Senin, 13 September 2010

MUJIZAT TERAKHIR

Suara dentang mistis lonceng fajar tanda Doa Brevir pagi untuk para pastor pertapa dimulai. Beberapa dari mereka terutama yang sudah sepuh dan angkatan pra Konsili Vatikan II setelah acara Doa Brevir melanjutkannya dengan pendarasan 150 ayat Mazmur lalu Doa Rosario.

Para pastor yang berada di sini memang khusus untuk bertapa, mereka mengabdikan diri kepada Tuhan dengan mendoakan dunia dengan tak kunjung putus. Aku sendiri sudah tahun ketiga berada di sini, di surga doa ini sebagai salah satu koster. Pertapaan di tepi kota Semarang inilah yang menentramkan hatiku yang tergilas roda-roda baja kehidupan. Biarlah kebahagiaanku bukan seperti pangeran-pangeran dongeng.

Sebulan ini tugasku adalah menyabit rumput untuk sapi-sapi ternak yang dipelihara oleh biara ini. Kami menyediakan beberapa petak tanah yang diolah untuk ditanami rumput gajah bersama penduduk desa yang juga kebanyakan petani dan peternak sapi. Kamipun bekerja sama dalam penjualan hasil-hasil ternak kami dengan penduduk desa.

Sudah sebulan ini kegiatan menyabit rumput kujadikan sarana meditasiku untuk semakin merasakan pelukan kehangatan Tuhan di bawah mentari; semalam kubuat satu catatan pendek dari Mazmur 136:1-9 untuk kudaraskan dalam cengkok ura-ura tembang Jawa sebisaku:

'Bersyukurlah kepada Tuhan sebab Ia baik ! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setiaNya

Bersyukurlah kepada Allah dari segala ilah ! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setiaNya.'

Baru dua ayat kudaraskan tiba-tiba kudengar tangis tertahan seorang ibu paruh baya, sambil terduduk di pematang ladang rumput ini; disebelahnya tergeletak seorang pemuda kurus kering dengan tatapan kosong kedua tangan dan kakinya dibebat perban yang mulai kecoklatan dan dikerumuni lalat. Badan ibu itu tampak kuyu tak terawat dan pemuda yang disebelahnya bertelanjang dada dengan hanya bercelana pendek saja.Kudekati mereka kalau-kalau mereka membutuhkan pertolonganku, sembari untuk memenuhi rasa ingin tahuku.

"Maaf, Bu, ibu sakit ?"

"Apakah pemuda ini bersama Ibu ?" Tanyaku kepada mereka, sambil kulihat keadaannya.

"Mboten, Nak, kula mboten sakit, ingkang sakit lare niki, anak kula (tidak, Nak, saya tidak sakit, yang sakit anak ini, anak saya)" Jawab ibu itu dengan suara tertahan.

"Anak saya sudah tiga tahun keadaannya begini. Saya sudah bingung harus berbuat apa, Nak." Lanjut ibu itu dalam isak tangisnya.

"Kami ke sini karena saya tahu di sini ada pertapaan para romo Trapist."

"Dulu anak saya ini adalah lulusan seminari tinggi."

Lalu aku menggamit pundak ibu itu dan memintanya untuk mengikutiku.

"Mari, Bu, ikut saya, kebetulan saya koster di pertapaan itu." Kudekati pemuda yang tergeletak itu, lalu kugapai tangannya, kutarik hingga berdiri, kulingkarkan lengannya di leherku lalu kupapah dia.

Si ibu mengikuti kami dari belakang. Kutinggalkan seikat besar rumput gajah yang sudah kukumpulkan itu di ladang.

Letak ladang rumput gajah itu berada di kaki bukit kira-kira 1 km di bawah biara. selama perjalanan pemuda yang kupapah lebih banyak diam sambil sesekali berbisik dengan suara berat:

"Eloi Eloi lema azvatani." Satu petikan refren Mazmur 'Rusa di Kala Fajar' dari Raja David dalam Bahasa Ibrani.

