Rabu, 29 September 2010

Gadis Renta Dan Mawar Plastik

Puluhan tahun sudah gadis renta itu setiap sore duduk di atas kursi kayu mahoni peninggalan kakek buyutnya, seperangkat kursi yang dibuat dari batang sanak saudaraku yang lebih tua. Tak pernah sedetikpun dia lepas menggenggam setangkai mawar plastik berwarna marun, dan selalu mengulasi dirinya dengan dandanan yang menurutku agak berlebihan.

Di usianya yang menginjak limapuluh inipun dia masih melakukan hal yang sama seperti ketika dia remaja, menunggu sang pangeran yang telah menanam bunga mawar plastik. Selama beratus-ratus kali dia bercerita tentang pangeran impiannya~sang penanam mawar plastik~ yang tak tergantikan itu sejak dia remaja di usia enambelas; beratus-ratus kali pula kugunakan angin untuk menasihatinya melalui rekahan kering sayap-sayap buahku yang meluruh ke tanah, Namun apalah artinya; dia tak mengerti bahasaku walaupun aku mengerti kata-katanya.

Telah beratus-ratus pemuda dengan berbagai bentuk menawarkan Anggrek, Tulip, Cana, Yasmine, Margot, Bakung, Edelweiss, bahkan mawar ulas marun asli, tapi semuanya kandas oleh mawar marun plastik di tangannya.

Pernah suatu ketika seorang cenayang pembaca gurat daun dan buah yang lewat di dekatku kuluncuri ratusan sayap buah keringku yang berisi kisah-kisah galau sang gadis beserta nasihat-nasihatku. Kuminta dia menyampaikan ungkapku pada si gadis, namun selesai si cenayang membacakan uraian-uraian dari buah keringku si gadis malahan menanggapi:

" Aku tahu tentang nasihat-nasihat itu, Tuan, karena aku selalu menggunakannya untuk menghibur dan membuka wawasan hati sahabat-sahabatku, tapi...nasihat itu tidak berlaku untukku. "

" Jadi sebaiknya Tuan pergi saja, tak ada gunanya Tuan membacakan nasihat dari sebatang pohon mahoni yang sudah lama kuketahui pula." Lanjutnya ketus.

Kini dia masih setia di usianya yang menguzur menanti Pangeran Penanam Mawar Plastik.

Senin, 13 September 2010

MUJIZAT TERAKHIR

Suara dentang mistis lonceng fajar tanda Doa Brevir pagi untuk para pastor pertapa dimulai. Beberapa dari mereka terutama yang sudah sepuh dan angkatan pra Konsili Vatikan II setelah acara Doa Brevir melanjutkannya dengan pendarasan 150 ayat Mazmur lalu Doa Rosario.

Para pastor yang berada di sini memang khusus untuk bertapa, mereka mengabdikan diri kepada Tuhan dengan mendoakan dunia dengan tak kunjung putus. Aku sendiri sudah tahun ketiga berada di sini, di surga doa ini sebagai salah satu koster. Pertapaan di tepi kota Semarang inilah yang menentramkan hatiku yang tergilas roda-roda baja kehidupan. Biarlah kebahagiaanku bukan seperti pangeran-pangeran dongeng.

Sebulan ini tugasku adalah menyabit rumput untuk sapi-sapi ternak yang dipelihara oleh biara ini. Kami menyediakan beberapa petak tanah yang diolah untuk ditanami rumput gajah bersama penduduk desa yang juga kebanyakan petani dan peternak sapi. Kamipun bekerja sama dalam penjualan hasil-hasil ternak kami dengan penduduk desa.

Sudah sebulan ini kegiatan menyabit rumput kujadikan sarana meditasiku untuk semakin merasakan pelukan kehangatan Tuhan di bawah mentari; semalam kubuat satu catatan pendek dari Mazmur 136:1-9 untuk kudaraskan dalam cengkok ura-ura tembang Jawa sebisaku:

'Bersyukurlah kepada Tuhan sebab Ia baik ! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setiaNya

Bersyukurlah kepada Allah dari segala ilah ! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setiaNya.'

Baru dua ayat kudaraskan tiba-tiba kudengar tangis tertahan seorang ibu paruh baya, sambil terduduk di pematang ladang rumput ini; disebelahnya tergeletak seorang pemuda kurus kering dengan tatapan kosong kedua tangan dan kakinya dibebat perban yang mulai kecoklatan dan dikerumuni lalat. Badan ibu itu tampak kuyu tak terawat dan pemuda yang disebelahnya bertelanjang dada dengan hanya bercelana pendek saja.Kudekati mereka kalau-kalau mereka membutuhkan pertolonganku, sembari untuk memenuhi rasa ingin tahuku.

"Maaf, Bu, ibu sakit ?"

"Apakah pemuda ini bersama Ibu ?" Tanyaku kepada mereka, sambil kulihat keadaannya.

"Mboten, Nak, kula mboten sakit, ingkang sakit lare niki, anak kula (tidak, Nak, saya tidak sakit, yang sakit anak ini, anak saya)" Jawab ibu itu dengan suara tertahan.

"Anak saya sudah tiga tahun keadaannya begini. Saya sudah bingung harus berbuat apa, Nak." Lanjut ibu itu dalam isak tangisnya.

"Kami ke sini karena saya tahu di sini ada pertapaan para romo Trapist."

"Dulu anak saya ini adalah lulusan seminari tinggi."

Lalu aku menggamit pundak ibu itu dan memintanya untuk mengikutiku.

"Mari, Bu, ikut saya, kebetulan saya koster di pertapaan itu." Kudekati pemuda yang tergeletak itu, lalu kugapai tangannya, kutarik hingga berdiri, kulingkarkan lengannya di leherku lalu kupapah dia.

Si ibu mengikuti kami dari belakang. Kutinggalkan seikat besar rumput gajah yang sudah kukumpulkan itu di ladang.

Letak ladang rumput gajah itu berada di kaki bukit kira-kira 1 km di bawah biara. selama perjalanan pemuda yang kupapah lebih banyak diam sambil sesekali berbisik dengan suara berat:

"Eloi Eloi lema azvatani." Satu petikan refren Mazmur 'Rusa di Kala Fajar' dari Raja David dalam Bahasa Ibrani.

