendekorasi gedung gereja. Tiba-tiba seorang anak laki-laki yang mungkin usianya sekitar 12 tahun ikut nimbrung bersama kami. Anak itu berwajah 'mongoloid', ya, seraut wajah yang umum dimiliki oleh anak cacat mental. Dia bergabung dengan kami, lalu memandangi wajah kami masing-masing kemudian tersenyum canggung. Dia menyalami kami dengan ramahnya sambil memperkenalkan namanya, waktu sampai di hadapanku dia menepuk-nepuk perutku, lalu menempelkan telinganya di situ. Perbuatannya itu membuat kami semua tertawa terbahak-bahak, dan membuatku geli.

Tiba-tiba dari arah altar gereja terdengar suara seorang ibu yang memanggil anak itu lalu dengan tergopoh-gopoh ibu itu menuju ke arah kami,

" Nak, kamu jangan mengganggu oom-oom dan tante-tante di sini ya. "

" Iya, Ma. " Sambutnya dengan senyum.

" Oooh tidak apa-apa Mbak, kami senang kok dia di sini, ramah dan murah senyum," ujarku sambil tertawa.

Seorang ibu muda yang sebaya dengan kami, berparas cantik, kulit kuning langsat bersih dengan tubuh yang cukup seksi adalah ibu dari anak ini.

Waktu itu kami sedang menikmati istirahat sore setelah mendekorasi setengah ruang gereja, dan aku sebenarnya saat itu ingin sejenak menyendiri setelah mengobrol dengan beberapa teman.

Aku menuju ke arah samping gereja yang ditanami bunga kana sekedarnya, di situ aku menemukan sebongkah batu yang cukup besar untuk kujadikan tempat duduk; kebetulan bongkah batu itu merapat ke arah tembok pagar sehingga aku bisa bersandar.

Aku tak menyangka sedari tadi si anak 'mongoloid' ini membuntutiku. Tiba-tiba dia menepuki perutku lagi lalu menempelkan telingannya di perutku.

Si ibu pun tergopoh-gopoh kembali mendatangiku,

" Maaf, ya Mas, atas tingkah anak saya ini." Kata si ibu sambil menggamit lengan si bocah.

Namun si bocah tak mau pula melepas sandaran kepalanya dari perutku.

"Enggak apa-apa kok mbak, saya ndak marah, malah saya merasa geli."

" Sekali lagi maaf ya Mas, mungkin dia teringat boneka Teddy di rumah. "

" Ndak apa-apa, Mbak. "

" Perkenalkan nama saya Augustina, Mas. "

" Saya Hank, Mbak. "

" Dia putra ke berapa, Mbak ? " ucapku untuk memecah kecanggungan.

" Ooh, dia anak tunggal saya, Mas."

" Dia mengalami keterbelakangan mental, Mas, namun dia itu buah hati tercinta saya. "

" Usia berapa Mbak, dia ? "

" Usianya baru 11 tahun, Mas. "

" Senang Mbak ya sudah punya momongan."

" Senang-nggak senang sih, Mas, tapi bahagia. "

" Mas sendiri sudah punya momongan berapa ? "

" Belum, Mbak, isteri saja belum. "

" Tapi calon sudah ada kan ? "

" Belum, Mbak. "

" Wah, Mas pemilih yaa ? "

" Iya, Mbak saya hanya memilih perempuan sebagai pendamping saya. " jawabku sambil berkelakar.

" Masalahnya ndak ada yang mau saya pilih, Mbak, hehehehehe. "

" Mas jangan merendahkan diri seperti begitulah, ndak baik, Mas. "

" Begini Mbak, beberapa gadis yang saya sukai, selalu menolak Mbak. "

" Ahh, Mas mungkin yang terlalu tergesa-gesa. "

" Saya sudah mencoba beberapa cara Mbak, dari yang pelan, menjadi 'sahabat' dahulu, sampai tembak langsung, semuanya kandas."

" Maaf, Mbak saya malah cerita masalah pribadi. "

" Ndak apa-apa Mas, setiap orang memiliki masalahnya sendiri, kok."

"Iya, Mbak, cuma sebenarnya saya tidak tahu tipe masalah yang saya hadapi, namun saya pribadi menduga karena masalah fisik."