Selama aku memapahnya sesekali dia juga berbisik berat:

"Bapa, ke dalam tangan-Mu kuserahkan rohku."Perjalanan dari ladang ke biara dengan memapah pemuda ini sungguh membawaku dalam kilasan-kilasan Jalan Salib Kristus, aku serasa menjadi Simon dari Kirene, dan sang ibu adalah seumpama Bunda Maria. Beberapa kali pemuda sakit ini jatuh terantuk bebatuan bukit, yang sering menarikku hingga terhuyung. Sungguh aku dapat merasakan perasaan Simon ketika dia harus memapah Yesus beserta salib-Nya. Kira-kira satu setengah jam kami lalui perjalanan itu dengan tertatih-tatih. Sesampai di halaman biara Romo Pram yang saat itu sedang menyapu halaman melihat kami dan langsung membantuku memapah si pemuda ke serambi tamu.

Romo Pram lalu menanyaiku perihal pemuda yang kupapah tadi,

"Mas Hari, pemuda ini kenapa ?"

"Apa ada perkelahian di bawah bukit ?"

Kupandangi pemuda itu, wajahnya sungguh memelas penuh bekas luka demikian juga punggungnya, penuh luka seperti sisa cambukan. Lalu kujawab pertanyaan Romo Pram,

"Bukan Mo, dia saya temukan di ladang rumput gajah di lereng bukit bersama ibu ini." Jawabku sambil menunjuk ibu tua tadi.

"Bu, istirahatlah di tempat kami."

"Kami akan menyiapkan sekedar bilik kecil untuk ibu dan merawat anak ini." Kata Romo Pram dalam iba, lalu Romo Pram menyuruhku untuk mempersiapkan bilik tamu bagi si ibu dan dia hendak memapah si pemuda kedalam ruang perawatan.

Tiba-tiba ibu tua yang sedari tadi terdiam, menjawab:

"Dia harus selalu di dekat saya Romo, sedikit saja pandangannya agak lama dia tak melihat kehadiran saya dia akan berteriak-teriak dan menangis, bahkan mungkin memberontak dari pegangan."

"Sebaiknya dia selalu di dekat saya."

"Bahkan saya sendiri yang harus memandikan dan menyuapi makan untuknya."

"Dia hanya mengenali saya, Mo."Jelas ibu itu dengan pandangan menerawang.

Mendengar penjelasan ibu itu, Romo Pram hanya bisa melongo dan akhirnya membolehkan si ibu untuk mengikuti ke ruang perawatan. Kemudian aku membantu si ibu memandikan anaknya. Aku persiapkan beberapa peralatan untuk membalut luka, obat anti septik dan dua buntal besar perban untuk mengganti bebatan luka di tangan dan kakinya. Kubuka semua bebatan perban itu dengan rasa penasaran, kiranya luka semacam apa yang tertoreh di situ; seruak kaget menyambangi perasaanku demi melihat kesemua luka itu, empat luka yang menembus telapak tangan dan kakinya menganga di hadapanku. Ahhh, luka-luka mirip luka-luka Salib Kristus. Rasa penasaranku memuncak dan berujung pertanyaan pada si ibu,

"Ini luka karena apa, Bu, kok mirip luka-luka Gusti Yesus ?"

Rupanya si ibu sudah mengamatiku sejak aku membuka luka-luka anaknya, dan dia pun sudah sudah menduga akan pertanyaanku. Senyum getir mengulas di bibirnya yang penuh guratan-guratan derita tanda sedih lalu dia menjawabku,

"Luka-luka itu dibuatnya sendiri, Nak."

"Luka itu bukan anugerah semacam yang terjadi pada Romo Pio atau St. Fransiskus Asisi."

"Dia melukai dirinya sendiri karena ada beberapa peristiwa mengecewakan yang menimpa dirinya."

Aku menjadi tak enak hati mendengar penjelasan ibu ini. Hampir lupa aku berkenalan dengan mereka karena terbuai oleh keheranan atas peristiwa yang baru kualami sejak pagi tadi, lalu kumulai perkenalan dengan permintaan maaf terlebih dahulu,

"Maaf, Bu, sejak dari lereng bukit tadi kita belum berkenalan."

"Nama saya Hariadi."

"Yang menyambut kita di depan tadi adalah Romo Pramono."