Selama aku memapahnya sesekali dia juga berbisik berat:

"Bapa, ke dalam tangan-Mu kuserahkan rohku."Perjalanan dari ladang ke biara dengan memapah pemuda ini sungguh membawaku dalam kilasan-kilasan Jalan Salib Kristus, aku serasa menjadi Simon dari Kirene, dan sang ibu adalah seumpama Bunda Maria. Beberapa kali pemuda sakit ini jatuh terantuk bebatuan bukit, yang sering menarikku hingga terhuyung. Sungguh aku dapat merasakan perasaan Simon ketika dia harus memapah Yesus beserta salib-Nya. Kira-kira satu setengah jam kami lalui perjalanan itu dengan tertatih-tatih. Sesampai di halaman biara Romo Pram yang saat itu sedang menyapu halaman melihat kami dan langsung membantuku memapah si pemuda ke serambi tamu.

Romo Pram lalu menanyaiku perihal pemuda yang kupapah tadi,

"Mas Hari, pemuda ini kenapa ?"

"Apa ada perkelahian di bawah bukit ?"

Kupandangi pemuda itu, wajahnya sungguh memelas penuh bekas luka demikian juga punggungnya, penuh luka seperti sisa cambukan. Lalu kujawab pertanyaan Romo Pram,

"Bukan Mo, dia saya temukan di ladang rumput gajah di lereng bukit bersama ibu ini." Jawabku sambil menunjuk ibu tua tadi.

"Bu, istirahatlah di tempat kami."

"Kami akan menyiapkan sekedar bilik kecil untuk ibu dan merawat anak ini." Kata Romo Pram dalam iba, lalu Romo Pram menyuruhku untuk mempersiapkan bilik tamu bagi si ibu dan dia hendak memapah si pemuda kedalam ruang perawatan.

Tiba-tiba ibu tua yang sedari tadi terdiam, menjawab:

"Dia harus selalu di dekat saya Romo, sedikit saja pandangannya agak lama dia tak melihat kehadiran saya dia akan berteriak-teriak dan menangis, bahkan mungkin memberontak dari pegangan."

"Sebaiknya dia selalu di dekat saya."

"Bahkan saya sendiri yang harus memandikan dan menyuapi makan untuknya."

"Dia hanya mengenali saya, Mo."Jelas ibu itu dengan pandangan menerawang.

Mendengar penjelasan ibu itu, Romo Pram hanya bisa melongo dan akhirnya membolehkan si ibu untuk mengikuti ke ruang perawatan. Kemudian aku membantu si ibu memandikan anaknya. Aku persiapkan beberapa peralatan untuk membalut luka, obat anti septik dan dua buntal besar perban untuk mengganti bebatan luka di tangan dan kakinya. Kubuka semua bebatan perban itu dengan rasa penasaran, kiranya luka semacam apa yang tertoreh di situ; seruak kaget menyambangi perasaanku demi melihat kesemua luka itu, empat luka yang menembus telapak tangan dan kakinya menganga di hadapanku. Ahhh, luka-luka mirip luka-luka Salib Kristus. Rasa penasaranku memuncak dan berujung pertanyaan pada si ibu,

"Ini luka karena apa, Bu, kok mirip luka-luka Gusti Yesus ?"

Rupanya si ibu sudah mengamatiku sejak aku membuka luka-luka anaknya, dan dia pun sudah sudah menduga akan pertanyaanku. Senyum getir mengulas di bibirnya yang penuh guratan-guratan derita tanda sedih lalu dia menjawabku,

"Luka-luka itu dibuatnya sendiri, Nak."

"Luka itu bukan anugerah semacam yang terjadi pada Romo Pio atau St. Fransiskus Asisi."

"Dia melukai dirinya sendiri karena ada beberapa peristiwa mengecewakan yang menimpa dirinya."

Aku menjadi tak enak hati mendengar penjelasan ibu ini. Hampir lupa aku berkenalan dengan mereka karena terbuai oleh keheranan atas peristiwa yang baru kualami sejak pagi tadi, lalu kumulai perkenalan dengan permintaan maaf terlebih dahulu,

"Maaf, Bu, sejak dari lereng bukit tadi kita belum berkenalan."

"Nama saya Hariadi."

"Yang menyambut kita di depan tadi adalah Romo Pramono."

"Saya Elisabeth Rukmini."

"Anak saya bernama Ignasius Tejo Sudibyo."

Hari itu aku minta izin kepada koordinator koster dan pastor kepala rumah tangga untuk ikut merawat Ignasius Tejo Sudibyo secara intensif bersama Bu Rukmi. Agak sulit memang memohon izin merawat itu mengingat aku sebenarnya telah dijadwalkan untuk tugas utama memotong rumput gajah selama tiga bulan, namun Bu Rukmi turut memperkuat argumenku bahwa Sudibyo sudah mengenal dan percaya padaku, akhirnya pastor kepala rumah tangga dan koordinator koster memperbolehkanku. Seminggu sudah mereka berdua tinggal di pertapaan ini dan Bu Rukmi memilih Romo Pram menjadi pembimbing rohaninya selama di sini. Pertanyaan-pertanyaan atas rasa penasaranku pada sepasang ibu dan anak ini semakin berat menggelayuti benakku. Pada suatu sore selepas Doa Angelus Domini, aku memberanikan diri untuk bertanya banyak hal pada Bu Rukmi mengenai asal-muasal sakitnya Sudibyo, ketika kebetulan kami bersama-sama bertugas di dapur.

"Maaf, ya Bu, kalau ibu berkenan boleh saya tahu apa penyebab sakitnya Sudibyo ?"

"Mengapa dia sampai dia menyakiti dirinya sendiri sedemikian rupa, Bu ?"

Ibu Rukmi menghentikan sejenak kegiatan membenahi dapur, pandangan yang tadinya tertuju pada peralatan dapur kini berubah menerawang dan bibirnya sedikit tergetar karena seruak kesedihan mencuat di sela-sela ketegarannya.

"Kisah asal muasalnya panjang, Nak."

Lalu Bu Rukmi menarik nafas panjang beberapa kali, dan dua titik air mata meluncur dari sudut-sudut matanya.

"Sakit jiwanya dimulai sejak tiga tahun lalu setelah kematian isterinya yang direnggut oleh penyakit aneh, kata dokter penyakit itu disebut lupus." Sekali lagi Bu Rukmi menghela nafas.

