Senin, 31 Mei 2010

Tuhan, Aku Menantang-Mu

Tak seperti bisanya di akhir minggu ini, aku mampu bangun pagi. Kulirik dengan mata separuh jam beker di samping tilam tidurku, owh pukul 4:30 pagi rupanya, sayup samar kudengar tilawath fajar di surau seberang mengiang irama negeri Arabi. Beranjak bangun dari ringkukku kucoba lompat satu hentakan, ahh Tuhan aku sudah tak muda lagi seperti dahulu ketika mendalami Kung Fu, hanya suara gemeratak saja yang kuhasilkan. Kusiapkan segelas kopi hitam untuk mengusir malasku, lalu kunikmati seusai mandi.


Kunaiki motor Suzuki Smashku yang butut perlahan menuju gereja untuk misa pagi pukul 7:00. Entah mengapa misa pagi ini dibawa dalam suasana Gregorian, mulai dari Kyrie Eleison hingga Agnus Dei, suasana ibadat yang membuatku serasa dalam pelukan hangat Bapa Ilahi. Usai misa aku sedikit bersapa tanya dengan beberapa teman yang kebetulan menghadiri misa pagi itu. Namun aneh, pagi itu aku sungguh enggan menggerakkan kakiku keluar dari pelataran gereja.

Sendiri kududuk di bangku paling belakang sembari memandang singgasana Tabernakel tempat Sang Misteri mahamistis bertahta. Bertahun-tahun benakku bertanya-tanya tentang janji-janji manis Tuhan, bermacam devosi telah kujalani, membalik-balik kisah Ayub di dalam Kitab Suci, hingga menggelandang ke gereja-gereja lain beraliran Protestan Karismatik tapi semua itu nihil. Janji-janji manis akan ‘upah’ kemurnian pada kejujuran, kepedulian, dan kesabaran sampai sekarang belum kucecap sedikitpun. Begitu dalam kutenggelam dalam tuntutanku kepada Tuhan hingga seusap sentuhan telapak hangat tersampir di bahuku, membuyarkan tuntutanku.
“Mas, belum pulang, masih betah di sini ?”

“Oooh, Pak Gudril, pagi Pak, berkah Dalem,” sapaku sembari bersalam erat tangannya.

“Belum Pak, saya tidak tahu mengapa hari ini malas pulang,” jawabku sambil beringsut minggir memberi tempat Pak Gudril untuk duduk di sebelahku.

“Mas, mau menemani saya berdoa Rosario sebentar ?” Tanya Pak Gudril dalam penawaran.

“Emmm, boleh.” Jawabku sedikit terpaksa, karena sebenarnya aku hanya ingin diam saja di situ.

Pak Gudril adalah koster di gereja kami, sebuah gereja di kota kecil yang masuk dalam wilayah Keuskupan Purwokerto. Nama panjangnya adalah Lukas Gudril biasa dipanggil sebagai Pak Lugu, namun aku tetap memanggilnya Pak Gudril, karena nama Gudril memberiku kesan akan keaslian Banyumasan. Pak Gudril, pria bertubuh kurus dengan bahu kiri agak sedikit miring, berambut ikal, berkulit sawo matang gelap, hidung mekar dengan bibir agak tebal, alis tebal dengan ujung-ujung mata yang turun, seraut wajah yang memang jauh dari tampan, terlebih sekarang usianya mendekati 55 tahun, paparan keriputpun menghias di mana-mana.
Usai kami berdoa Rosario Pak Gudril mengundangku ke pondoknya, pondok kosteran.

“Silakan Mas, nikmati klethi’annya, cuma lanting dan peyek kedelai hitam”, ungkap Pak Gudril sambil menyiapkan dua toples berisi lanting warna-warni dan peyek kedelai ukuran besar.

“Hanya teh hangat, Mas, mboten napa-napa nggih (tidak masalah kan) ?” ucap pak Gudril dalam logat Banyumas yang kental membawakanku dua gelas teh hijau dengan kepulan uap yang merangsang penciumanku.

