Senin, 31 Mei 2010

Kisah Sepotong Gwa pao (kue bulan).

Delapan belas tahun lalu Mei Hwa memberiku sepotong gwa pao sebagai tanda peringatan musim menanam di tahun baru, kami menggigit bersamaan kue itu berdua, kemudian dibelahnya kue itu separuh gigitannya untukku dan separuh gigitanku untukknya :"lambang kebersamaan kita", ucapnya sambil mengulurkan potongan itu kepadaku. Delapan belas tahun sudah kue itu di dalam freezerku.

Kulayangkan kembali kenangan 18 th. lalu, kami masih anak-anak bau angkak. Mei Hwa seperti namanya tingkahnya pun seperti dawai-dawai kecapi yang mudah ditingkah perasaan jemari si pemetik. Kini dia tinggal di sebuah kawasan bisnis di Shanghai sebelah utara jembatan pelabuhan Dong Hai bersama suami dan anak-anaknya.


Suatu kali aku pernah ditugasi audit supplier untuk berkeliling daratan Tiongkok selama seminggu, dari Beijing, Shensen hingga Mongolia. Aku diberi tahu alamat terakhirnya di sana, dan aku berniat mengunjunginya untuk sekedar nostalgia di masa muda. Penuh rasa rindu dan penasaran kudial nomor cellphone-nya namun bak tercekat leherku karena di seberang sana yang kudengar adalah suara isak tangis tertahan, dengan ragu-ragu dan terbata-bata kupanggil namanya:" Mei...mei Hwa ?" lalu kudengar jawaban dengan suara isak tertahan, "hao, xue men ni (benar siapa ini)?" aku kurang faham apa yang dia katakan namun ketika dia berkata 'hao' sebagai pembenaran seombak emosi memenuhi dadaku dan lidahku agak kelu. Lalu aku menjawabnya dalam bahasa Tegal bahasa pergaulan kami di masa remaja: "ini aku...ingat gwa pao yang kau jadikan lambang kebersamaan kita".


Isak tertahan itu meledak, menjadi tangisan yang menggaung hati meremas jiwa demi mendengar jawabanku.”Hank itukah kamu ?” tanyanya di dalam tangis, “yak, ini aku”, jawabku dengan suara tertelan. Agak lama kami saling terdiam melumat sunyi. ”Bagaimana kamu bisa sampai ke negeri ini ?” tanyanya memecah kering senyap sembari keheranan,”Oh, aku ada tugas dari kantor untuk melakukan audit engineering.”jawabku, lalu kulanjutkan tanyaku:”Alamatmu masih di Distrik Dong Hai utara kan ?”, “ya...tapi sudah tidak di tempat lama, sekarang aku di tempat kumuh”, jawabnya.”Ok...ok...sekarang sms alamatmu ke cellphoneku, aku akan ke tempatmu sekarang”,”Gak bisa !!!”, jawabnya, ”Kenapa ?”tanyaku terperanjat, ”Penduduk negeri ini sebagian besar buta baca-tulis latin mereka cuma bisa baca-tulis Qan-Zi(Jepang: Kanjikana), mending kamu beritahu alamatmu menginap, aku yang ke tempatmu”, jelasnya, “Oookeee...”, jawabku ragu.”Cepat !”, perintahnya, lalu kuberikan alamatku menginap:”Regal Palace International Hotel di lantai I Shanghai Indoor Stadium”.

Kuulangi lagi menyebutkan alamat tempatku menginap di Shanghai kemudian kami saling berjanji bertemu di hotel, lalu kututup cellphoneku. Kutitipkan pesan kepada resepsionis hotel yang kemampuan Bahasa Inggrisnya sangat pas-pasan; cukup lama aku menerangkan maksudku akhirnya aku minta secarik kertas untuk melukiskan pesanku:’Please, let me know if Mrs. Mei Hwa is coming to the hotel.’
Kubuka bungkusanku yang telah berumur delapan belas tahun, kuamati sepotong gwa pao yang tepinya dihiasi bekas gigitan mulut mungil Mei Hwa ketika remaja. Memang gwa pao itu sudah membeku karena lewat basi. Penasaranku semakin besar jika ingat masa-masa itu, seperti apakah sekarang Mei Hwa ? Apakah dia menjadi perempuan anggun mempesona ataukah seorang perempuan yang lincah dan enerjik seperti masa remaja dahulu ? Ahhhh, ribuan pertanyaan menggantung di benakku.