"Tapi penyebabnya adalah bertahun-tahun sebelum itu, sejak masa kecilnya."

"Dia sebenarnya adalah anak adik perempuan saya, Nak, jadi dia sebenarnya keponakan saya."

"Sudibyo adalah anak hasil perkosaan."

Sampai di sini suara Ibu Rukmi menggetar tertelan.

"Suatu hari Ibunya Sudibyo pulang waktu awal fajar dan hari masih remang-remang, setelah dia tugas malam di rumah sakit. Saat itulah terjadilah peristiwa itu di dekat kamar mayat rumah sakit."

"Setelah peristiwa itu dia mengundurkan diri dari rumah sakit dan menjadi sangat pendiam, berdoa pun tidak mau apalagi ke gereja."

"Kesehatannya turun drastis selama mengandung Sudibyo, dan akhirnya meninggal setelah melahirkan."

"Saya dan almarhum suami saya yang memberi nama Tejo Sudibyo dan merawat bayi itu."

Aku tercenung mendengar kisah itu, satu kisah tragis yang tak bisa kubayangkan.

"Selama masa kecilnya Sudibyo banyak mengalami tekanan dari teman-teman sepermainannya dan beberapa guru SD-nya."

Lanjut Ibu Rukmini dalam kegetirannya.

"Dia sering diejek sebagai 'anak haram palang pantek' oleh anak-anak sebayanya."

"Sudibyo kecil tumbuh sebagai anak pendiam, yang membuat kami semakin sayang adalah kemampuan dia menjadikan ejekan teman-temannya sebagai kekuatan untuk maju."

"Nilai-nilainya semasa sekolah dari SD hingga STM tidak pernah turun dari lima besar."

"Namun tetap hati kecilnya merasakan kepahitan yang mendalam, itu dia ungkapkan setelah tiga tahun bekerja, dan di-PHK karena memukuli salah satu rekan kerjanya, hanya karena satu gurauan."

"Kegalauan hatinya akan hidup manis yang dijanjikan Tuhan bagi yang setia kepada-Nya, membawa Sudibyo muda untuk mengikuti pendidikan di seminari."

"Dia lulus sarjana filsafat dan teologi dengan nilai akademis yang cukup tinggi, namun belakangan baru saya tahu jika ordo menahan tahbisan imamatnya, karena mentalnya labil."

Bu Rukmi terdiam cukup lama, tiba-tiba terdengar suara Romo Pram dari luar mengajak kami ibadat malam. Kami bertiga menyiapkan peralatan ibadat untuk malam itu.Seperti biasanya ibadat malam menggunakan darasan lagu gregorian yang selalu mampu mendinginkan hatiku dari memori keseharian yang mencabik-cabik jiwaku, suasana kontemplatif yang selalu terbangun membuatku sering enggan jika ibadat ini selesai.

"Cinta akan rumah-Mu menghanguskan daku !"

"Cinta akan nama-Mu meremukkan daku !"

Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari Sudibyo dengan mengerang. Memang sudah tiga hari ini Sudibyo diperbolehkan untuk mengikuti setiap ibadat, setelah dinilai sikapnya yang tidak lagi liar. Malam itu aku dan Bu Rukmi tidak menyelesaikan ibadat malam kami bersama para romo, tapi kami memapah Sudibyo ke kamarnya.

Bu Rukmi berusaha menenangkan Sudibyo yang berkali-kali mengerang dengan teriakan yang sama; berulang-ulang Bu Rukmi mengelus kening dan menciumi kepala Sudibyo. Adegan ibu-anak itu membuatku trenyuh dalam haru dan mengingatkanku pada arca 'Pieta' karya Michelangelo. Kuberanikan diri untuk bertanya lagi tentang Sudibyo kepada Bu Rukmini.

"Bu Rukmi, kok Sudibyo ketika berteriak sering mengutip Kitab Suci ?"

Bu Rukmi lalu melanjutkan kisahnya yang terpotong tadi sore.

"Setelah mundur dari seminari anak saya ini menjadi katekis dan asisten laboratorium."

"Kehidupan Sudibyo biasa saja, namun caranya mengajar agama yang mudah dimengerti seperti seorang pastor pengkhotbah membuatnya banyak disukai dan sangat berharga bagi paroki kami."

"Tiga tahun setelah dia menjadi katekis dia bertemu dengan salah seorang novisiat susteran yang diperbantukan mengajar musik."

"Theresia, panggilannya, nama lengkapnya Theresia Niken Puspandari, singkat kata mereka saling jatuh cinta, dan Theresia keluar dari novisiat lalu mereka menikah."

"Usia pernikahan mereka, hanya satu setengah tahun." Sampai di sini Bu Rukmi tampak tak kuat lagi menahan sedu-sedan tangisannya karena mengenang kisah hidup si anak semata wayang.

"Penyakit aneh yang di sebut lupus itu muncul pada saat Niken atau Theresia menginjak masa kehamilan anak pertama mereka."

"Nyawa Niken beserta bayinya tak tertolong ketika masa melahirkan."

"Sejak saat itu semua keceriaan dan kecerdasan Sudibyo ikut mati bersama kematian isteri dan anaknya."

"Pikirannya jadi seperti hilang setelah peristiwa itu, sering ketika mengajar dia hanya berdiri di depan kelas dalam diam dengan tatapan kosong."

"Akhirnya pastor dan dewan paroki meminta dia beristirahat untuk waktu yang tak ditentukan."

"Perlahan-lahan Sudibyo semakin tenggelam dalam kesedihan; puncaknya adalah ketika dia membuat altar di kamarnya lalu menganyam mahkota duri dari batang pohon bougenville, membuat cambuk kecil dan membawa paku serta martil."

"Selama tiga tahun dia mengurung diri di kamarnya dan makan hanya dua hari sekali itupun harus diletakkan di depan pintu kamarnya."

"Luka-luka paku kaki-tangan yang ada pada tubuhnya dibuatnya tiga bulan yang lalu, ketika hari peringatan Jumat Agung. Sebelumnya dia hanya mengenakan mahkota duri dan mencambuki tubuhnya sendiri." Ungkap Bu Rukmi sembari menghela nafas panjang beberapa kali.

Aku mencoba memahami kisah yang diceritakan Bu Rukmi, namun aku merasa ada kejanggalan dari kisah ini.