“Mboten napa-napa, Pak. Kula nggih wau enjing sampun ngopi (Tidak masalah, Pak. Saya juga tadi pagi sudah ngopi).” Jawabku dengan logat yang sama.

Kuambil sepotong peyek kedelai yang memang kesukaanku sambil menghirup sedikit kepulan uap teh hijau buatan Pak Gudril. Kukunyah peyek sembari mengamati dekorasi dalam ruang pondok kosteran tempat Pak Gudril, sebentang dekorasi yang sederhana pikirku, mengungkap satu kesahajaan.

“Lagi banyak pikiran, Mas ?”, tanya Pak Gudril memecah perhatianku.

“Yaaa…” sahutku terperanjat mendengar tuduhan Pak Gudril

“Tuhan sering terlihat tidak adil ya, Mas ?” lanjut Pak Gudril sembari menilik tajam ke arah mataku.

“Maksud Bapak ?” tanyaku pura-pura bodoh sambil mencicipi teh hijau yang wanginya aduhai.

“Biasanya orang yang ingin berlama-lama di hadapan Tabernakel sedang menggendong sekarung masalah, Mas,” kata Pak Gudril sambil berkelakar, “Dan pikirannya dipenuhi kalimat-kalimat protes”, lanjutnya lagi dengan wajah serius.

Dalam hati aku bertanya-tanya, siapakah Pak Gudril ini kok kalimatnya bisa tertata apik. Memang benar aku sedang protes kepada Tuhan atas segala kesuraman yang kualami, mulai dari sejak dulu aku sekolah hingga kini sudah menghidupi diri sendiri dengan tertatih-tatih dan entah kapan akan kurengkuh mahligai perkawinan.

“Aahh, Pak Gudril ada-ada saja, saya baik-baik saja kok, Pak.” Kataku dengan senyum yang sangat kupaksakan.

“Saya serius, Mas.” Tegas Pak Gudril dengan mimik wajah mengeras, “Mas, belum berkeluarga bukan ? Mungkin masalah Mas-nya sekitar keuangan, pangkat atau jodoh, umum sekali hal ini” lanjut Pak Gudril dengan tatapan menyelidik.

“Aaah, saya tidak sedang dalam masalah kok, Pak,” jawabku sembari menghindari tatapannya yang menyeruak setiap tepian relung benakku.

“Mas-nya sudah pernah menantang Tuhan ?” Tanya Pak Gudril tegas lurus menghujam seperti sepenggal tombak pusaka menancapi jantungku.

“Aas, aam, aduuuh, Pak, tidak !” jawabku gelagapan, sembari menata hati yang terhujam tombak tanya Pak Gudril.

“Ahaa, berarti Mas-nya, sudah hampir ke titik itu,” tandas Pak Gudril menambah hujaman katanya.

“Baiklah, kalau Mas-nya ndak mau cerita, saya yang akan cerita.” Jawab Pak Gudril lalu terdiam sejenak dan menghela nafas beberapa kali, “Mas, kenal almarhum Pak Tinus yang meninggal satu tahun yang lalu ?” Tanya Pak Gudril sembari mengumpulkan kepingan-kepingan memori.

“Ya, ya, saya ingat koster terlama di gereja ini, kalau tidak salah 30 tahun menjadi koster di sini ya, Pak ?” tanyaku memastikan.

“Dialah yang mengembalikan ‘kekayaan Nabi Ayub’ kepada saya, Mas.” Ungkap Pak Gudril sembari mengambil sebingkai foto bersama mereka berdua.

“Maksud Bapak ?” tanyaku mulai tertarik dengan apa yang dikatakannya.

“Duapuluh tahun yang lalu saya pernah menantang Tuhan, Mas.” Ungkapnya lagi sambil tertunduk menatap lantai, seolah-olah adalah bentang layar kehidupannya.

“Tigapuluh tahun lalu saya adalah pemilik sebuah perusahaan kontraktor engineering, saya bekerja sama sama dengan dua orang kawan. Kami masing-masing mempunyai keahlian yang berbeda, saya dibidang kelistrikan dan instrumentasi sementara dua kawan saya masing-masing di bidang mekanika dan konstruksi sipil.” Jelasnya lagi dengan memejamkan mata dan menghela satu tarikan nafas panjang, menahannya sejenak lalu melepaskannya.

