Sabtu, 15 Januari 2011

Cinta Sejati ~ Sepenggal Obrolan dengan Seorang Ibu dari Seorang Anak Cacat Mental

Aku sebelum pindah ke Bekasi mempunyai seorang teman perempuan yang juga seorang ibu. Wataknya yang ramah membuat dia mudah bergaul di komunitas para muda Katolik di tempatku saat itu. Berikut kisahnya:



Suatu hari di jelang Paskah kami ~para lajang Katolik~ mengadakan kumpul-kumpul bersama untuk mendekorasi gedung gereja. Tiba-tiba seorang anak laki-laki yang mungkin usianya sekitar 12 tahun ikut nimbrung bersama kami. Anak itu berwajah 'mongoloid', ya, seraut wajah yang umum dimiliki oleh anak cacat mental. Dia bergabung dengan kami, lalu memandangi wajah kami masing-masing kemudian tersenyum canggung. Dia menyalami kami dengan ramahnya sambil memperkenalkan namanya, waktu sampai di hadapanku dia menepuk-nepuk perutku, lalu menempelkan telinganya di situ. Perbuatannya itu membuat kami semua tertawa terbahak-bahak, dan membuatku geli.

Tiba-tiba dari arah altar gereja terdengar suara seorang ibu yang memanggil anak itu lalu dengan tergopoh-gopoh ibu itu menuju ke arah kami,

" Nak, kamu jangan mengganggu oom-oom dan tante-tante di sini ya. "

" Iya, Ma. " Sambutnya dengan senyum.

" Oooh tidak apa-apa Mbak, kami senang kok dia di sini, ramah dan murah senyum," ujarku sambil tertawa.

Seorang ibu muda yang sebaya dengan kami, berparas cantik, kulit kuning langsat bersih dengan tubuh yang cukup seksi adalah ibu dari anak ini.

Waktu itu kami sedang menikmati istirahat sore setelah mendekorasi setengah ruang gereja, dan aku sebenarnya saat itu ingin sejenak menyendiri setelah mengobrol dengan beberapa teman.

Aku menuju ke arah samping gereja yang ditanami bunga kana sekedarnya, di situ aku menemukan sebongkah batu yang cukup besar untuk kujadikan tempat duduk; kebetulan bongkah batu itu merapat ke arah tembok pagar sehingga aku bisa bersandar.

Aku tak menyangka sedari tadi si anak 'mongoloid' ini membuntutiku. Tiba-tiba dia menepuki perutku lagi lalu menempelkan telingannya di perutku.

Si ibu pun tergopoh-gopoh kembali mendatangiku,

" Maaf, ya Mas, atas tingkah anak saya ini." Kata si ibu sambil menggamit lengan si bocah.

Namun si bocah tak mau pula melepas sandaran kepalanya dari perutku.

"Enggak apa-apa kok mbak, saya ndak marah, malah saya merasa geli."

" Sekali lagi maaf ya Mas, mungkin dia teringat boneka Teddy di rumah. "

" Ndak apa-apa, Mbak. "

" Perkenalkan nama saya Augustina, Mas. "

" Saya Hank, Mbak. "

" Dia putra ke berapa, Mbak ? " ucapku untuk memecah kecanggungan.

" Ooh, dia anak tunggal saya, Mas."

" Dia mengalami keterbelakangan mental, Mas, namun dia itu buah hati tercinta saya. "

" Usia berapa Mbak, dia ? "

" Usianya baru 11 tahun, Mas. "

" Senang Mbak ya sudah punya momongan."

" Senang-nggak senang sih, Mas, tapi bahagia. "

" Mas sendiri sudah punya momongan berapa ? "

" Belum, Mbak, isteri saja belum. "

" Tapi calon sudah ada kan ? "

" Belum, Mbak. "

" Wah, Mas pemilih yaa ? "

" Iya, Mbak saya hanya memilih perempuan sebagai pendamping saya. " jawabku sambil berkelakar.

