Senin, 31 Mei 2010

PAPA, MAMA BIARKAN AKU BERGINCU

Tidak seperti biasanya Qatar Airlines melakukan delay pada jadwal penerbangannya, saat ini masih pukul 17:00 waktu Singapura dan aku sudah menunggu selama setengah jam di Chang-I, pula aku sudah dua kali menggunakan mesin pijat refleksi gratis yang disediakan oleh pihak bandara. Aku bergegas menuju ke smoking room di koridor ujung selatan bandara untuk sekedar menikmati sebatan virginian cigarette Camel dan yang terutama untuk menatap negeri yang telah kutinggalkan selama 8 tahun, Indonesia. Paling tidak aku masih bisa menatap Batam, Pasai dan sebagian Riau.


Sudah 8 tahun aku menetap di Beirut bersama isteriku Rafqa Dababneh dan anakku perempuan Nesrin. Pada mulanya aku memutuskan tinggal di Beirut untuk mendalami Teologi Katolik Oriental di salah satu seminari Katolik Syria, kebetulan proposalku untuk bekerja di salah satu electrical service company di Beirut disetujui. Rona budaya yang benar-benar beda kualami di salah satu negeri timur tengah ini, kurma dan zaitun merupakan hasil pertanian terbesar. Sekarang aku telah menjadi abuna/pastor di salah satu paroki (wilayah kegerejaan) di Beirut dan mendirikan usaha kecil sampingan sebagai konsultan teknis kelistrikan, memang sedikit umat Katolik Syria karena mayoritas di Lebanon adalah Maronit bahkan isteriku pun seorang Maronit. Kami bertemu bukan melalui suatu kegiatan gerejawi tetapi justeru pada suatu seminar fisika listrik di Beirut. Ya, isteriku adalah seorang dosen fisika terapan di AUST (American University of Science and Technology), sebuah universitas swasta yang didirikan oleh Dr. Hiam Sakr. Sebenarnya pertemuan kami terjadi disebabkan aku mencari warga Lebanon yang mampu berbahasa Inggris untuk mengajariku Bahasa Arab atau Perancis karena di sana peduduknya rata-rata hanya mampu berbahasa Arab sebagai bahasa nasional dan Bahasa Perancis sebagai bahasa asing. Anak kami Nesrin sekarang berumur 5 tahun dan sedang lucu-lucunya, di pernah bertanya kepadaku,Baba, hidungmu kok pendek, dan matamu lebar tidak seperti yang lain ?”. Aku hanya tertawa menanggapinya .


Kubuka dompetku dan mengambil foto kami bertiga, kutatap gambar mati namun berjiwa, ya, jiwa dari seorang ayah yang sejauh setengah dunia mengelana demi memenuhi tugas suci, lalu kuambil dua souvenir boneka kanguru dan koala untuk anakku dan juga untuk menambah pengetahuan anakku tentang luasnya dunia. Boneka-boneka ini aku beli di Brisbane, walaupun aku tahu boneka-boneka ini adalah buatan tanah kelahiranku Indonesia, dan suatu hari aku ingin mengajak isteri dan anakku mengunjungi tanah kelahiranku. Aku ditugaskan untuk berkarya di Australia tepatnya Melbourne selama tiga bulan karena di sana terdapat satu komunitas Katolik Syria walaupun kecil, hanya sekitar 300 orang dan belum terbentuk paroki, mereka rata-rata mengikuti qurbono/misa di gereja Ortodoks Syria.