"Saya Elisabeth Rukmini."

"Anak saya bernama Ignasius Tejo Sudibyo."

Hari itu aku minta izin kepada koordinator koster dan pastor kepala rumah tangga untuk ikut merawat Ignasius Tejo Sudibyo secara intensif bersama Bu Rukmi. Agak sulit memang memohon izin merawat itu mengingat aku sebenarnya telah dijadwalkan untuk tugas utama memotong rumput gajah selama tiga bulan, namun Bu Rukmi turut memperkuat argumenku bahwa Sudibyo sudah mengenal dan percaya padaku, akhirnya pastor kepala rumah tangga dan koordinator koster memperbolehkanku. Seminggu sudah mereka berdua tinggal di pertapaan ini dan Bu Rukmi memilih Romo Pram menjadi pembimbing rohaninya selama di sini. Pertanyaan-pertanyaan atas rasa penasaranku pada sepasang ibu dan anak ini semakin berat menggelayuti benakku. Pada suatu sore selepas Doa Angelus Domini, aku memberanikan diri untuk bertanya banyak hal pada Bu Rukmi mengenai asal-muasal sakitnya Sudibyo, ketika kebetulan kami bersama-sama bertugas di dapur.

"Maaf, ya Bu, kalau ibu berkenan boleh saya tahu apa penyebab sakitnya Sudibyo ?"

"Mengapa dia sampai dia menyakiti dirinya sendiri sedemikian rupa, Bu ?"

Ibu Rukmi menghentikan sejenak kegiatan membenahi dapur, pandangan yang tadinya tertuju pada peralatan dapur kini berubah menerawang dan bibirnya sedikit tergetar karena seruak kesedihan mencuat di sela-sela ketegarannya.

"Kisah asal muasalnya panjang, Nak."

Lalu Bu Rukmi menarik nafas panjang beberapa kali, dan dua titik air mata meluncur dari sudut-sudut matanya.

"Sakit jiwanya dimulai sejak tiga tahun lalu setelah kematian isterinya yang direnggut oleh penyakit aneh, kata dokter penyakit itu disebut lupus." Sekali lagi Bu Rukmi menghela nafas.

"Tapi penyebabnya adalah bertahun-tahun sebelum itu, sejak masa kecilnya."

"Dia sebenarnya adalah anak adik perempuan saya, Nak, jadi dia sebenarnya keponakan saya."

"Sudibyo adalah anak hasil perkosaan."

Sampai di sini suara Ibu Rukmi menggetar tertelan.

"Suatu hari Ibunya Sudibyo pulang waktu awal fajar dan hari masih remang-remang, setelah dia tugas malam di rumah sakit. Saat itulah terjadilah peristiwa itu di dekat kamar mayat rumah sakit."

"Setelah peristiwa itu dia mengundurkan diri dari rumah sakit dan menjadi sangat pendiam, berdoa pun tidak mau apalagi ke gereja."

"Kesehatannya turun drastis selama mengandung Sudibyo, dan akhirnya meninggal setelah melahirkan."

"Saya dan almarhum suami saya yang memberi nama Tejo Sudibyo dan merawat bayi itu."

Aku tercenung mendengar kisah itu, satu kisah tragis yang tak bisa kubayangkan.

"Selama masa kecilnya Sudibyo banyak mengalami tekanan dari teman-teman sepermainannya dan beberapa guru SD-nya."

Lanjut Ibu Rukmini dalam kegetirannya.

"Dia sering diejek sebagai 'anak haram palang pantek' oleh anak-anak sebayanya."

"Sudibyo kecil tumbuh sebagai anak pendiam, yang membuat kami semakin sayang adalah kemampuan dia menjadikan ejekan teman-temannya sebagai kekuatan untuk maju."

"Nilai-nilainya semasa sekolah dari SD hingga STM tidak pernah turun dari lima besar."

"Namun tetap hati kecilnya merasakan kepahitan yang mendalam, itu dia ungkapkan setelah tiga tahun bekerja, dan di-PHK karena memukuli salah satu rekan kerjanya, hanya karena satu gurauan."