" Masalahnya ndak ada yang mau saya pilih, Mbak, hehehehehe. "

" Mas jangan merendahkan diri seperti begitulah, ndak baik, Mas. "

" Begini Mbak, beberapa gadis yang saya sukai, selalu menolak Mbak. "

" Ahh, Mas mungkin yang terlalu tergesa-gesa. "

" Saya sudah mencoba beberapa cara Mbak, dari yang pelan, menjadi 'sahabat' dahulu, sampai tembak langsung, semuanya kandas."

" Maaf, Mbak saya malah cerita masalah pribadi. "

" Ndak apa-apa Mas, setiap orang memiliki masalahnya sendiri, kok."

"Iya, Mbak, cuma sebenarnya saya tidak tahu tipe masalah yang saya hadapi, namun saya pribadi menduga karena masalah fisik."

Kami terdiam sejenak sambil menikmati tingkah anak yang tadi menempelkan telinganya di perutku. Tiba-tiba si ibu memecah kesunyian,

" Saya sudah berkeluarga selama 13 tahun, kami termasuk agak sulit mendapat momongan, baru setelah dua tahun kami menikah kami mendapatkannya, si Dion ini. "

Kemudian dia menghela nafas yang cukup panjang.

" Pada mulanya kami merasa sangat bahagia atas kelahiran Dion, namun pada tahun pertama perkembangannya, dia mengalami demam tinggi. "

" Dia mengalami stiff agak lama, lalu kami bawa ke dokter. Ketika demam turun itulah mulai tampak perbedaan pada pertumbuhan Dion. "

" Respon Dion terhadap suara menjadi melambat, dan perkembangan psiko-kognitifnya pun seperti mengalami degradasi. Intinya Dion menjadi cacat mental. "

" Selama beberapa tahun kami, saya dan suami benar-benar tidak bisa menerima keadaan Dion yang demikian, selama bertahun-tahun kami menganggap Dion sebagai mimpi buruk, bahkan suami saya hingga saat ini menganggap peristiwa kelahiran Dion tidak layak untuknya. Dia pun meninggalkan kami berdua. "

" Pada tahun-tahun penuh kebencian itu, kami sering tak habis pikir; saya cantik dan pintar, suami sayapun adalah pujaan gadis-gadis karena ketampanannya, tetapi mengapa beroleh keturunan semacam Dion ? "

" Kami protes kepada Tuhan dengan samasekali meninggalkan gereja dan kehidupan spiritual, walaupun kami masih menanggung semua kebutuhan Dion, namun bukan karena rasa cinta, melainkan untuk pemantas menunggu hingga Dion mati. "

" Saya diketuk dengan keras oleh Tuhan, adalah ketika peristiwa ayah Dion meninggalkan kami. Seharian saya menangis di kamar, saya bingung harus bagaimana karena setelah menikah saya menjadi ibu rumah tangga penuh. Waktu itu saya merasa dunia saya sudah berakhir, namun yang membuat hati saya seperti dihajar keras adalah sikap Dion yang seharian menemani saya, dia ikut menangis lalu menciumi setiap air mata yang membasahi pipi saya. "

" Saya tahu dia sangat sedih walaupun tangisannya tak bersuara. Saat itulah saya sadar bahwa cinta Dion yang cacat ini jauh lebih besar daripada cinta ayahnya yang pernah menjadi pujaan para gadis. "

Aku hanya bisa diam termangu mendengarkan kisah ini dengan hati yang masygul.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pentjerita-pentjerita Goemoel Djiwa

Mengenai Saya

Foto saya
Blog ini merupakan saranaku untuk menuangkan cerita-cerita pendek yang scene-nya melintas di benak saya. Kisah-kisah di sini kudus/suci dari jiplakan/plagiatan/contekan sehingga jika ada kisah yang sama persis dengan yang saya tuliskan bisa dipastikan membajak/menjiplak/memplagiat dari cerpen saya.