Tak bisa kubayangkan orang dengan perawakan seperti Pak Gudril adalah pemilik perusahaan dan ahli kelistrikan serta instrumentasi, suatu hal yang berbeda jika digambarkan oleh selayar sinetron. Tak bisa kubayangkan pula orang sealim Pak Gudril pernah menantang Tuhan.

“Tigapuluh tahun lalu perusahaan yang saya rintis setelah lulus STM jurusan listrik sudah maju pesat, Mas. Proyek-proyek milyaran rupiah mudah saya dapatkan.” Lanjutnya dengan mata menerawang keluar. ”Saya bersimbah harta ketika orang lain bersimbah keringat, dan itu saya syukuri, waktu itu saya sungguh merasa digendong oleh Tuhan.” Ungkap Pak Gudril dengan rona bahagia mengingat masa-masa itu.

“Saya gunakan uang yang saya miliki untuk menunjukkan status sosial saya kepada lingkungan sekitar, saya beli rumah mewah, dan dua mobil berkelas Eropa, tak lupa saya meminang seorang gadis cantik dan seksi yang menjadi sekretaris saya waktu itu, walau beda agama kami tetap nekat menikah, dan saya menikah menurut tata cara agama isteri saya.” Jelas Pak Gudril sembari menyobeki secarik kertas hingga kecil-kecil seolah-olah itu adalah memori kehidupannya yang tercabik-cabik.

“Sebagai seorang bos, waktu luang saya lumayan banyak dan itu saya gunakan untuk melanjutkan pendidikan saya hingga S1 dan S2, saya mengambil dua jurusan sekaligus instrumentasi elektrik dan psikologi, khusus psikologi saya selesaikan hingga S2 karena saya pikir adalah baik untuk menilai kondisi psikis rival-rival tender saya waktu itu.” Kenangnya seperti tercekat zaman.

“Silakan dinikmati lho, Mas teh dan makanannya, jangan terhanyut dengan kisah saya, Mas.” Kata Pak Gudril memecah konsentrasiku.

“Keadaan berbalik sepuluh tahun kemudian, salah seorang teman sekerja saya tiba-tiba mengundurkan diri dan membuat perusahaan sejenis.” Ungkapnya sambil menggeleng-gelengkan kepala, “Saya menyetujui karena saya pikir itu hal baik, sebab dia ingin mandiri, tak dinyana ternyata dia mundur sembari membawa uang hasil tender yang terakhir sebesar 8 milyar.” Lanjutnya sambil mengetuk-ngetuk meja dan tampak geram atas perbuatan rekan sekerjanya.

”Tender itu adalah tender terbesar dalam sejarah perusahaan saya Mas, bayangkan Mas, kurs Rupiah terhadap US Dollar saat itu masih dalam kisaran Rp. 4500.00 hingga Rp. 5000.00, bukan main-main” katanya lagi.

“Peristiwa itu membuat saya geram dan meradang bukan kepalang, Mas, orang yang melakukan itu akhirnya saya perkarakan di pengadilan, walaupun dia pernah menjadi kawan seiring saya dan sudah saya anggap sebagai saudara,” ungkapnya sambil menyipitkan mata.

“Kemenangan saya peroleh namun lebih dari separuh uang tender yang kembali habis untuk membayar beberapa pengacara terkenal, padahal proyek harus tetap saya jalankan karena sudah menjadi kontrak,”sekali lagi Pak Gudril menghela nafas seolah-olah membuang sesuatu dari kedalaman hatinya. “Akhirnya saya harus mendekonstruksi tabungan dan asset yang saya miliki demi berjalannya proyek.” Kemudian dia terdiam dengan mata terpejam dan nafas menjadi berat.

Kesunyian kemudian kupecah dengan tanyaku, ”waktu itu Bapak di sini, di kota ini, Pak ?”

“Tidak, Mas, waktu itu saya tinggal di kawasan Pondok Indah, Jakarta selatan.” Jelasnya.