"Kegalauan hatinya akan hidup manis yang dijanjikan Tuhan bagi yang setia kepada-Nya, membawa Sudibyo muda untuk mengikuti pendidikan di seminari."

"Dia lulus sarjana filsafat dan teologi dengan nilai akademis yang cukup tinggi, namun belakangan baru saya tahu jika ordo menahan tahbisan imamatnya, karena mentalnya labil."

Bu Rukmi terdiam cukup lama, tiba-tiba terdengar suara Romo Pram dari luar mengajak kami ibadat malam. Kami bertiga menyiapkan peralatan ibadat untuk malam itu.Seperti biasanya ibadat malam menggunakan darasan lagu gregorian yang selalu mampu mendinginkan hatiku dari memori keseharian yang mencabik-cabik jiwaku, suasana kontemplatif yang selalu terbangun membuatku sering enggan jika ibadat ini selesai.

"Cinta akan rumah-Mu menghanguskan daku !"

"Cinta akan nama-Mu meremukkan daku !"

Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari Sudibyo dengan mengerang. Memang sudah tiga hari ini Sudibyo diperbolehkan untuk mengikuti setiap ibadat, setelah dinilai sikapnya yang tidak lagi liar. Malam itu aku dan Bu Rukmi tidak menyelesaikan ibadat malam kami bersama para romo, tapi kami memapah Sudibyo ke kamarnya.

Bu Rukmi berusaha menenangkan Sudibyo yang berkali-kali mengerang dengan teriakan yang sama; berulang-ulang Bu Rukmi mengelus kening dan menciumi kepala Sudibyo. Adegan ibu-anak itu membuatku trenyuh dalam haru dan mengingatkanku pada arca 'Pieta' karya Michelangelo. Kuberanikan diri untuk bertanya lagi tentang Sudibyo kepada Bu Rukmini.

"Bu Rukmi, kok Sudibyo ketika berteriak sering mengutip Kitab Suci ?"

Bu Rukmi lalu melanjutkan kisahnya yang terpotong tadi sore.

"Setelah mundur dari seminari anak saya ini menjadi katekis dan asisten laboratorium."

"Kehidupan Sudibyo biasa saja, namun caranya mengajar agama yang mudah dimengerti seperti seorang pastor pengkhotbah membuatnya banyak disukai dan sangat berharga bagi paroki kami."

"Tiga tahun setelah dia menjadi katekis dia bertemu dengan salah seorang novisiat susteran yang diperbantukan mengajar musik."

"Theresia, panggilannya, nama lengkapnya Theresia Niken Puspandari, singkat kata mereka saling jatuh cinta, dan Theresia keluar dari novisiat lalu mereka menikah."

"Usia pernikahan mereka, hanya satu setengah tahun." Sampai di sini Bu Rukmi tampak tak kuat lagi menahan sedu-sedan tangisannya karena mengenang kisah hidup si anak semata wayang.

"Penyakit aneh yang di sebut lupus itu muncul pada saat Niken atau Theresia menginjak masa kehamilan anak pertama mereka."

"Nyawa Niken beserta bayinya tak tertolong ketika masa melahirkan."

"Sejak saat itu semua keceriaan dan kecerdasan Sudibyo ikut mati bersama kematian isteri dan anaknya."

"Pikirannya jadi seperti hilang setelah peristiwa itu, sering ketika mengajar dia hanya berdiri di depan kelas dalam diam dengan tatapan kosong."

"Akhirnya pastor dan dewan paroki meminta dia beristirahat untuk waktu yang tak ditentukan."

"Perlahan-lahan Sudibyo semakin tenggelam dalam kesedihan; puncaknya adalah ketika dia membuat altar di kamarnya lalu menganyam mahkota duri dari batang pohon bougenville, membuat cambuk kecil dan membawa paku serta martil."

"Selama tiga tahun dia mengurung diri di kamarnya dan makan hanya dua hari sekali itupun harus diletakkan di depan pintu kamarnya."

"Luka-luka paku kaki-tangan yang ada pada tubuhnya dibuatnya tiga bulan yang lalu, ketika hari peringatan Jumat Agung. Sebelumnya dia hanya mengenakan mahkota duri dan mencambuki tubuhnya sendiri." Ungkap Bu Rukmi sembari menghela nafas panjang beberapa kali.