Kami terdiam sejenak sambil menikmati tingkah anak yang tadi menempelkan telinganya di perutku. Tiba-tiba si ibu memecah kesunyian,

" Saya sudah berkeluarga selama 13 tahun, kami termasuk agak sulit mendapat momongan, baru setelah dua tahun kami menikah kami mendapatkannya, si Dion ini. "

Kemudian dia menghela nafas yang cukup panjang.

" Pada mulanya kami merasa sangat bahagia atas kelahiran Dion, namun pada tahun pertama perkembangannya, dia mengalami demam tinggi. "

" Dia mengalami stiff agak lama, lalu kami bawa ke dokter. Ketika demam turun itulah mulai tampak perbedaan pada pertumbuhan Dion. "

" Respon Dion terhadap suara menjadi melambat, dan perkembangan psiko-kognitifnya pun seperti mengalami degradasi. Intinya Dion menjadi cacat mental. "

" Selama beberapa tahun kami, saya dan suami benar-benar tidak bisa menerima keadaan Dion yang demikian, selama bertahun-tahun kami menganggap Dion sebagai mimpi buruk, bahkan suami saya hingga saat ini menganggap peristiwa kelahiran Dion tidak layak untuknya. Dia pun meninggalkan kami berdua. "

" Pada tahun-tahun penuh kebencian itu, kami sering tak habis pikir; saya cantik dan pintar, suami sayapun adalah pujaan gadis-gadis karena ketampanannya, tetapi mengapa beroleh keturunan semacam Dion ? "

" Kami protes kepada Tuhan dengan samasekali meninggalkan gereja dan kehidupan spiritual, walaupun kami masih menanggung semua kebutuhan Dion, namun bukan karena rasa cinta, melainkan untuk pemantas menunggu hingga Dion mati. "

" Saya diketuk dengan keras oleh Tuhan, adalah ketika peristiwa ayah Dion meninggalkan kami. Seharian saya menangis di kamar, saya bingung harus bagaimana karena setelah menikah saya menjadi ibu rumah tangga penuh. Waktu itu saya merasa dunia saya sudah berakhir, namun yang membuat hati saya seperti dihajar keras adalah sikap Dion yang seharian menemani saya, dia ikut menangis lalu menciumi setiap air mata yang membasahi pipi saya. "

" Saya tahu dia sangat sedih walaupun tangisannya tak bersuara. Saat itulah saya sadar bahwa cinta Dion yang cacat ini jauh lebih besar daripada cinta ayahnya yang pernah menjadi pujaan para gadis. "

Aku hanya bisa diam termangu mendengarkan kisah ini dengan hati yang masygul.

Hadiah Natal Terindah

Sebenarnya sudah lebih dari lima tahun aku menjadi umat paroki ini, namun aku termasuk yang kurang bergaul. Aku tak terlalu dikenal oleh lingkungan di paroki ini, mungkin karena aku terlalu menyibukkan diriku dengan urusanku sendiri. Ya, aku hanya umat paroki yang suam-suam kuku, hanya giat berdoa menuntut Tuhan dengan semua kehendakku yang dibalut dengan ucapan syukur pura-pura. Aku giat melakukan doa ini-itu bukan karena ingin berdekat mesra dengan Tuhan tetapi terlebih ingin membudakkan Tuhan secara halus.

Hari itu kira-kira seminggu sebelum Natal, dalam kalender liturgi saat itulah perayaan minggu sukacita atau Gaudete. Aku sedang ingin menyendiri di bangku gereja seusai misa. Aku mengilas balik setiap pengalaman pahit dan buruk hingga semuanya berlompatan di benakku seperti serombongan ikan lapar melahapi mangsa. Tak terasa sebaris air mata mengembang di pelupuk mataku,

" Oh, Tuhan sampai kapan ? " gumamku.

" Tuhan, hari ini gaudete tapi tak kurasa kegembiraan sedikitpun, bolehkah umurku selesai sekarang ? " bisikku sekali lagi.