"Ibu tidak melarang Sudibyo untuk melakukan hal itu, Bu ?" Tanyaku karena merasa aneh atas sikap Bu Rukmi.

"Aduuh, Nak, saya sudah bekali-kali melarangnya, dan pasti disambut dengan mogok makan, atau berlari-lari keluar tanpa pakaian."

"Ibu sudah membawanya ke psikiater atau RSJ ?" tanyaku penasaran.

"Sudah berkali-kali, Nak, tapi setelah beberapa bulan dia tampak tenang dan sembuh lalu bisa saya bawa pulang, tapi beberapa minggu kemudian kambuh lagi." Jelas Bu Rukmi dengan pandangan menerawang silam. Aku hanya bisa menghela nafas berkali-kali mendengar kisah ini, lalu aku mencoba mengenang kembali jalan hidupku yang membawaku hingga ke sini. Peristiwa yang paling membuat hatiku getir adalah ketika isteriku yang kunikahi secara sakramentali meninggalkanku bersama anak perempuan hasil hubungan gelap dengan pacarnya terdahulu. Aku tidak habis pikir seorang ibu tega meninggalkan anaknya sendiri hanya untuk mengejar kesenangan. Aku menyayangi anak isteriku ini sebagai anak kandungku, Brigita Setyawati namanya, dia sekarang baru menginjak 7 tahun, sekarang dia tinggal bersama ibuku di Ambarawa. Semalaman aku dan Bu Rukmi menemani Sudibyo sembari mohon didoakan oleh Bunda Maria dan Para Kudus demi kesembuhan Sudibyo. Luka-luka bekas paku di kedua tangan dan kaki Sudibyo rupanya tidak juga membaik, luka-lukanya masih sering mengeluarkan darah segar. Keesokan harinya satu kejutan menggembirakan terjadi untukku, ibuku dan anakku Setyawati mengunjungiku.

"Bapaaaaak," teriak Setyawati memanggilku sambil berlari-lari dalam langkah-langkah kecilnya, di tangannya membawa seikat besar rangkaian Bunga Sedap Malam.

Aku berjongkok sambil menanti langkahnya terhenti tepat di depanku, lalu kupeluk erat dan kuciumi dia untuk menumpahkan rasa kangenku selama tiga bulan tidak bertemu dengannya.

Lalu setapak hangat mengusap bahuku, telapak yang telah membesarkanku, dan mengawal hidupku.

"Anakmu kuwi lho, dumeh liburan sekolah nggremeng wae neng kupingku kepingin ketemu kowe (Anakmu itu lho, mentang-mentang liburan sekolah merengek terus di telingaku ingin menemuimu)"

Kuciumi kaki ibuku berkali-kali begitu lama, dan ini baru kulakukan saat itu.

"Le, aja nganeh-anehi kowe ya, umurku isih dawa kok mbok gawe ngene sikilku ? (Nak, kamu jangan aneh-aneh ya, umurku masih panjang kok diperlakukan begini ?)" Sambut ibuku sambil berkelakar dan membangunkanku, lalu kuminta Setyawati meletakkan rangkaian bunga bawaannya di ruang tamu pertapaan.

Kuperkenalkan Ibuku dengan Bu Rukmi dan Sudibyo yang kebetulan saat itu sedang duduk di beranda pertapaan untuk menjemur Sudibyo di bawah matahari pagi.

Ketika melihat Setyawati anakku, Sudibyo tampak sedikit terhenyak matanya mulai tampak menunjukkan kehidupan dan linangan air mata menggenang di matanya. Lalu aku kenalkan Setyawati kepada Bu Rukmi dan Sudibyo, dengan sigap Setyawati menciumi tangan mereka berdua. Tiba-tiba Sudibyo memeluk Setyawati dan menangis,

"Anakkuuu, huhuhu, kemana saja kamu selama ini ?"

Setyawati kaget karena dipeluk oleh Sudibyo sedemikian rupa dan dia pun menangis. Aku mencoba menenangkannya supaya tidak menangis. Selama lima hari Ibuku dan anakku berencana menginap di pertapaan ini atas permohonan Bu Rukmi setelah melihat sikap Sudibyo terhadap Setyawati. Keakraban cepat terjalin antara Sudibyo dan Setyawati, dan kebersamaan mereka perlahan-lahan membawa kesadaran Sudibyo kembali. Setyawati selalu bercerita kepadaku kalau Oom Dibyo pandai mendongeng.

"Tidak seperti Bapak, kalau bercerita jelek,"

ejeknya padaku pada suatu sore. Saat itu Setyawati sedang bersiap mendengarkan dongeng dari Sudibyo yang biasa diceritakannya sambil duduk di lapangan rumput di samping pertapaan. Selama satu sampai dua jam biasanya mereka di sana aku, Bu Rukmi dan ibuku sesekali mengamati mereka berdua.Tiba-tiba terdengar teriakan dan tangisan Setyawati dari lapangan rumput.

"Mbah Putriiiii, Bapaaaaak, Oom Dibyo pingsan !"

Kami bertiga secepatnya berlari menuju lapangan untuk melihat hal yang terjadi. Kami lihat Sudibyo tergeletak dengan posisi tangan terentang, aku lalu mengangkat Sudibyo untuk dibawa ke kamarnya.Di kamar perawatan, Setyawati menceritakan peristiwa yang dialaminya ketika dia didongengi oleh Sudibyo sore tadi.

"Tadi Oom Dibyo menceritakan tentang Tuhan Yesus dan pencuri yang bertobat di salib, lalu dia berteriak Eloi-Eloi Sabakhtani, lalu pingsan," berkisah anakku sambil sesenggukan karena kaget dan sedih.

Kami mencoba membangunkan Sudibyo dari pingsannya, lalu setelah Sudibyo sadar Romo Pram mengambil termometer untuk mengukur suhu tubuhnya karena tampak demam, tapi Sudibyo menepisnya dengan gerakan yang lemah.

"Sekaranglah saat terakhirku bersamamu Ibu."

"Terimakasih untuk anakmu Mas Hari, dia telah mengembalikan tahun-tahunku yang hilang, dia adalah mujizat yang hidup dari Tuhan, bolehkah aku menciumnya untuk terakhir kali ?" Tanya Sudibyo dengan nafas tersengal-sengal.