Dua jam sudah kumenunggu di kamarku sambil menonton acara televisi lokal yang bahasanya sama sekali asing di telingaku, yang kuingat berbeda hanya dua spot iklan Indonesia yang ditranslate ke Bahasa Mandarin; iklan Adem Sari dan Indosat.Akhirnya telepon kamar berdering dan dari seberang resepsionis memberitahu kedatangan Mei Hwa dengan logat Mandarinesse-English.

Kuturuni tangga hotel dengan rasa gundah sekaligus penasaran seperti apakah Mei Hwa sekarang. Ketika sampai di lobi hotel aku celingukan karena terdapat lebih dari enam perempuan yang kira-kira seumuranku. Tiba-tiba terdengar suara perempuan cukup lantang memanggil namaku dalam bahasa yang sangat kukenal:”Hank, Hank aku di sini…”Kaget, senang, bimbang mendengar suara itu. Pelan, perlahan kuikuti suara itu, dan di sudut kiri lobi kulihat seorang perempuan dengan pakaian yang sangat seksi, mungkin terlalu seksi untuk ukuran mataku, baju warna krem lembut tanpa lengan dengan fashion tank top yang cukup ke turun bawah hingga menampakkan sebagian buah dadanya, celana jeans pendek yang terlalu pendek menurut ukuran mataku, hingga menampakkan tiga perempat bagian pahanya. Di antara jemari tangannya terselip sebatang virginian cigarette merk Hong Mei sebuah merk cigarette kelas menengah di China. Kudatangi meja tempat dia duduk lalu aku duduk disebelahnya,”Benarkah kamu Mei Hwa ?”,”yak”, jawabnya singkat lalu dia tanya,”kenapa ?” dengan kembang senyum yang dipaksakan demi melihat mimik wajahku yang seperti orang bodoh memandangi dia. “Aaaahhhh benar kamu Mei Hwa, gimana kabarmu Ahwa ?” sapaku untuk memecah kecanggungan. Tiba-tiba dia memelukku erat-erat seperti tak mau melepaskan lalu dia menangis sejadi-jadinya. Orang-orang di lobi tiba-tiba menengok ke arah kami dan dengan sigap resepsionis hotel mendatangi kami sambil membawakan sekotak kertas tissue. Kuajak Mei Hwa menuju kamarku supaya tidak menjadi pusat perhatian.

Aku sungguh merasa jengah dengan sikap berani Mei Hwa terhadapku, sebagai seorang yang sejak kecil dididik dalam keluarga puritan, pelukan Mei Hwa membuatku agak limbung. Tak sedetikpun dia melepas pelukannya dariku ketika kubimbing menuju ke kamarku. Aku berusaha menolak halus pelukannya, namun malah membuatnya memelukku lebih erat. Pelukannya membuatku sulit membuka pintu kamar.

“Ahwa, please, tolong lepaskan sebentar pelukanmu aku jadi sulit membuka pintu kamar” pintaku, kemudian dengan enggan perlahan dia melepaskan pelukannya. Kesempatan itu kugunakan untuk cepat-cepat membuka pintu dan menjauh darinya kemudian kupersilakan dia masuk, lalu kupersilakan dia duduk di atas couch kamarku. Aku beralasan akan memesankan minuman supaya dia tak memelukku lagi. Namun dia justeru berdiri dengan pandangan nanar menatapku. Kuulangi lagi pintaku,”silakan duduk Ahwa, aku mau memesan seguci sa-ke untuk merayakan pertemuan kita.” Shanghai terletak di China timur laut sehingga percampuran budaya Mongol dan Jepang cukup kental, dan hal itu membuatku mudah memesan sa-ke a la Jepang.