Begitu asyiknya aku menatap keluar sambil berdiri di depan kaca mengamati Batam dan sekitarnya sampai-sampai aku tak sadar jika seorang perempuan berwajah melayu dan cukup manis yang juga berdiri - kira-kira lima langkah dari tempatku berdiri - sejak tadi mengamatiku. Tiba-tiba dia mendekat dan bertanya dengan mimik wajah penasaran,”Pak pendeta dari Indonesia ya ?”,”benar, tapi saya bukan pendeta, saya seorang abuna atau pastor”, jawabku sambil menjelaskan, “Oooh, I see, serunya; kemudian dia melanjutkan,”apakah abuna dari Jawa ?” tanyanya lebih jauh ,”Benar”, jawabku sambil lalu, “Pemalang ?”, lanjutnya. Pertanyaan terakhir membuatku tersentak dan terhenyak lalu kuamati perempuan itu lebih jauh. Dia seorang perempuan yang berwajah cukup cantik dan dapat membuat setiap laki-laki melirik jika melihatnya, tubuhnya ramping dengan postur yang mendekati sempurna, namun aku tetap tak mengenalnya walaupun wajahnya samar-samar seperti pernah kukenal. “Anda siapa ya, kok tahu saya dari Pemalang ?”, tanyaku tetapi dia tidak menjawab bahkan melanjutkan tanya,”Kamu Hank, bukan ?”, aku bergerak sedikit ke belakang, ”Anda siapa, kok tahu nama panggilan saya di Indonesia ?”, tanyaku sambil memincingkan mata . Tiba-tiba dia bergerak lebih dekat dan mendekati telingaku lalu berbisik, ”Aku Haryo, temanmu SMP”, ”Haaa !!!”, seruku dalam kaget hingga seluruh pengunjung smoking room menengok ke arahku. Agak pelan aku memastikan, “Benarkah kamu Haryo temanku di 1D ?”,Yes, I was Haryo, but now I am Rachel jawabnya dengan Bahasa Inggris berlogat Amerika yang sangat kental dan nada kurang senang karena seruanku mengagetkan semua orang. I apologize for what I behave, that made you unpleasant, jawabku meminta maaf. “Benar kan, kamu Hank ?”, tanya ‘Rachel’ memastikan, ”benar, benar, kamu tidak salah, aku Hank,” jawabku.


Kesunyian pun mencekam pembicaraan kami, kuamati dengan lebih seksama sembari mengingat-ingat ciri khas dari Haryo yang dulu pernah kukenal dan ahh tiba-tiba aku ingat ciri khas Haryo dahulu yang pernah sekali tertimpa bogem mentahku gara-gara mencuri cium pipiku, atau ‘Rachel’ sekarang,”Bulu matamu masih asli kan Har….ehh, maksudku Rachel ?” tanyaku sambil tersenyum mengingat masa dulu, ”Tentu, ini adalah kebanggaanku sejak dulu !!”, serunya menyahutku dengan nada emosi. ”Kamu sekarang tinggal di mana, Rachel ?”,tanyaku untuk meredam emosi sensitifnya yang sudah mulai naik, ”Kok, kamu memanggilku Rachel, apa nggak canggung ?”, dia balik bertanya dengan nada curiga. ”Jika kepribadianmu adalah Rachel dan bukan Haryo, bukankah aku lebih baik memanggilmu begitu ?”. Tiba-tiba dia menubruk dan memelukku lalu sesenggukan di bahuku, ”Thanks ya Hank atas pengertianmu, cuma kamu yang memanggilku Rachel dari teman-teman kita dulu.” Tiba-tiba dia segera melepas pelukannya, mungkin teringat masa SMP kami, ketika dia tertimpa pukulan tanganku.


“Maaf, aku terbawa emosi hingga memelukmu”, ujarnya sambil mengusap sejalur airmata yang meluncur. Its ok, no problem.", sahutku. “Kamu sekarang tinggal di mana, Rachel, kok dialek Amerikamu begitu kental ?”, tanyaku penasaran. “Aku sekarang tinggal di Detroit, US, bersama suami dan anak-anakku.”, jelasnya sambil memincing mata curiga. So, you have a complete family now, jawabku.”Suamimu asli Amerika ?””lalu anak-anakmu bawaan suamimu kah ?”,”Bagaimana dengan keluargamu di Indonesia ?”, tanyaku beruntun karena didera rasa ingin tahu yang dalam. Suatu pengalaman yang benar-benar baru untukku beradu wicara dengan seorang pelaku transgender.