Kuangkat Setyawati dekat kepala Sudibyo, lalu Sudibyo mengecup kening Setyawati yang masih sesenggukan karena sedih. Bu Rukmi tak sanggup berkata-kata hanya linangan airmata yang menggenangi wajahnya. Belakangan kuketahui dari dokter yang saat itu melakukan kunjungan, rupanya infeksi yang dialami Sudibyo sudah menjalari tubuhnya sedemikian jauh hingga organ dalam tubuhnya. Setelah mencium tangan Bu Rukmi, Sudibyo berucap lemah:

"Sudah selesai."

Lalu Sudibyo menarik nafas panjang, kemudian kepalanya terkulai.

Tangis Bu Rukmi pecah saat itu juga. Sekali lagi kusaksikan adegan 'La Pieta' di sini, dan airmataku tak kuasa kubendung dari jatuhnya.

Malam itu kami lalui dalam larut silensium spontan, setelah melakukan misa requiem untuk Sudibyo. Lalu Romo Pram berbisik kepadaku:

"Pelajaran hidup kali ini Mas Hari, bahwa mujizat itu tidak harus spektakuler, anakmu telah membawa mujizat kesadaran dari Tuhan di hari-hari terakhir Sudibyo."

Kamis, 09 September 2010

GEGURITAN UNTUK NDARA PUTRI RETNO SULISTYANINGSIH (versi komplit)

Tahun itu adalah tahunku yang kedua di bangku perguruan tinggi, ya memang kuakui banyak kesulitan yang kualami sungguh sangat berbeda dengan masa-masaku dahulu di SMA, di perguruan tinggi aku lebih dituntut untuk mandiri. Padahal pada waktu pertama pengumuman kelulusan UMPTN harapanku sangat membuncah karena diterima sebagai mahasiswa sebuah perguruan tinggi negeri yang sangat dikenal masyarakat, ya, aku diterima di Universitas Gadjah Mada Jurusan Fisika Program Studi Elektronika dan Instrumentasi.

Ayahku hanya seorang sopir pribadi di tempat keluarga R.Ng Nikolas Sunaraji Yurjis. Sebuah keluarga 'sudagaran' atau 'wong kalang' di daerah Gondomanan, nama marga keluarga ini memang terdengar aneh di telinga. Menurut cerita keluarga ini mempunyai nenek moyang yang berasal dari Tanah Turki, keluarga Yurjis, lalu salah satu buyutnya merantau ke Tanah Jawa dan sampai di Keraton Kartasura Hadiningrat yang akhirnya terbagi menjadi Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta Hadiningrat. Buyut kel
uarga Yurjis lebih dekat kepada Keraton Ngayogyakarta dan menjadi pejabat di situ. Keluargaku turun temurun jadi pengemudi di keluarga Yurjis ini. Kakek moyangku dahulu adalah sais dan pekathik (pencari rumput) di keluarga ini, karena ditugasi oleh keraton. Ayahku berkeinginan supaya anak-anaknya tidak melanjutkan profesi macam ini, kakakku perempuan telah berhasil menjadi seorang dokter dan sedang mengambil spesialisasi anak. Namun karena memang sudah titah tradisi kakakku pun tetap harus bekerja untuk keluarga Yurjis tetapi sebagai dokter keluarga. Den Mas Sunaraji sebenarnya risih dengan titah tradisi ini, hingga dia sering mengingatkan bahwa Sukarti kakakku itu adalah dokter dan punya kesempatan luas.

Sukarti kakakku ini sangat akrab dengan Den Ayu Retno Sulistyaningsih yang seumur denganku, keakraban mereka berdua terjadi karena Den Ayu Retno juga mengambil jurusan di fakultas kedokteran UGM. Mbakyu Sukarti bisa dibilang dosen bayangan atau dosen luar biasa bagi Den Ayu Retno. Kecantikan Den Ayu Retno sangat terkenal di kalangan teman-temannya sefakultas maklumkah paras Turkinya masih samar-samar tampak. Sering mereka bertandang ke rumah Den Sunar dengan alasan belajar bersama, tapi Den Sunar selalu menyiasatinya dengan memanggil Mbakyu Sukarti untuk mengajar mereka, dan aku sering nyengir kalau melihat Den Sunar menertawakan tingkah teman-teman puterinya ini.

Sebenarnya kecantikan Den Ayu Retno sudah memikatku sejak lama, sejak kami sama-sama di SMA. Kami berdua sama-sama lulusan SMAN 3 Yogyakarta, salah satu sekolah negeri yang cukup ketat dalam seleksi penerimaan. Sebagai keturunan sais dan pekathik aku tahu diri untuk tidak menjadi terlalu akrab dengan dia, apalagi aku jauh dari tampan. Sungguh tak berani aku melangkah lebih jauh, aku hanya menyimpannya di relung terdalam perasaanku.Den Ayu Retno adalah pribadi yang grapyak (ramah) dan semanak (bersahabat) serta prigel (lincah) ditambah dengan kecantikan yang seperti bunga yasmin sering membuat degup jantungku mengencang, terlebih ketika dia menyapa, dhuh Gusti merdu nian suaranya, lagipula dia sering menjadi solis soprano jika di Gereja, semakin membuatku kagum.

Teriakan marah Den Sunar membuyarkan lamunanku;
"Retno, pertimbangkan kembali keputusanmu untuk keluar dari kedokteran dan memutuskan masuk biara ! Rama tidak setuju !"

"Kanjeng Rama mohon mengerti kalau ini bukan semata-mata karena keinginan, tapi ada yang menarik-narik hamba dari dalam kalbu." Ujar Den Ayu Retno dengan halus memberi pengertian kepada ayahandanya.

" Lalu untuk apa dahulu kamu memilih fakultas kedokteran jika akhirnya maumu cuma begini !! " ucap Den Ngabehi Sunaraji dengan nada mengeras.

" Saya akui Kanjeng Rama, dulu saya mengagumi Mbak Sukarti yang saat itu sedang menyelesaikan jenjang koas (co-assistency) untuk meraih gelar dokter. Itulah yang membuat saya berusaha keras untuk dapat memasuki fakultas kedokteran. "

" Nah, itu kamu akui, apa kamu tidak merasa sayang meninggalkan satu hal yang kamu usahakan dengan serius ? " kata Den Ngabehi Sunaraji melembut.