“Ooh, jadi dulu perusahaan Pak Gudril ada di Jakarta to ?” tanyaku untuk memperjelas.

“Benar, Mas, waktu itu industrialisasi sedang digalakkan dengan mengundang investor-investor asing,” lanjut pak Gudril sambil menghirup teh hijau buatannya dan mengambil sejumput lanting.

“Wah, Pak Gudril hebat ya dulu, masih muda sudah punya perusahaan sendiri ck…ck…ck…ck.” Seruku terkagum-kagum, ”Anugerah Tuhan yang besar itu, Pak,” seruku lagi, ”saya saja sampai sekarang masih tertatih-tatih, menggotong hidup saya sendiri, Bapak sudah pernah memiliki perusahaan dengan asset yang sedemikian besar.” Ucapku lagi sembari geleng-geleng kepala.

“Tunggu dulu, Mas, memang sekarang Mas, kerja di mana ?” Tanya Pak Gudril kepadaku sambil sedikit memiringkan kepala.

“Aahh, saya cuma kerja di sebuah perusahaan kecil sebagai teknisi, Pak.” Ungkapku, ”gaji saya hanya sedikit di atas UMR, sementara harga-harga kebutuhan barang sudah di atas itu.” Tambahku lagi.

“Ok, Mas, saya lanjutkan cerita saya lagi, boleh ?” Tanya Pak Gudril untuk memintaku berhenti berkisah.

“Maaf Pak, silakan.” Pintaku dengan rasa tidak enak hati karena telah memotong banyak kisah Pak Gudril.

“wah, tadi sampai di mana ya ?”, Tanya Pak Gudril dengan berkerut kening.

“Sampai Bapak mengeluarkan tabungan dan asset pribadi untuk proyek,” jawabku untuk mengingatkannya.

“Aahh ya, saya menjual rumah mewah saya yang seharga 1,5 milyar dengan setengah harga kemudian saya beli sebuah rumah kelas menengah, saya jual dua mobil Eropa kesayangan saya dan saya gantikan dengan satu mobil Jepang seken.” ungkapnya lalu menghirup sekali lagi tehnya, ”Itu semua untuk menutupi nilai proyek yang harus saya jalankan.”

“Tapi itu semua belum apa-apa, Mas.” Kemudian pandangan Pak Gudril seperti menatap sesuatu yang tak ada, agak lama dia terdiam dan tak terasa dua titik air mata mengembang di sudut-sudut mata Pak Gudril.

“yang paling menyakitkan adalah ketika proyek terakhir itu selesai, isteri saya kabur bersama rekan kerja saya yang lain dengan membawa anak kami satu-satunya yang masih berusia dua tahun beserta sebagian besar tabungan perusahaan dan hanya menyisakan 1,5 juta, dan ternyata anak itu bukan anak saya melainkan anak hasil hubungan gelap isteri saya dengan rekan saya itu, dan itu saya ketahui dari surat pamitnya.” Lanjutnya lagi dengan suara terbata-bata.

“Saya benar-benar jatuh Mas saat itu, uang di tabungan pribadi saya saat itu tinggal 30 juta, padahal saya masih menanggung gaji delapan orang pegawai saya.” Ungkap Pak Gudril dengan suara tertelan.

Tiba-tiba dari luar terdengar suara berat Romo Siswoyo memanggil Pak Gudril, “Pak Gudril, Pak….sudah menyiapkan kelengkapan misa untuk ke stasi, Pak ?” tiba-tiba Romo Sis – panggilan Romo Siswoyo – yang tinggi besar itu sudah berada di depan pintu pondok kosteran. “Waaah, Mas Hank to…tumben main ke kosteran biasanya setelah misa langsung nginclik pulang,” sapa Romo Sis sembari menggodaku. “Pagi, Romo…” sapaku agak malu-malu dan tidak enak hati karena mengganggu tugas Pak Gudril. “Pagi, juga Mas,…gimana kabar bapak-ibu, sehat to ?”, kata Romo Sis menjawab sapaanku, Pangestunipun, sehat Mo,” jawabku.