" Saya pikir semuanya sudah selesai Tuhan, jika umur saya selesai sekarang mungkin semua harta dunia yang saya kumpulkan akan lebih berguna karena saya tak membutuhkannya lagi, dan bisa disumbangkan ke setiap yayasan anak cacat, atau panti asuhan. " aku beralasan lagi.

" Tuhan, saya mohon sudahi hidup saya. " pintaku lagi dalam gumamku.

Tiba-tiba dari belakang terdengar suara yang ringan dan ramah,

" Belum pulang, Mas ? "

Aku menengok ke belakang dan kulihat seorang lelaki setengah baya dengan kulit gelap dan kumis yang tebal dan membawa peralatan pembersih lantai, 'ah, koster gereja', ujarku dalam hati.

" Belum, Pak. "

" Mas rumahnya di sekitar Mustika Jaya, kan ? " tanya lelaki itu sambil menyapu lantai gereja.

" Benar Pak, rumah saya di situ, kok Bapak tahu ? "

" Saya sering melihat panjenengan ( = Anda) kalau saya pulang, rumah saya juga di Mustika Jaya. "

" Oh, Bapak di Mustika Jaya juga, emmm, maaf Pak, kalau saya tidak kenal Bapak. "

" Saya Hank, Pak.."

" Saya Thomas. "

" Boleh saya bantu, Pak ? "

" Ahh, jangan Mas !! "

" Pekerjaan ini adalah tanggung jawab saya, Mas, bukan pekerjaan Mas. "

" Saya memang digaji oleh paroki untuk melakukan tugas ini, Mas."

" Begini, Pak, saya hanya ingin membantu saja, kok."

" Saya tahu maksud baik Mas, tapi ini tanggung jawab saya. Saya melakukan tugas ini juga untuk merenungi kasih Tuhan di kehidupan saya, Mas."

Mendengar alasan Pak Thomas itu tergelitik rasa ingin tahuku untuk mengorek lebih jauh.

" Maksud Bapak ? "

" Dahulu Mas, sebelum saya menjadi koster di sini, saya itu petani yang lumayan berhasil di kampung." kata Pak Thomas sambil menelisik sisa-sisa sampah yang biasanya dibuang anak-anak kecil di sekitar pelataran gereja.

" Saya dahulu mengusahakan tanah saya untuk ditanami padi dan pala kependhem (=umbi-umbian), tanah yang saya miliki saat itu lumayan, satu hektar. "

" Walaupun saya pada waktu itu, tidak kurang makan dan minum, serta kebutuhan sehari-hari, saya masih saja mengeluh karena belum bisa membahagiakan anak dan isteri saya dengan harta yang saya miliki. "

" Ahhh, kapan anak-anak ini dididik oleh orang tuanya tidak membuang sampah sembarangan..." gerutu Pak Thomas ketika melihat setumpuk tissue bekas dan bungkus gula-gula.Sambil menjumputi sampah-sampah itu, Pak Thomas melanjutkan kisahnya,

" Lalu suatu ketika tanaman yang saya usahakan mengalami gagal panen, bahkan sampai tiga kali berturut-turut. Harta tabungan saya habis untuk membeli, bibit tanaman, pupuk dan obatnya. Akhirnya tanah saya jual untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. "

" Saya mencoba melamar kesana-kemari untuk menjadi buruh tani, tapi rupanya memang di kampung saya waktu itu sedang mengalami wabah hama sehingga tak ada juragan yang berani menanam. "

" Saya banting stir menjadi buruh pemecah batu kapur, walaupun hasilnya jauh di bawah penghasilan saya dahulu, tetapi kalau untuk sekedar membeli sedikit beras dan lauk pauk sederhana masih cukup."

" Berapa lamakah, Bapak jadi buruh pemecah batu kapur, Pak ? " tanyaku kembali.

" Saya menjalaninya selama dua tahun Mas, dan selama itu pula isteri saya menjadi mudah mutung (=merajuk) dan anak kami yang saat itu berumur 6 tahun pun mudah sakit-sakitan. "

" Hidup saya saat itu terasa berhenti, bahkan mundur. Mulailah saya protes kepada Tuhan. Saya merasa doa saya hanya didengar oleh tembok, ikon-ikon dan patung-patung tanpa daya di gereja. Gelap !"