Dulu, Haryo atau Rachel sekarang memang sudah menampakkan gejala-gejala feminin, tapi tak ku menduga berlanjut hingga seperti sekarang. Kemudian dia mulai bertutur cerita sambil memandang entah menatap berantah ,” Aku di Pemalang cuma sampai tamat SMA, kemudian selama lima tahun aku bekerja di bidang administrasi, dua tahun aku menetap di Jakarta dan selebihnya di Surabaya,” Rachel berhenti sejenak memejam mata sambil menarik nafas panjang seumpama berat tertanggung, kemudian lanjutnya, ”Berat, sungguh berat menjadi orang seperti aku, kerja di manapun selalu menjadi bahan bulan-bulanan, ejekan bahkan hinaan.”, sekali lagi dia menarik nafas panjang sembari mengusap titik air mata yang mengembang di kedua sudut matanya. “Di Surabaya aku mau bekerja apapun asal jangan di salon, karena aku memang tidak bakat di situ. Selama di Surabaya akhirnya aku bekerja sebagai staff data entry sekaligus kuliah di bidang jurnalistik.” Dia berhenti sejenak memandang ke arah Pasai seolah di sana ada Surabaya. ”Aku bekerja dengan dua beban, beban kerja dan beban hinaan, padahal waktu itu aku selalu berpakaian pria, bahkan memelihara kumis. Aku bahkan pernah berusaha untuk berlatih menjadi pria sejati, kucoba untuk ke Gang Dolly mencari pelacur untuk sekedar berlatih tapi jiwaku berontak. Sedemikian lama pula aku jadi ateis dan melepas agama KTP ku Islam, dan memang sebenarnya aku tak pernah menjadi muslim bahkan agama apapun, karena tak ada yang mampu menjawab masalahku kecuali memojokkan jiwaku, baik halus maupun kasar.”,kemudian dia terdiam cukup lama, bak ibu-ibu tua renungi nasibnya. Tiba-tiba dua anak laki-laki dan perempuan umur lima tahunan – mungkin lebih - berpostur Caucasian mendatangi Rachel dan menyeru memecah kesunyian kami berdua, Mommy, mommy how come you took so long, Daddy is waiting for You.. Okay, Bryan, Dorothy…call Daddy to come here. Come, come ! perintah Rachel pada kedua anaknya. ”Mereka berdua anakku,… anak kami…, kami mengadopsi mereka ketika masing-masing berumur satu tahun dan tiga bulan”, paparnya sambil tatapannya mengikuti larian kedua anak-anak yang lucu-lucu itu.


Tiba-tiba dia memecah kesunyian dan bertanya, ”Kamu sendiri sekarang tinggal di mana, Hank, masih di Indonesia ?”, ”Tidak, aku sekarang tinggal di Lebanon, tepatnya Beirut”, jawabku. ”Waaaw…negara yang penuh hujan bom dan peluru !”, serunya. “Ah, tidak juga, hanya Lebanon Selatan yang penuh bom dan peluru, di Beirut aman-aman saja kok.”jelasku, ”Aku bahkan berkeluarga di sana,” lanjutku menjelaskan. “Haaa, kamu kan pastor, kok, berkeluarga ?”, serunya terheran-heran. Aku sudah menduga bakal disikapi seperti ini karena sebuah istilah ‘pastor’, namun aku tak mungkin bercerita mendalam maka aku hanya menjelaskan bahwa pada Tradisi Gereja Katolik Timur umat awam yang telah menikah boleh mengikuti pendidikan seminari untuk menjadi pastor. Kutunjukkan padanya foto bersama kami sekeluarga. “Hmmm, isterimu Arab ya ?”, tanyanya ingin tahu, “Ya, tepatnya warga Negara Lebanon keturunan Yordania, namanya Rafqa Dababneh dan ini puteri kami Nesrin, dia baru berumur 5 tahun,” jawabku. “Kalian sungguh keluarga sempurna,”ujarnya sambil lagi-lagi mengusap air mata, “Ayah pria sejati, ibu perempuan sejati tentu anaknya pun hasil buah cinta berdua,” lanjutnya sambil menelan kata-kata dalam corak duka.