“Semua sudah saya siapkan sejak dari semalam, Mo, tapi kalau ada kekurangan sebaiknya kita periksa bersam-sama.” jawab Pak Gudril kemudian mereka berdua bersama-sama pergi menuju pastoran.

Sepeninggal mereka aku mencoba mengilas balik hidupku. Kukilas hidupku dari semenjak SD, SMP hingga SMA masa-masa penuh kepongahan dan egoisme sebuah romantisme bayi monyet, kemudian kukilas masa-masa di perguruan tinggi yaitu masa-masa pancaroba ketika seorang anak biasa digendong emak-bapaknya harus mulai belajar menata diri, apalagi waktu itu kuliahku lumayan jauh di Kota Semarang. Pada masa kuliah aku masih sangat berpegang teguh pada benteng reputasi kejujuran, sebuah romantisme idealis yang kubawa semenjak SD, romantisme ‘cheat-proof’ atau anti contek-menyontek, walaupun itu sangat menyusahkan jalan hidupku namun aku tetap melakoninya bukan karena janji-janji manis Tuhan melainkan lebih kepada kesombongan intelektual. Apapun itu tetap aku syukuri sekalipun harus mengorbankan IPK dan hampir terkena finalisasi drop-out.

Kukilas kembali setelah aku lulus kuliah, masa ketika aku harus belajar menghidupi diri-sendiri, seuntai dunia kerja. Dunia kerja bukanlah bagian dari dunia dongeng, bukan dunia kontras warna melainkan sebuah dunia dengan penuh warna ‘setengah’ - setengah jujur,setengah curang – suatu hal yang belum pernah kubayangkan sebelumnya. Kadang-kadang aku berpikir seandainya Tuhan sudi mengubah seluruh dunia seperti dunia dongeng mungkin hidup seluruh manusia di muka bumi akan menjadi indah.

Dunia asmara pun bukanlah sebuah tayangan tonil, sinetron ataupun telenovela. Banyak orang membuat kata-kata mutiara tentang cinta-asmara yang menghanyutkan hati, tentang cinta sejati, ketulusan, kesetiaan, dan masih banyak lagi tetapi sangat sedikit yang mampu menjadikannya sebagai jiwa kehidupan kecuali hanya sebagai jiwa bibir pemulas kata, pemulas mimpi-mimpi tak sampai. Banyak kata-kata mutiara asmara merumuskan tentang kesejatian cinta pada sikap hati bukan pada tataran tubuh atau harta, tetapi pengalamanku mengatakan manusia akan tetap mengikuti insting dasarnya, sebuah insting mengenai kenyamanan baik visual maupun sentuhan kenikmatan.

Tak terasa satu setengah jam aku mengilas balik hidupku, dan pertanyaan terakhir yang muncul di benakku, ‘Tuhan, Engkau ada di pihak mana ?’

Kudengar langkah ringan dan cepat Pak Gudril yang kembali menuju pondok kosteran. “Maaf Mas, saya tinggal agak lama, karena harus ada beberapa barang tambahan yang harus dibawa Romo Sis ke stasi,” jelas Pak Gudril kepadaku.

“Tadi sampai di mana ya Mas, cerita saya ?”, tanya Pak Gudril kebingungan akan kisah lampaunya sendiri.

“Sampai Bapak harus membayar sisa gajian delapan orang pegawai Bapak,” jawabku dengan rasa kasihan kepada Pak Gudril yang beranjak renta ini.

“Ooh ya, ya saya ingat,” kata Pak Gudril sambil mengambil posisi duduk.

“Saya menjual sisa bidang tanah yang saya miliki untuk membayar gaji mereka dan biaya permohonan kepailitan ke Dirjen industri,” ungkap Pak Gudril menyambung kisahnya yang terputus, “kemudian saya mencoba melamar kerja di tempat relasi-relasi saya dahulu yang pernah menjadi klien saya, tapi hasilnya nihil mereka kebingungan harus menggaji saya sebesar apa,” lalu Pak Gudril mengambil sebuah buku kartu nama yang sudah sangat lusuh dan ditunjukkannya kepadaku, “Ini Mas, sebagian klien saya tigapuluh tahun lalu.” Banyak nama yang tidak asing dan sangat terkenal di bidang industri pada buku itu. “Mereka selalu mengatakan,’kualifikasi Bapak jauh di atas yang kami butuhkan, maaf kami tidak bisa menerima Bapak,’ itu kata mereka.”