" Tapi Rama....sebenarnya keinginan itu sudah ada sejak lama, sejak saya dulu masih di SMP susteran. Saya selalu kagum dengan pengabdian para suster di sana kepada Tuhan. " Lanjut Den Ayu Retno hendak menyanggah ayahnya.

" Pokoknya Rama tidak setuju dengan niatmu keluar dari kedokteran untuk menjadi biarawati. Titik !! " Bentak Den Ngabehi Sunaraji sambil bergegas meninggalkan putrinya yang terduduk tunduk di lantai pendapa.

Aku yang sedari tadi di depan pendapa sambil mencuci mobil Den Ngabehi memberanikan diri mendekati Den Ayu Retno. Aku beringsut perlahan dengan jalan jongkok seperti kalau akan menghadap Kanjeng Sultan, maksudku sedikit melucu supaya hati Den Ayu Retno sedikit terhibur.

" Ngapa kowe laku dhodhok kaya ngono Sis ! Ora lucu (Ngapain kamu berjalan jongkok begitu Sis. Tidak lucu) !!!" Bentak halus Den Ayu Retno dalam sesenggukan tangisnya.

" Sampun ta Den Ayu, sampun dipun galih kanthi sanget punapa ingkang dipun ngedikaaken Kanjeng Rama kala wau. (Sudahlah Den Ayu, jangan dipikir terlalu dalam apa yang diucapkan Tuan Ayahanda tadi.) " Ucapku perlahan untuk menenangkan Den Ayu Retno yang sedang kecewa dengan ayahandanya.

" Ealaaah Sis, Siswoyo, gaya bicaramu kok jadi seperti sandiwara kethoprak to ? " Sambut Den Ayu Retno dengan tersenyum simpul, walaupun masih tersisa air mata di sudut-sudut matanya.

" Lagipula sekarang kan tidak ada siapa-siapa di sini kok kamu nyebut aku masih pakai den ayu, ihhh, risih tahu !!! " lanjut Den Ayu Retno sambil menusuk-nusuk perutku yang lebar dengan jari telunjuknya yang lentik.

Aku senang melihat senyum indah itu mengembang kembali, bahagia rasanya melihat rona paras Den Ayu Retno beralih gembira. Kesempatan itu kugunakan untuk membacakan geguritan yang beberapa waktu lalu kutulis;

Jemparing angkasa hambesut bayu
Lelimpungan ngiring tyasing rahsa
Hanglelajer hamikut surasaning diyu
Hamuput karep jangkaning rubeda
Lembah manah tuking samodra edi

Gegayuhan suci lumantar jembar atma
Katresnan jati pepesthening dumadi
Nanging pedhut asmara milut kang nyata

(Busur angkasa menarik angin
Melesat mengawal kesungguhan rasa
Menjalar merangsek keinginan buruk
Menghabisi niat ranah keburukan

Kerendahan hati sumber samudera keindahan
Kehendak suci melalui luas jiwa
Cinta sejati adalah kepastian hidup
Tapi kabut asmara menutupi yang nyata)

" Maksudmu apa, Sis ? " Tanya Den Ayu Retno dengan tatapan curiga.

" Maksudku begini lho Ret, apakah keinginanmu menjadi biarawati itu sudah kamu pertimbangkan masak-masak, apakah sudah kamu endapkan benar di dalam pikiran dan perasaanmu, bisa saja itu hanya merupakan keinginan sesaat karena tertarik melihat satu keindahan saja, seperti asmara yang hanya mengenal ganteng atau cantik saja." Ungkapku pelan sambil kutatap paras cantiknya.

" Aahh, kamu sama seperti Kanjeng Rama ! " Sergah Den Ayu Retno.

" Hadhuuh, bukan begitu bendaraku yang cantik, aku hanya memberi masukan saja. Bukankah lebih baik menimbang secara mendalam sebelum memustuskan ? Keputusan semacam ini berat lho Den, seperti memilih cinta sejati." Lanjutku mencoba menenangkan Den Ayu Retno.

" Kamu naksir aku ya Sis ? " Tiba-tiba Den Ayu Retno melontarkan satu pertanyaan yang membuatku tersipu-sipu.

Pandangan Den Ayu Retno menatap tajam ke arah wajahku, menyelidik hingga jauh.

" Bu...bu...bukan begitu Den Ayu, kawula mboten tata menawi ngidamaken panjenengan (saya tidak pantas jika menginginkan Anda)." Jawabku terbata-bata.

Lalu Den Ayu Retno merebut kertas berisi torehan geguritanku;
" Geguritanmu apik, kanggo aku wae yaa..! (puisimu bagus, buat aku saja yaa..) "

Itulah sepenggal kisah dari 20 tahun lalu di masa-masa remajaku yang selalu segar dalam ingatanku hingga kini.Aku sedang menikmati sejenak istirahat siang di sela-sela kesibukanku sebagai technical after sales coordinator dari salah satu produsen instrumen elektronik digital Jerman.

Sudah seminggu ini aku harus turun tangan sendiri membenahi gangguan jalur sistem PLC (Programmable Logic Controller) yang terhubung pada DCS (Distributed Control System) dari salah satu perusahaan penambang emas di Pulau Papua. Pekerjaan ini sudah kujalani selama 10 tahun tapi belum juga aku menguasainya dengan sempurna karena teknologi yang selalu berkembang.

Selagi aku mencoba membuat perkiraan teknis akan kegagalan dan gangguan sistem sambil menikmati sedikit bubur sagu, kulihat sekelebat sosok perempuan yang kukenal dengan pakaian layaknya seorang dokter, namun dia menggunakan kerudung khas seorang biarawati.

Kuamati tingkahnya yang saat itu seperti sedang terburu-buru. Setelah agak lama aku yakin dialah Raden Ayu Retno Sulistyaningsih. Lalu aku dekati dia yang sedang fokus pada apa yang dilakukannya, kucoba menyapanya;

" Den Ayu Retno Sulistyaningsih, benarkah ini Anda ? "

Terhenyak biarawati itu mendengar sapaan dan pertanyaanku, lalu dia menengok sambil mengernyitkan dahi:
" Bapak siapa ? "

" Den Ayu mungkin lupa kepada saya, tapi saya takkan melupakan Den Ayu." Jawabku setelah yakin benar bahwa biarawati itu adalah Den Ayu Retno Sulistyaningsih.