Merasa riasan wajahnya lantak digulung lontaran kenangan duka, Rachel pun mengambil seperangkat perias wajah dari dalam tas tangannya. Begitu lincahnya dia memainkan mascara untuk melentikkan bulu matanya yang memang lentik, menggambar kelopak matanya dengan eye brush, mengulas bibir dengan lipstick, sungguh suatu yang out of my mind. Aku hanya bisa bertanya dalam hati, ’God, is this Haryo, How come ?’. ‘Mengapa Tuhan menciptakan manusia tanggung seperti Haryo ?’’atau duniakah yang telah membelokkan sistem yang telah dicipta oleh Tuhan ?’, aku sedikit menggugat karena pertemuanku dengan Haryo ‘Rachel’ ini. Kutatap, kuamati, kuperhatikan Rachel yang sibuk menata riasan wajahnya. “Cantik ya, aku ?”, tiba-tiba Rachel memecah gugatan-gugatanku kepada Tuhan, “Cantik”, jawabku samar sembari menutupi gelagapanku atas pertanyaannya.


Selesai menata riasan dan memasukkannya kembali ke tas tangannya yang berwarna soft-blue Rachel menarik nafas panjang dan bertanya, “sampai di mana tadi cerita kita ?”, “Maaf, ya Rachel mungkin ini pertanyaan yang tidak pantas, apakah kamu operasi…err ?” tanyaku pelan takut menyinggung emosinya. “Yak, aku operasi kelamin, aku menambah ukuran payudaraku menjadi 34B dengan silicon, aku membuang semua hal yang merupakan atribut laki-laki termasuk testis penghasil testosterone, dan menggantinya dengan suntik hormone estrogen” , jelasnya dengan ringan, ”Aku ingin menjadi perempuan sepenuhnya.”tambahnya. ”Ooooh…”, seruku samar, ”Aneh ya mungkin buatmu ?” tanyanya dengan agak sinis, ”Apalagi kamu seorang reverend, abuna Katolik pula tentu mempertahankan filsafat-filsafat usang mengenai moralitas.” Aku hanya bisa tersenyum, sebab jika kujawab pasti akan menaikkan amarahnya, namun sebagai seorang abuna aku harus membela ajaran yang kuimani benar, “Moralitas sampai kapanpun tidak ada yang usang, kita tinggal mengolahnya dengan hati ”, jawabku pelan. “Tapi, jika membuat sekelompok manusia menderita baik secara psikis maupun fisis, apakah masih pantas disebut moralitas ?” sergahnya. “Pada iman Katolik seseorang atau sekelompok yang dinilai menyalahi moralitas bukanlah objek hukuman, justeru sebaliknya menjadi objek kasih”, aku mencoba menjawab selembut mungkin untuk meredam emosinya. But, Act speaks differently with your golden shit morality, kenyataanya mana ?”, bantahnya dengan tanjakan amarah yang begitu kentara. “Memang harus kuakui di antara umat kami banyak yang bersikap tidak sesuai dengan ajakan Gereja Katolik mengenai hal ini dan itu menjadi tugas kami para abuna untuk memberikan penyadaran.”jawabku, lalu kami berdua pun saling terdiam hanyut dalam ombak sangka masing-masing.