“Kemudian saya mencoba berbalik arah, saya berpikir mungkin saya terlalu banyak berdosa pada lingkungan dan Tuhan sehingga saya bertekad berkarya di bidang sosial, lalu saya mendatangi dewan paroki, saya membuat proposal pengajuan pendirian Balai Latihan Kerja industri, maksud saya adalah dengan mendidik generasi muda gereja yang kurang mampu secara finansial namun berkemauan tinggi akan menjadikan mereka mandiri, tapi…,” cerita Pak Gudril terhenti oleh helaan nafas panjangnya, “di jajaran dewan paroki sendiri duduk beberapa orang yang sebelumnya pernah menjadi pesaing tender saya, dan rupanya bara dendam masih menyala di hati mereka walaupun sering mendoakan … seperti kami pun mau mengampuni orang yang bersalah kepada kami …, akhirnya proposal saya ditolak.” Katanya pula sambil tak sadar meremas-remas peyek yang ada di tangannya.

“Habis sudah kepercayaan saya pada Tuhan dan sesama manusia, itu adalah hari terakhir saya berharap pada Tuhan. Malam itu saya menangis tanpa air mata, tabungan yang semakin menipis hingga tinggal enam juta, ditolak di mana-mana,” tak sadar ujung-ujung mata Pak Gudril mengalir sejalur tipis air mata, “kemudian saya keluar rumah menuju halaman dan saya berteriak,’Heh Tuhan yang buta, tuli dan imbisil jika memang untuk merasakan gendongan-Mu jiwaku harus hitam dan pikiranku harus sesat lebih dahulu, maka mulai esok di titik balik fajar, aku akan menjadi sesat dan hitam, sehitam-hitamnya, ya, aku menantang-Mu !!!’ saya waktu itu seperti kerasukan dan mengacung-acungkan kepalan ke langit” kata Pak Gudril dengan agak berapi-api.

“Keesokan harinya saya mencari seorang mantan staff sales project saya, dan saya minta dikenalkan dengan germo yang dia kenal,” lanjut Pak Gudril sembari menyeka air mata. “Sudah rahasia umum Mas, untuk melancarkan tender proyek harus ada pelicinnya entah itu berupa materi atau wanita, dan itu masuk dalam biaya entertainment,” sekali lagi Pak Gudril menghela nafas. “Dia kaget setengah mati mendengar maksud saya, karena dahulu dia mengenal saya sebagai orang saleh, ’serius nih Pak ?,’ tanya dia waktu itu.”

“Saya menerangkan kesulitan saya padanya dan saya katakan kesalehan adalah makanan orang imbisil.” Lanjut Pak Gudril sembari geleng-geleng kepala mengingat masa itu.

“Lalu dia mengenalkan saya dengan seorang germo kelas tinggi yang bermain di tataran kelas atas, pekerja-pekerja seksnya banyak model kurang terkenal yang biasa digunakan untuk modeling kalender, baik domestik maupun luar negeri seperti dari Uzbekistan yang biasa disebut sebagai ‘kuda putih’ maupun dari daratan RRC dan Thailand.” sekali lagi Pak Gudril menghirup teh hijaunya yang sudah mulai dingin.

“Satu tahun saya menjadi asisten germo, saya jadi mengenal liku-liku dunia hitam pelacuran, saya tahu bagaimana sistem recruitmentnya yang susah-susah gampang, untuk mencari yang domestik agak susah, perlu banyak rayuan jebakan, sedangkan untuk yang dari luar negeri biasanya justeru mereka yang menawarkan diri,” kata Pak Gudril menjelaskan dunia pelacuran.

“Wow…!,” seruku setengah tak percaya.