Setelah kulihat Ahwa agak tenang aku mengambil jarak duduk yang agak jauh darinya. Tiba-tiba dia menyentak kesunyian dengan nada agak ketus,”Kowen ora kangen karo nyong yaa, ndut (kamu tidak kangen aku yaa, ndut) ?”, tuduhnya dengan logat Tegal yang tidak berubah dari delapan belas tahun lalu. “Lah, angger nyong ora kangen, ya ora telpon kowen raa (Lah kalau aku tidak kangen, ya tidak telpon kamu, dong) ”, jawabku agak merasa aneh dengan pertanyaanya.”Tapi kok kamu seperti enggan aku peluk”, ujarnya sambil merajuk. ”Bukan begitu, masalahnya kamu kan sudah punya suami, masa aku peluk-peluk bini orang”, Jawabku. “Oh ya, bagaimana kabar suami dan anak-anakmu ?” , tanyaku untuk memecah kecanggungan sekaligus mengingatkan posisi dia, namun pertanyaanku malah menggugah tangisannya kembali. Kini aku yang merasa bersalah dan terpaksa memeluknya untuk menenangkannya. “Oke, tenangkan perasaanmu dan ceritakan bebanmu kepadaku.”

Kutunggu tangisnya sampai habis lalu kulepas pelukanku, kemudian kutawari dia virginian cigarette Mild Seven milikku. “Kamu merokok juga ?” tanyanya sambil menarik sebatang,” Kadang-kadang, jika ingin menikmati kesendirian,” jawabku.”Hmmhhhh, ini cigarette Jepang yang kusuka.”Semenit, dua menit dia nikmati cigarette yang terselip di antara jemari lentiknya, kemudian mulailah dia bercerita, ”Empat tahun yang lalu bahtera rumah tanggaku dihancurkan oleh suamiku sendiri”. Dia terdiam sejenak, matanya menatap sesuatu yang tak ada menerawang entah ke mana. ”Selingkuh ?”, tanyaku menyelidik. “Aahh kalau dia selingkuh aku takkan terlalu memusingkan, di sini hampir setiap laki-laki punya wanita simpanan, kecuali para buruh, bikkhu dan gay,”ujarnya sinis, “Oooooh”, seruku terperanjat, ”lalu mengapa ?”. “Tak kusangka dia melakukan korupsi dan menggelapkan uang kantor dagang negara, persidangan untuknya pun berlangsung cepat hanya tiga hari, esoknya dia langsung menghadapi regu tembak pemerintah.”jawabnya datar. Dalam hati aku berseru, ’wow, cepat sekali negeri ini kalau memberantas korupsi,’”Lalu bagaimana anak-anakmu ?”, semakin besar rasa ingin tahuku. ”Semua harta dan anaku satu-satunya disita oleh Negara.””Haaaaah !”, seruku terkaget-kaget, “anakmu disita negara ?”.”di negeri ini banyak hal yang sulit disebut milik pribadi “, jelasnya. ” Lalu bagaimana kamu menghidupi dirimu selama ini ?”.”Aku menjadi waitress di sebuah pub internasional, dan beberapa kali jadi simpanan para expatriate Eropa karena kemampuan Bahasa Inggrisku yang lumayan.” Entah mengapa tiba-tiba leherku seperti tercekik dan aku jadi susah bernafas mendengar kisah hidup Mei Hwa. Tak terasa meleleh sejalur air mata meluncur turun, tiba-tiba Mei Hwa mendekatiku dan langsung mengecup setiap air mata yang turun dari mataku, ”Sst, cup, cup jangan menangis gendutku sayang, aku sudah kebal dengan masa laluku kok.” Hiburnya. Aroma wangi tubuhnya serta desakan hangat buah dadanya sekali lagi membuatku limbung dan susah berpikir jernih, hingga aku cuma terdiam.