Aku mencoba memahami kisah yang diceritakan Bu Rukmi, namun aku merasa ada kejanggalan dari kisah ini.

"Ibu tidak melarang Sudibyo untuk melakukan hal itu, Bu ?" Tanyaku karena merasa aneh atas sikap Bu Rukmi.

"Aduuh, Nak, saya sudah bekali-kali melarangnya, dan pasti disambut dengan mogok makan, atau berlari-lari keluar tanpa pakaian."

"Ibu sudah membawanya ke psikiater atau RSJ ?" tanyaku penasaran.

"Sudah berkali-kali, Nak, tapi setelah beberapa bulan dia tampak tenang dan sembuh lalu bisa saya bawa pulang, tapi beberapa minggu kemudian kambuh lagi." Jelas Bu Rukmi dengan pandangan menerawang silam. Aku hanya bisa menghela nafas berkali-kali mendengar kisah ini, lalu aku mencoba mengenang kembali jalan hidupku yang membawaku hingga ke sini. Peristiwa yang paling membuat hatiku getir adalah ketika isteriku yang kunikahi secara sakramentali meninggalkanku bersama anak perempuan hasil hubungan gelap dengan pacarnya terdahulu. Aku tidak habis pikir seorang ibu tega meninggalkan anaknya sendiri hanya untuk mengejar kesenangan. Aku menyayangi anak isteriku ini sebagai anak kandungku, Brigita Setyawati namanya, dia sekarang baru menginjak 7 tahun, sekarang dia tinggal bersama ibuku di Ambarawa. Semalaman aku dan Bu Rukmi menemani Sudibyo sembari mohon didoakan oleh Bunda Maria dan Para Kudus demi kesembuhan Sudibyo. Luka-luka bekas paku di kedua tangan dan kaki Sudibyo rupanya tidak juga membaik, luka-lukanya masih sering mengeluarkan darah segar. Keesokan harinya satu kejutan menggembirakan terjadi untukku, ibuku dan anakku Setyawati mengunjungiku.

"Bapaaaaak," teriak Setyawati memanggilku sambil berlari-lari dalam langkah-langkah kecilnya, di tangannya membawa seikat besar rangkaian Bunga Sedap Malam.

Aku berjongkok sambil menanti langkahnya terhenti tepat di depanku, lalu kupeluk erat dan kuciumi dia untuk menumpahkan rasa kangenku selama tiga bulan tidak bertemu dengannya.

Lalu setapak hangat mengusap bahuku, telapak yang telah membesarkanku, dan mengawal hidupku.

"Anakmu kuwi lho, dumeh liburan sekolah nggremeng wae neng kupingku kepingin ketemu kowe (Anakmu itu lho, mentang-mentang liburan sekolah merengek terus di telingaku ingin menemuimu)"

Kuciumi kaki ibuku berkali-kali begitu lama, dan ini baru kulakukan saat itu.

"Le, aja nganeh-anehi kowe ya, umurku isih dawa kok mbok gawe ngene sikilku ? (Nak, kamu jangan aneh-aneh ya, umurku masih panjang kok diperlakukan begini ?)" Sambut ibuku sambil berkelakar dan membangunkanku, lalu kuminta Setyawati meletakkan rangkaian bunga bawaannya di ruang tamu pertapaan.

Kuperkenalkan Ibuku dengan Bu Rukmi dan Sudibyo yang kebetulan saat itu sedang duduk di beranda pertapaan untuk menjemur Sudibyo di bawah matahari pagi.

Ketika melihat Setyawati anakku, Sudibyo tampak sedikit terhenyak matanya mulai tampak menunjukkan kehidupan dan linangan air mata menggenang di matanya. Lalu aku kenalkan Setyawati kepada Bu Rukmi dan Sudibyo, dengan sigap Setyawati menciumi tangan mereka berdua. Tiba-tiba Sudibyo memeluk Setyawati dan menangis,

"Anakkuuu, huhuhu, kemana saja kamu selama ini ?"