“Penghasilan saya beranjak cepat, Mas, semenjak menjadi asisten germo, dalam sebulan saya bisa memperoleh antara tigapuluh hingga empatpuluh juta jika sedang ramai.” Lanjutnya dengan pandangan menerawang.

“Setengah tahun kemudian saya berpisah dari bos saya dan mendirikan escort agency sendiri, oh ya escort adalah istilah untuk pelacur high class, Mas.”

“Saya mendirikan agency sendiri karena ketidaksesuaian prinsip dengan mantan bos saya, dia senang menjebak gadis-gadis lugu dengan rayuan, sedangkan saya tidak suka cara itu, saya lebih suka mengatakan apa adanya, dan yang paling saya tekankan adalah rasa ketidaktakutan pada Tuhan, karena itu adalah bagian dari dendam saya waktu itu, saya paling tidak suka jika seorang calon escort lady masih membawa-bawa nama Tuhan.”

“Wah, Pak…aduh !,” seruku sambil geleng-geleng kepala.

“Ya, begitulah Mas, niat saya untuk menjadi sesat waktu itu tidak tanggung-tanggung, tidak suam-suam kuku.”

Agency saya berkembang pesat karena dipenuhi gadis-gadis yang tulus untuk menjadi sesat, tidak setengah-setengah dan kami pun sepemikiran bahwa kesalehan adalah pekerjaan orang imbisil.”

“Bahkan permintaan dari luar negeri seperti Malaysia, Thailand, bahkan negara-negara timur tengah pun banyak. Agency saya menjadi salah satu favorit mereka.”

“Saya hidup dalam kesenangan duniawi yang tak terbayangkan Mas, waktu itu, bahkan beberapa gadis escort mau jadi simpanan saya.”

“Hufff…!!!” seruku tanpa kata-kata.

“Delapan tahun saya jalani bisnis hitam itu, tapi akhirnya terendus juga oleh intel kepolisian yang memang sudah lama mengincar saya, dan saya dikenai pasal trafficking, kemudian saya di-nusakambangan-kan.”

“Di Nusakambangan saya harus menjalani hukuman selama tiga tahun lima bulan,” kata Pak Gudril dengan mengambil nafas yang cukup dalam.

“Di situlah, dalam keterasingan saya merasakan kekeringan jiwa, saya baru menyadari banyak yang hilang dari diri saya.”

“Satu bulan sekali paroki ini melakukan kunjungan ke Nusakambangan, waktu itu masih Romo Bimo yang menjadi pastor paroki, dan setiap kali saya mengamati misa dari luar ada satu kekuatan luar biasa yang menarik saya dan mendorong saya melakukan kilas balik hidup saya.”

“Setelah tujuh bulan di Nusakambangan, baru saya memberanikan diri menemui Pak Tinus, lalu saya sampaikan maksud saya bertemu Romo Bimo untuk minta sakramen tobat.” Ungkap Pak Gudril sambil meraba dan mengusap-usap foto Pak Tinus.
“Pak Tinus itu seorang sahabat sejati Mas, bahkan senasib sepenanggungan dengan saya, dahulu dia adalah anggota angkatan darat berpangkat letnan, lalu dia difitnah demi kepentingan politik internal dan akhirnya desersi dan menjadi pembunuh bayaran.” Lanjut Pak Gudril dengan mata berkaca-kaca. “Dia menjalani hukuman selama 10 tahun sebagai kriminal di Nusakambangan juga.”

“Pak Tinus selalu berpesan bahwa pintu pondok kosteran terbuka lebar untuk saya jika saya selesai menjalani hukuman.”

“Apakah Bapak setelah selesai menjalani hukuman langsung ke sini, Pak ?” tanyaku ingin tahu.

“Tidak Mas, saya kembali ke Jakarta untuk melihat rumah saya.” Jawab Pak Gudril singkat.

“Kembali ke rumah, saya pikir akan menemui kondisi yang menyedihkan, kotor dan berdebu, tetapi apa yang saya temui membuat saya tercekat dan terjatuh lemas.” Lagi-lagi sejalur airmata turun.

“Rumah saya tetap bersih rapi walaupun di depan berdiri sebuah warung makan kecil yang sangat ramai.”