Tiba-tiba terdengar sebuah panggilan dengan arah mendekat, Rachel honey, it’s been almost one and a half hours you are here, our kids are missing you. Seungkap suara berat memanggil Rachel, kulihat seorang dengan postur Caucasian tinggi besar, rambut berwarna terracotta kemerah-merahan namun tipis dan mendekati kebotakan, berperut agak membuncit seperti perutku, wajah biasa saja untuk ukuran ketampanan Caucasus. Namun yang membuatku kaget adalah model pakaiannya, dia menggunakan pakaian model reverend kemeja dan celana panjang dengan warna hitam dan menggunakan sisipan collar neckless berwarna putih di antara kerah kemejanya seperti yang kugunakan jika bepergian, di samping kanannya berdiri kedua anak mereka Byan dan Dorothy. “Kaget ya ?”, tanya Rachel kepadaku, dan aku pun menjadi gelagapan, ‘lelucon apa pula ini ?’ tanyaku dalam hati. “Suamiku adalah pendeta, kami berdua sebenarnya baru dari Bangkok untuk mengikuti seminar kesetaraan transgender, kebetulan aku dan suamiku menjadi keynote speakersjelasnya kepadaku. Rachel kemudian menerangkan kepada suaminya siapa aku dan dia menyalamiku dengan hangat, sembari memperkenalkan nama Assalamualaika fi baraka Yasu’l Masih, yaa sayid abuna (Damai bagimu dalam berkat Yesus Kristus, ya tuan pastor)”, ucapnya dengan Bahasa Arab yang kaku lalu kujawab, wa’alaika salamunaziz min Yasu’l Masih, yaa sayid reverend(dan bagimu damai kasih dari Yesus Kristus, ya tuan pendeta)”. ”Kami berdua mendirikan Universal Heart Ministry, dan di gereja kami kaum gay dan lesbian tidak diperlakukan sebagai makhluk najis, tidak sebagai cacat moral melainkan setara di hadapan Tuhan.”, tandas Rachel. “Seandainya, menjadi transgender adalah cacat tak lebih seperti cacat buta, lumpuh, atau mentally retarded, dan banyak dari para transgender yang menemukan kasih Tuhan, kasih universal, kasih yang memahami di gereja kami, bukan kasih yang memihak karena ketidaktahuan”, gugatnya. Sean – suami Rachel – menyentuh bahu Rachel sembari mengingatkan tanjakan amarah Rachel, Please, don’t honey. Aku hanya tersenyum melihat gelagat panas Rachel yang dibakar amuk masa lalu. Sorry, honey I am drifted to my past, it is still hurt inside,, jawab Rachel sambil merajuk.


Tiba-tiba terdengar pengumuman penerbangan menuju New York akan berangkat setengah jam lagi, Sean meminta Rachel beserta anak-anaknya bersiap untuk menuju gerbang pemberangkatan. “Kami akan ke New York lebih dahulu,” papar Rachel kepadaku, “Pembicaraan kita belum selesai, Hank, aku masih banyak menyimpan pertanyaan tentang doktrin agamamu pada golongan seperti kami, kamu punya email address, kan ?” tantang Rachel sekaligus bertanya email address-ku, aku hanya mengangguk pelan dan kami pun bertukar email address, kemudian mereka sekeluarga berlalu dan keluar dari smoking room Bandara Chang-I, Singapura. Aku termenung sendiri mengingat-ingat pembicaraan kami tadi selama kira-kira satu setengah jam, ada satu point yang menyentuh hati Haryo sebenarnya yaitu ketika kutunjukkan foto keluargaku, terasa sekali dia ingin pada posisiku sebagai ayah. Yah, bagaimanapun juga dia terlahir sebagai laki-laki.


Aku mengambil buku catatan kecilku yang biasa kubawa untuk mencatat hal-hal menarik yang kutemui untuk kujadikan bahan khotbah pada qurbono, tak lupa pula aku menyusun sebuah draf surat kecil untuk organisasi social rehabilitasi transgenderisme yang dibentuk oleh beberapa tokoh dari beberapa agama di Beirut. Draf surat itu kutujukan untuk Abuna Jorgis Hayek dari Maronite, Abuna Dawoud Haddad dari Melkite, Syekh Mahmoud Al Hanmbali dari Islam serta tembusan untuk Sayed Turgun dari Mandai (agama kebatinan di sekitar Irak hingga Palestina).