" Rupanya Den Ayu jadi juga untuk menjalani hidup sebagai biarawati sejak pertengkaran terakhir dengan Ayahanda Den Ayu, Den Ngabehi Sunaraji." Lanjutku memberanikan diri sekaligus untuk menyegarkan ingatannya.

" Aaahh, kowe Siswoyo ta (kamu Siswoyo kan) ? "

" Akhirnya Den Ayu ingat juga siapa saya. "

" Maaf, Sis aku di sini dikenal sebagai Suster Angelina, kamu ingat kan nama baptisku Angelina ? "
" Iya, saya ingat. Suster dalam rangka apa kok tiba di sini, di perusahaan penambangan ini ? " Tanyaku penasaran.

" Tadi ada penduduk lokal yang terlukai oleh peralatan berat perusahaan ini, tapi kami kekurangan obat-obatan, pula peristiwa itu menjadi tanggung jawab perusahaan ini, maka kami meminta fasilitas pengobatan yang ada di sini. Maaf Sis, aku harus bergegas, jika ingin menemuiku tanyakan pada orang-orang di sini tempat Mama Dokter Angelina, mereka akan menunjukkan tempatku." Kata Den Ayu Retno bergegas bahkan setengah berlari meninggalkanku.

Kuikuti langkah-langkah cepat Den Ayu Retno atau yang lebih dikenal sebagai Mama Dokter Angelina atau Suster Angelina yang meninggalkan ruangan ini dengan pandanganku.

Aku ditugaskan di Papua ini selama 3 bulan, saat ini baru menginjak akhir bulan pertama dan tahap terakhir gangguan yang tersulit harus kuselesaikan, namun konsentrasiku terpecah sejak bertemu Den Ayu Retno hari ini.

Rasa penasaranku semakin besar sejak tak bertemu lebih dari 15 tahun, aku ingin tahu lebih banyak kisah hidup yang dijalaninya selama ini, pula untuk melepas rindu padanya. Tak terlalu lama aku menemukan tempat Retno yang terkenal itu, karena hanya dia dokter satu-satunya yang sekaligus biarawati di sini. Dia ditempatkan di sebuah klinik kecil milik Susteran Puteri Bunda Hati Kudus yang berpusat di Merauke. Dia tinggal di satu paviliun kecil bersahaja di sayap utara klinik bersama tiga suster lain yang berketrampilan sebagai perawat.Hari itu telah lepas senja ketika aku bertandang ke kliniknya, samar-samar kudengar suara-suara nyanyian pujian klasik gerejawi kepada Tuhan yang dinyanyikan oleh anak-anak. Suasana yang remang-remang karena minimnya penerangan akibat listrik hanya disediakan oleh beberapa perusahaan pertambangan membuat alunan pujian itu seolah-olah membawaku ke abad 15.

Ketika aku mengetuk pintu paviliun kudengar suara riuh anak-anak serempak mempersilakan dari dalam.

" Silakan masuk, bapa. "

Retno dengan sigap memperkenalkan aku kepada mereka sebagai saudaranya dari jauh," Ini saudara Mama Angelina anak-anak. "

" Selamat sore bapa saudara Mama Angelina. " Sambut anak-anak itu dengan riuhnya.

Sungguh satu pemandangan yang mampu meluruhkan hati yang keras dan jiwa yang culas jika mengamati keluguan mereka.

" Selamat sore anak-anak," Jawabku dengan mimik wajah kubuat lucu, lalu meledaklah tawa mereka.Aku meminta izin untuk bertemu secara pribadi dengan Retno barang satu hingga dua jam kepada salah satu suster teman Retno, lalu dia mempersilakan aku ke ruang tamu.

" Mereka anak-anak sekitar sini, anak-anak para pendulang emas dari limbah pasir pertambangan. " Ungkap Retno membuka pembicaraan kami.

" Bagaimana kabarmu Sis ? Bagaimana pula kabar Mbakyu Sukarti ? "

" Beginilah aku sekarang, jadi montir elektronik. " Jawabku berkelakar.

" Mbakyu Sukarti sekarang tinggal di Semarang bersama keluarganya. Dia dan suaminya mengembangkan klinik ibu dan anak."

" Kabarmu sendiri gimana Ret ? Semenjak bapakku purna tugas di tempat ramamu, aku tak tahu lagi berita tentangmu. "

" Beginilah aku, setelah selesai kuliah kedokteran aku berpraktek dokter umum sebentar..eee sekitar tiga tahun, lalu aku mengambil spesialisasi internist. "

" Lalu, apa yang membawamu hingga menjadi biarawati di sini, di tanah Papua ? "

" Aku sebenarnya masih novis, belum menjadi biarawati, pendidikanku baru berjalan di tahun kedua, tahun ini. "

" Jika masih novis, kok sudah ditempatkan terpisah dari indukmu di Merauke ? "

" Tenaga ahli kesehatan sangat minim di sini, sementara kebutuhan sangat mendesak, maka dengan pertimbangan kemanusiaan muder provinsialat Merauke memintaku mengemban tugas ini. "

" Lalu bagaimana denganmu Sis, apa yang membawamu hingga ke tanah Papua ? "

" Apa anak dan isterimu tidak bermasalah dengan itu ? Atau mereka di sini juga ? " Tanya Retno kepadaku dengan beruntun.

" Aku sampai di Papua ini, dalam tugas technical service selama 3 bulan. "

" Aku belum berkeluarga Ret, bahkan calon isteri pun belum, beberapa kali masa pacaranku kandas, yang terakhir bahkan sudah sampai uji kanonik, masih gagal juga. Akhirnya aku lebih baik berhenti mencari daripada membuang waktuku untuk satu kegagalan. "

" Kamu kok berubah begitu Sis, dulu kamu adalah orang paling optimis bersama mbakyumu, Sukarti. "

" Apakah kamu sudah tak percaya lagi akan mujizat dan kekuatan doa Sis ? "

" Sesuatu yang tak terukur sebaiknya jangan diikuti, itulah pelajaran kehidupan yang kudapat, Ret. "

" Bukankah Tuhan itu tak terukur, tetapi kenapa kamu masih mengikuti-Nya, Sis. "

" Dalam ukuran ketuhanan tiada yang tak terukur, tapi dalam wilayah kemanusiaan banyak yang tak terukur, Ret. Itulah mengapa aku masih mengikuti-Nya tapi aku mengikuti Beliau sejauh hal-hal yang dapat kuukur. "

" Tapi kami yang berkecimpung di dunia kesehatan sering melihat hal-hal yang tak terukur terjadi. "Pembicaraan kami jadi memanas seperti masa-masa remaja kami dahulu.