“Hmm, kamu masih laki-laki,” ucapnya sambil tersenyum, aku terhenyak atas ucapannya,”maksudmu ?”, “tatapan matamu pada buah dada dan pahaku menunjukkan itu, tapi ndak apa-apa kok aku senang karena kamu yang menatapku begitu.” jawabnya sambil nyengir. Aku tersipu atas perbuatanku itu. “Kamu sendiri gimana Hank, anakmu berapa ?”, “Aku belum berkeluarga,” jawabku singkat. “Kenapa ?, Cari puteri dongeng,?”, tanyanya sambil menuduh, ”Justeru kebalikannya, setiap perempuan yang kuajak serius ternyata sedang mencari pangeran dongeng.” Jawabku. ”Mungkinkah aku puteri dongengmu ?”, tanyanya singkat, ”Mungkin saja, dan itu pasti menyenangkan.” jawabku sambil mengecup keningnya. “Ahwa kamu masih ingat ndak dulu waktu kita masih SMA, kita sering misdinar* bersama ?”, tanyaku.”Huh, kamu mau mengingatkanku tentang Tuhan ? Oh, no, please, God is a myth, I‘ve been years disconnected with that myth,” jawabnya dengan nada meninggi tak sedap.”Tidak, bukan begitu. Apa kamu ndak ingat kapan kamu memberikan potongan gwa pao sebelum akhirnya kamu menghilang?”,tanyaku,”Oww, itu. Mana mungkin aku lupa itu, Tuan Bakpao.”

Tiba-tiba terdengar ketukan dari luar,” Reservation please, sa-ke”, dengan sigap Mei Hwa menuju pintu membukanya dan menerima pesanan sa-ke dari waiter, kesempatan itu kugunakan untuk mengambil bungkusan gwa pao dari freezer dan meletakkannya di atas meja. “Nih, sa-ke pesananmu,” kata Mei Hwa sambil meletakkannya di atas meja. Aku menuang dua cawan sa-ke, masing-masing untukku dan Mei Hwa. “Apa isi bungkusan kain putih itu ?” tanyanya penuh rasa ingin tahu. Aku tidak menjawab dengan kata-kata, hanya membuka bungkusan itu lalu kuperlihatkan padanya. Dia hanya tercenung menatap isi bungkusan yang kuperlihatkan kepadanya. Tiba-tiba dia menubrukku hingga aku terjatuh ke atas couch lalu menciumi wajahku, kening, hidung, mata pipi dan bibirku. Kehangatan tubuh dan kelembutan buah dadanya hanya bisa membuatku memejamkan mata supaya nafsuku tetap terkendali. “Ternyata kamu masih mengingatku hingga selama ini, seromantis inikah kamu ?” bisiknya lembut. Akhirnya kami hanya saling diam, Mei Hwa menyandarkan tubuhnya di atas tubuhku dan lamunan kami melayang kembali ke masa delapan belas tahun silam, ketika setelah selesai menjadi misdinar (pelayan altar) pada misa imlek kami mendapat pembagian kue bulan oleh panitia misa imlek, kami saling menukar segigit potongan kue bulan di depan patung Maria sebagai tanda kebersamaan tak terpisahkan.
Kemudian aku bergeser dan beringsut supaya hal-hal tak senonoh tidak terjadi,” Mau ke mana ? “ Tanya Mei Hwa. “Aku mau lihat agendaku besok harus ke mana.” Jawabku sembari bangkit dan mengambil buku agendaku. ”Aah…Tianjin”, gumamku. “Tianjin ?!” seru Mei Hwa, “Kita baru bertemu beberapa jam dan kamu sudah bicara harus ke Tianjin ?!” serunya lagi. “Yah begitulah, besok jam 10 pagi aku harus mengejar penerbangan ke Beijing lalu ke Tianjin.””Sekarang sudah jam 8 malam, kamu mau aku antar pulang ?”, tanyaku. “Tidak”, jawabnya singkat dengan nada merajuk,” Aku ingin menghabiskan malam ini bersamamu hanya denganmu dan bukan dengan urusan bisnismu !!!” lanjutnya lagi dengan nada protes.”Oke, oke…tapi beri aku waktu barang setengah jam untuk doa malam ya ?”pintaku. “Mau ikut doa malam ?” tanyaku,” for the old time sake, please ”, ajakku kepada Mei Hwa, “Okay, just for the old time memory, not more.” jawab Mei Hwa agak keberatan.