Assalamualaikum yaa akhi,
Pada perjalananku pulang ke negeri kita Lebanon, dari benua di ujung tenggara bumi Australia, aku menemukan satu hal menarik mengenai transgenderisme aku bertemu teman masa laluku ketika aku muda di Indonesia. Dia sungguh sangat tersakiti oleh perlakuan ‘dunianya’ di masa lalu karena perlakuan yang tidak bersahabat dari kolega-koleganya (mungkin termasuk diriku) hingga akhirnya dia memilih untuk berganti kelamin dengan operasi tentunya.
Namun ada satu hal walaupun itu hanya tampak setitik dia sungguh sebenarnya masih punya watak kebapakan, hal itu tampak ketika kutunjukkan foto keluargaku. Oleh karena itu yaa akhi yang bijaksana mungkin sudah saatnya kita mengubah pendekatan kita pada kaum transgender. Selama ini kita lebih cenderung meremas-remas kepala mereka dengan hukum dan doktrin-doktrin kita, tetapi kali ini aku menemukan bahwa untuk mengembalikan mereka ke fitrah yang telah digariskan Allah adalah sangat baik kita sentuh hati mereka, kita sentuh jiwa terdalam mereka, insya Allah mereka akan memahami dan mengerti fitrah mereka seharusnya.
Wassalam,
Fi nafsihulaziz,
Estefanous Kefa W.

Tepat pukul 20:00 waktu Singapura pesawat menuju Istanbul, Turki yang kutumpangi lepas landas dari Bandara Chang-I, menyisakan rasa rindu kepada tanah kelahiranku di seberang Singapura, Indonesia.


Sudah tiga bulan sejak pertemuanku dengan Haryo, aku disibukkan oleh rencana pembentukan paroki di Melbourne – Australia, isteriku tercinta yang cekatan mengurus kemungkinan kami bisa berdiam di negeri kanguru itu dengan layak, mulai mencari universitas sebagai tempat kami mengajar (di Lebanon aku mengajar Pengantar Teologi Kristen Semitik dan Analisis Daya Listrik – suatu susunan mata kuliah yang tak terkait sama sekali) di Australia hingga mencari informasi mengenai tempat tinggal layak di Melbourne. Ketika aku membuka internet untuk melihat korespondensi dengan calon umat paroki di Melbourne, terselip sebuah email dari Haryo:


Shalom Alecha,
Dear Hank,
Mungkin kamu masih bertanya-tanya mengapa aku mengambil sikap untuk operasi kelamin. Seperti kamu ketahui aku adalah anak ke tujuh dari tujuh bersaudara, dan semua kakakku adalah laki-laki. Dahulu semasa ibuku mengandungku, kedua orangtuaku sangat berharap bahwa anak yang ketujuh akan terlahir perempuan, bahkan ayahku mengancam jika anak ketujuh ini masih terlahir laki-laki maka dia akan menceraikan ibuku.
Kemudian mereka berdua menipu diri seolah-olah anak yang dikandungnya adalah perempuan, boneka, pakaian dan semua alat mainan perempuan dibeli sebelum aku lahir bahkan selama aku di dalam kandungan kedua orang tuaku selalu menyapaku dengan sebutan ‘ndhuk’ (sebutan untuk anak perempuan).
Ketika hampir tiba masa persalinan ibuku melahirkan aku, kedua orang tuaku masih belum percaya analisis dokter bahwa anak di kandungan ibuku adalah laki-laki, mereka sangat yakin dengan semakin memperlakukan kandungannya sebagai anak perempuan, jenis kelaminku akan berubah.
Apa mau dikata aku tetap terlahir sebagai laki-laki. Akhirnya ayahku menceraikan ibuku, dan aku menjadi anak dengan tubuh laki-laki berkepribadian perempuan.
Singkat cerita aku akhirnya memutuskan untuk operasi berganti kelamin, demi memenuhi kepenuhan kepribadianku, dan aku hanya bisa memohon kepada ayah-ibuku: Papa, Mama biarkan anakmu ini bergincu.

Dari korban masa lalu,
Rachel G Howard/Haryo Santoso


Tamat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pentjerita-pentjerita Goemoel Djiwa

Mengenai Saya

Foto saya
Blog ini merupakan saranaku untuk menuangkan cerita-cerita pendek yang scene-nya melintas di benak saya. Kisah-kisah di sini kudus/suci dari jiplakan/plagiatan/contekan sehingga jika ada kisah yang sama persis dengan yang saya tuliskan bisa dipastikan membajak/menjiplak/memplagiat dari cerpen saya.