Kuakui Retno adalah lawan diskusi yang kritis, sering hampir memuncak ke pertengkaran tetapi akhirnya kami sudahi.Tak terasa pembicaraan panas kami telah berlangsung selama 2 jam, tiba-tiba Retno pamit hendak mengambil sesuatu dari kamarnya, lalu dia keluar sambil membawa secarik kertas lusuh.

" Ini geguritan buatanmu dulu yang aku ambil darimu. "

" Di torehanmu ini kamu menceritakan bagaimana orang harus mampu membedakan mana asmara dan mana cinta sejati. Bukankah baik cinta sejati maupun asmara adalah dua hal yang tak terukur, Sis ? "

" Geguritanmu ini pula yang membuatku mengikuti pendidikan novisiat ini, untuk mencari cinta sejati. " Ucap Retno dengan nada lembut.

" Ahh, sudahlah Ret, itu kan romantika masa remaja, masa-masa hitam-putih, masa dimana seseorang belum mampu membedakan antara mimpi dan cita-cita. " Sahutku pelan.

Aku lalu mohon pamit untuk kembali ke guess house pertambangan.

Selama dua bulan berikutnya aku sering bertandang ke klinik Retno atau Suster Angelina ini. Kenangan-kenangan akan kebersamaan kami dahulu yang hilang perlahan kembali satu per satu. Obrolan-obrolan bersama itu semakin membuka hati kami berdua, hingga Retno bercerita bahwa dia pun sebenarnya mengalami kekeringan jiwa dalam mengikuti pendidikan novisiat susteran, banyak hal yang tidak sesuai dengan impiannya akan kehidupan kontemplatif yang dia dambakan.

Pada salah satu pertemuan kami yang lebih banyak diisi kisah Den Ayu Retno, dia menceritakan kejenuhannya di biara dan beberapa hal yang seharusnya dia rahasiakan.

" Sis, terus terang aku mulai jenuh dengan pendidikan novisiat ini."

" Kenapa Ret ? "

" Aku tak bisa sepenuhnya menjalani hidup kontemplasi, banyak yang membutuhkan bantuanku di sini, bisa dikatakan setiap menit aku harus bergerak untuk menolong mereka. "

" Mungkin ini merupakan ujian untukmu, Ret. "

" Tuhan sedang menguji seberapa besar cintamu pada-Nya."

" Aaah, jawabanmu klise, sama seperti ibu pembimbing rohaniku. " keluh Retno sambil merajuk manja. Jika dia bersikap begini hilang sudah pembawaannya sebagai biarawati, dia kembali seperti Retno yang dulu kukenal.

" Aku sering merasa bersalah kepada orang-orang yang harus kutolong, jika aku harus berlama-lama melakukan ritual doa. "

" Oh Den Ayu Retnoku yang cantik, kejenuhan itu wajar, rasa bersalah pun wajar. Kehidupan doamu mungkin juga ikut membantu mereka yang sedang sakit. "

" Siswoyo, ternyata kamu orang yang plin-plan." Ujar Retno dengan agak kecewa.

" Beberapa waktu lalu kamu pernah berkata kepadaku bahwa kamu hanya mempercayai segala hal yang terukur, lalu mengapa kau katakan kehidupan doaku membantu mereka , bukankah itu tidak terukur ? "

" Doa bagi kita itu memang tidak terukur, tapi bagi Tuhan doa itu terukur terlebih sebagai ukuran akan kepedulian dan ketulusan terhadap sesama kita, Ret. "

" Artinya tidak bisa dijadikan ukuran sebagai pertolongan untuk penyelamatan nyawa bukan ? "

" Memang, karena hanya Tuhanlah yang menentukan hal semacam itu. Itu hak Tuhan. "

" Di sinilah kamu plin-plan, Sis. "

" Aku masih mempercayai bahwa hal-hal yang tak terukur oleh kita, terukur bagi Tuhan. " tegasku kembali.

" Baiklah Den Ayu, jika kamu memang lebih terpanggil menjalani hidupmu sebagai dokter, jalanilah sepenuh hati dengan segenap kekuatanmu, dengan segenap akal budimu. "

" Tapi Sis, aku tidak ingin memperdagangkan kemampuanku sebagai dokter. Aku mungkin tampak sebagai idealis bodoh, mengatakan hal ini, kepadamu. "

" Dirimu adalah gadis tercerdas yang pernah kukenal dalam hidupku Den Ayu. " Pujiku padanya meluncur begitu saja dari mulutku.

" Kamu masih naksir aku seperti 20 tahun lalu ya, Sis ? "

" Sosokmu selalu menempati 'suite' dihatiku Den Ayu...selalu. " Kini jawabanku jauh lebih baik daripada 20 tahun lalu yang hanya mampu menyangkal dengan terbata-bata.

Kami berdua terdiam cukup lama dan saling pandang, meniti rasa di tiap jalur-jalur keinginan hati kami masing-masing.

" Menikahlah denganku Den Ayu, lalu kita buat klinik nirlaba di sini di Papua ini, kita didik anak-anak cerdas di sini dengan ilmu medismu, jadikan mereka tangan-tangan Tuhan yang mampu menolong sesama mereka. " Pintaku sebagai lamaran spontan.

Den Ayu Retno lalu meraih tanganku menggenggamnya erat-erat lalu mengangguk mengiyakan permintaanku.

Malam itu menjadi malam terindah dalam hidupku, malam yang sedikit banyak mengubah pandanganku akan kebaikan Tuhan.

Pentjerita-pentjerita Goemoel Djiwa

Mengenai Saya

Foto saya
Blog ini merupakan saranaku untuk menuangkan cerita-cerita pendek yang scene-nya melintas di benak saya. Kisah-kisah di sini kudus/suci dari jiplakan/plagiatan/contekan sehingga jika ada kisah yang sama persis dengan yang saya tuliskan bisa dipastikan membajak/menjiplak/memplagiat dari cerpen saya.