“Lalu ada suara memanggil saya dari dalam warung, ‘Pak Luk, Pak Luk, saya di sini,’ kemudian saya mendatangi warung dan saya lihat Mbak Sri pembantu saya menyambut dengan wajah gembira.”

“Saya langsung bersujud di kakinya Mas, saya ciumi kakinya seperti saya mencium kaki ibu saya sendiri, sebab dia adalah orang setia kedua setelah ibu saya.”

“Saya tidak bisa membayangkan orang dengan kesetiaan begitu besar menunggui tuannya yang hidupnya bejat sampai masuk penjara, dia sudah mengikuti saya sejak umur tigabelas tahun, sejak saya kaya raya sampai jatuh miskin, lalu ketika saya jadi bejat dia tetap mengikuti saya dalam pengabdian yang diam, akhirnya saya hanya bisa bersujud di kakinya.”

Tiba-tiba dari luar terdengar suara memanggil Pak Gudril, Pakne, ki lho dhahar siangmu, pesenmu pete goreng sambel trasi yo tak gawake (Pak, ini lho makan siangmu, permintaanmu pete goreng dan sambal terasi ya saya bawakan), “ suara yang empuk dengan logat khas Jogjakarta yang halus, berbeda dengan logat Banyumasan yang meledak-ledak.

Kulihat seorang ibu paruh baya yang samar-samar sering aku lihat di gereja, seorang ibu dengan badan agak gemuk pendek, wajah biasa saja namun cukup manis.

“Kenalkan Mas, ini isteri saya Yohanna Sri Wilujeng Handayani, dia harta pertama saya yang dikembalikan Tuhan melalui Pak Tinus, inilah orang yang saya ciumi kakinya sepulang saya dari Nusakambangan.”

“Sebulan setelah saya pulang dari Nusakambangan, Pak Tinus mampir ke rumah saya dan kami dijodohkan olehnya.”

Halaaah Pakne ki crito opo yo, kok ngoyoworo ngene (halah, Bapak ini cerita apa ya, kok aneh-aneh begini),” sergah Bu Gudril malu-malu.

“Saya pilihkan nama baptis Yohanna untuk dia karena dialah yang telah membaptis kembali kehidupan saya yang penuh kebejatan, Mas.”

“Harta kedua yang dikembalikan Tuhan melalui Almarhum Pak Tinus adalah kepercayaan diri saya akan kemampuan saya dahulu di bidang engineering, dialah yang mengusahakan saya bisa mengajar di STM yayasan sebagai guru laboratorium.” Kata Pak Gudril sembari menunjuk bangunan STM yang berada persis di samping gereja.

“Saya memang tidak kembali sekaya dahulu, tapi sekarang inilah saya menemukan ketenangan hidup saya, terlebih anak adopsi saya sekarang juga sudah melanjutkan ke seminari menengah di Mertoyudan, saya sudah merasa memperoleh lebih dari cukup semua pemberian Tuhan ini, Mas.”

Ajakan Pak Gudril untuk makan siang bersama aku tolak, karena ibu di rumah pasti sudah masak untuk porsi keluarga dan aku tak mau mengecewakan dia. Aku pulang dengan bermacam-macam perasaan, dan hanya satu kesimpulanku Tuhan memang penuh misteri.

Tamat.

(Cerpen ini dipersembahkan untuk Romo Mikhael Sheko Pr. Pastor Paroki Gereja St. Lukas, Pemalang Jawa Tengah)

Catatan:
-Cerpen ini diramu dari pengalaman beberapa orang sejak 25 tahun yang lalu, termasuk pengalaman hidupku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pentjerita-pentjerita Goemoel Djiwa

Mengenai Saya

Foto saya
Blog ini merupakan saranaku untuk menuangkan cerita-cerita pendek yang scene-nya melintas di benak saya. Kisah-kisah di sini kudus/suci dari jiplakan/plagiatan/contekan sehingga jika ada kisah yang sama persis dengan yang saya tuliskan bisa dipastikan membajak/menjiplak/memplagiat dari cerpen saya.