" Saya bahkan pernah beberapa kali tergelitik untuk menyudahi hidup saya dengan menjatuhkan diri dari atas bukit kapur. "

" Akhirnya saya menitipkan keluarga saya kepada mertua dan saudara sepupu saya. Saya titipkan isteri saya ke orang tuanya, dan anak saya titipkan ke saudara sepupu; sementara saya mencoba peruntungan dengan merantau ke Jabotabek."

" Saya dahulu merantau ke Jabotabek tanpa tahu apapun di sini, karena tak ada sanak-saudara. Saya hanya berpatokan, pokoknya saya cari alamat Gereja Katolik karena saya yakin akan diterima. "

" Namun, harapan saya kandas. Saat itu saya datang ke Paroki di Matraman Jakarta Timur, sesampainya di sana malahan saya dikira penipu yang menyamar jadi orang miskin. Sakit hati saya, Mas. Saya tetap tak mau pergi dari situ, saya berencana menginap di pelataran gereja, sampai beberapa hari hingga bekal uang saya menipis. Setiap hari saya merengek kepada koster di sana supaya boleh menggantikan atau paling tidak berbagi pekerjaannya tanpa upah."

" Akhirnya Pak Leo, koster di gereja Matraman kasihan dan dia mencarikan pekerjaan bagi saya sebagai pengurus taman dari salah seorang pedagang kaya. Ekonomi saya mulai membaik, dan saya beritahukan keadaan itu kepada isteri di kampung"

" Saya hanya bekerja setahun di tempat pedagang itu, lalu saya ditawari untuk menjadi koster di Bekasi sini. Saya terima dengan resiko gaji saya di bawah upah sebagai pengurus taman, saya terima pekerjaan sebagai koster karena menurut saya akan lebih bisa mendekatkan diri kepada Tuhan. "

" Dua puluh lima tahun lalu paroki ini masih stasi, bahkan sebagian wilayah sini masih hutan. "

" Maaf Pak, memang berapa besar perbedaan antara gaji sebagai pengurus taman dan koster ? " tanyaku mengorek lebih jauh.

" Gaji saya sebagai koster hanya sekitar tigaperempat lebih rendah dibanding gaji pengurus taman, Mas. Namun itu jauh lebih baik daripada upah saya sebagai buruh pemecah batu. Sebenarnya, jika dibandingkan, gaji sebagai koster sama dengan pekerjaan saya dahulu bahkan lebih baik. Di sini saya sering mendapat makanan enak dari umat, sehingga saya bisa berhemat."

" Namun lebih dari itu, saya merasa bahagia, Mas, karena bisa akrab dengan banyak orang, dan bisa selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi Tuhan, melalui pekerjaan saya ini."

" Saya dulu penuntut Mas, sering menuntut ini dan itu kepada Tuhan, tapi semenjak saya mengenal banyak orang di sini dan menghargai serta membantu mereka layaknya saudara, seperti kata Romo, saya jadi merasa bahagia, karena mereka pun menjadi bahagia, tanpa perlu menuntut balas dari mereka, yang penting mereka tahu kita mengasihi mereka sepenuh hati; sudah cukup. "

Aku tidak bisa berkata-kata lagi, kugamit tangan yang sudah mulai mengeriput itu lalu kucium.

Aku pulang dengan ringan seperti dengan beban yang sudah terlepas. Inilah hadiah Natal terindah buatku :

" Tunjukkan bahwa kamu mengasihi tanpa menuntut satu balasan, karena Tuhan akan membuka sumber-sumber berkat sesuai kehendak-Nya yang sempurna."

(Kisah ini hanya fiktif, jika terdapat kesamaan nama pribadi dan nama tempat hanyalah satu kebetulan saja)

Pentjerita-pentjerita Goemoel Djiwa

Mengenai Saya

Foto saya
Blog ini merupakan saranaku untuk menuangkan cerita-cerita pendek yang scene-nya melintas di benak saya. Kisah-kisah di sini kudus/suci dari jiplakan/plagiatan/contekan sehingga jika ada kisah yang sama persis dengan yang saya tuliskan bisa dipastikan membajak/menjiplak/memplagiat dari cerpen saya.