Kuambil untaian rosario dan buku doaku lalu kami berdoa bersama, selesai Doa Rosario aku mengucap syukur atas pertemuan kami yang takkan terjadi jika tanpa kehendak Tuhan, dan kudoakan semoga Mei Hwa memperoleh jalan yang terbaik. Terlalu khusyuk aku berdoa hingga baru menyadari bahwa Mei Hwa tengah menangis sesenggukan di tengah doanya ketika aku selesai membuat Tanda Salib. Kubiarkan dia sampai tangisannya selesai hingga dia membuat Tanda Salib. Sekali lagi kami terdiam agak lama setelah doa malam,” Maukah kamu membawa Rosario, Buku Doa dan Kitab Suciku ini, Ahwa ?”, tanyaku memecah sunyi, Mei Hwa hanya mengangguk samar. Lalu kuambil Rosario, Buku Doa dan Kitab Suci dan kuberikan kepada Mei Hwa dan dia memasukkannya ke dalam tas yang dibawanya.

“Kamu sudah mencoba mengadu nasib ke Hongkong ?”, tanyaku memecah kecanggungan. “Di sana banyak perusahaan dan kantor dagang, kemampuanmu berbahasa Inggris serta bahasa Indonesia pasti dibutuhkan di sana.””Belum, tapi idemu akan aku coba”,jawabnya datar.

Hingga larut malam waktu kami habiskan dengan bercanda seperti dua anak kecil yang lugu hingga kami kelelahan, dia kupersilakan tidur di atas spring bed dan aku di couch. Ketika hampir terlelap tiba-tiba kurasakan ada sesuatu yang perlahan menindihku. Kehangatan dan kelembutan Mei Hwa rupanya yang menindihku, ”belum puas kangenku, aku ingin tidur di atas kehangatan laki-laki yang tak pernah melupakanku,” bisiknya lembut, kemudian dia mengecup pipiku, tapi aku bergeser agak sedikit menjauh sehingga dia tidak benar-benar menindihku, kemudian kami berdua pun terlelap.

Tepat pukul 8:00 pagi kami berpisah setelah sarapan pagi dan sebelumnya kami bertukar alamat email, kuminta mobil hotel untuk mengantarkam Mei Hwa sampai ke rumahnya, dan aku mengejar pesawat menuju Beijing.

Sudah lebih dari delapan bulan sejak perjalananku di negeri China, dan kabar tentang Mei Hwa pun seperti tertelan bumi. Tiba-tiba mataku tertuju pada email inbox dan sebuah surat dari Mei Hwa tiba di address emailku,
Dear Hank,
Bagaimana kabarmu Gendut romantisku ?

Kini aku sudah bekerja di Hongkong sebagai Bussines Relation, dan memang seperti katamu di Hongkong sangat butuh orang dengan kemampuan berbahasa asing terutama Bahasa Inggris dan kehidupanku sekarang jauh lebih baik, dan yang paling penting aku sudah baikan lagi dengan Tuhan.

Aku sering membayangkan jika seandainya sejak dahulu kamu adalah suamiku mungkin saat ini kita sering meluangkan waktu malam berdoa malam bersama anak-anak kita, tapi memang mungkin jalanku harus begini. Jika saat ini kamu belum punya tambatan hati aku akan sangat bahagia jika kamu memilihku untuk menjadi puteri dongengmu, walaupun aku sadar mungkin tak pantas bagimu seorang bekas pelacur seperti aku untuk menjadi pujaanmu.

Dari yang mengharapkanmu,

Mei Hwa



TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pentjerita-pentjerita Goemoel Djiwa

Mengenai Saya

Foto saya
Blog ini merupakan saranaku untuk menuangkan cerita-cerita pendek yang scene-nya melintas di benak saya. Kisah-kisah di sini kudus/suci dari jiplakan/plagiatan/contekan sehingga jika ada kisah yang sama persis dengan yang saya tuliskan bisa dipastikan membajak/menjiplak/memplagiat dari cerpen saya.