Setyawati kaget karena dipeluk oleh Sudibyo sedemikian rupa dan dia pun menangis. Aku mencoba menenangkannya supaya tidak menangis. Selama lima hari Ibuku dan anakku berencana menginap di pertapaan ini atas permohonan Bu Rukmi setelah melihat sikap Sudibyo terhadap Setyawati. Keakraban cepat terjalin antara Sudibyo dan Setyawati, dan kebersamaan mereka perlahan-lahan membawa kesadaran Sudibyo kembali. Setyawati selalu bercerita kepadaku kalau Oom Dibyo pandai mendongeng.

"Tidak seperti Bapak, kalau bercerita jelek,"

ejeknya padaku pada suatu sore. Saat itu Setyawati sedang bersiap mendengarkan dongeng dari Sudibyo yang biasa diceritakannya sambil duduk di lapangan rumput di samping pertapaan. Selama satu sampai dua jam biasanya mereka di sana aku, Bu Rukmi dan ibuku sesekali mengamati mereka berdua.Tiba-tiba terdengar teriakan dan tangisan Setyawati dari lapangan rumput.

"Mbah Putriiiii, Bapaaaaak, Oom Dibyo pingsan !"

Kami bertiga secepatnya berlari menuju lapangan untuk melihat hal yang terjadi. Kami lihat Sudibyo tergeletak dengan posisi tangan terentang, aku lalu mengangkat Sudibyo untuk dibawa ke kamarnya.Di kamar perawatan, Setyawati menceritakan peristiwa yang dialaminya ketika dia didongengi oleh Sudibyo sore tadi.

"Tadi Oom Dibyo menceritakan tentang Tuhan Yesus dan pencuri yang bertobat di salib, lalu dia berteriak Eloi-Eloi Sabakhtani, lalu pingsan," berkisah anakku sambil sesenggukan karena kaget dan sedih.

Kami mencoba membangunkan Sudibyo dari pingsannya, lalu setelah Sudibyo sadar Romo Pram mengambil termometer untuk mengukur suhu tubuhnya karena tampak demam, tapi Sudibyo menepisnya dengan gerakan yang lemah.

"Sekaranglah saat terakhirku bersamamu Ibu."

"Terimakasih untuk anakmu Mas Hari, dia telah mengembalikan tahun-tahunku yang hilang, dia adalah mujizat yang hidup dari Tuhan, bolehkah aku menciumnya untuk terakhir kali ?" Tanya Sudibyo dengan nafas tersengal-sengal.

Kuangkat Setyawati dekat kepala Sudibyo, lalu Sudibyo mengecup kening Setyawati yang masih sesenggukan karena sedih. Bu Rukmi tak sanggup berkata-kata hanya linangan airmata yang menggenangi wajahnya. Belakangan kuketahui dari dokter yang saat itu melakukan kunjungan, rupanya infeksi yang dialami Sudibyo sudah menjalari tubuhnya sedemikian jauh hingga organ dalam tubuhnya. Setelah mencium tangan Bu Rukmi, Sudibyo berucap lemah:

"Sudah selesai."

Lalu Sudibyo menarik nafas panjang, kemudian kepalanya terkulai.

Tangis Bu Rukmi pecah saat itu juga. Sekali lagi kusaksikan adegan 'La Pieta' di sini, dan airmataku tak kuasa kubendung dari jatuhnya.

Malam itu kami lalui dalam larut silensium spontan, setelah melakukan misa requiem untuk Sudibyo. Lalu Romo Pram berbisik kepadaku:

"Pelajaran hidup kali ini Mas Hari, bahwa mujizat itu tidak harus spektakuler, anakmu telah membawa mujizat kesadaran dari Tuhan di hari-hari terakhir Sudibyo."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pentjerita-pentjerita Goemoel Djiwa

Mengenai Saya

Foto saya
Blog ini merupakan saranaku untuk menuangkan cerita-cerita pendek yang scene-nya melintas di benak saya. Kisah-kisah di sini kudus/suci dari jiplakan/plagiatan/contekan sehingga jika ada kisah yang sama persis dengan yang saya tuliskan bisa dipastikan membajak/menjiplak/memplagiat dari cerpen saya.