Sabtu, 15 Januari 2011

Hadiah Natal Terindah

Sebenarnya sudah lebih dari lima tahun aku menjadi umat paroki ini, namun aku termasuk yang kurang bergaul. Aku tak terlalu dikenal oleh lingkungan di paroki ini, mungkin karena aku terlalu menyibukkan diriku dengan urusanku sendiri. Ya, aku hanya umat paroki yang suam-suam kuku, hanya giat berdoa menuntut Tuhan dengan semua kehendakku yang dibalut dengan ucapan syukur pura-pura. Aku giat melakukan doa ini-itu bukan karena ingin berdekat mesra dengan Tuhan tetapi terlebih ingin membudakkan Tuhan secara halus.

Hari itu kira-kira seminggu sebelum Natal, dalam kalender liturgi saat itulah perayaan minggu sukacita atau Gaudete. Aku sedang ingin menyendiri di bangku gereja seusai misa. Aku mengilas balik setiap pengalaman pahit dan buruk hingga semuanya berlompatan di benakku seperti serombongan ikan lapar melahapi mangsa. Tak terasa sebaris air mata mengembang di pelupuk mataku,

" Oh, Tuhan sampai kapan ? " gumamku.

" Tuhan, hari ini gaudete tapi tak kurasa kegembiraan sedikitpun, bolehkah umurku selesai sekarang ? " bisikku sekali lagi.

" Saya pikir semuanya sudah selesai Tuhan, jika umur saya selesai sekarang mungkin semua harta dunia yang saya kumpulkan akan lebih berguna karena saya tak membutuhkannya lagi, dan bisa disumbangkan ke setiap yayasan anak cacat, atau panti asuhan. " aku beralasan lagi.

" Tuhan, saya mohon sudahi hidup saya. " pintaku lagi dalam gumamku.

Tiba-tiba dari belakang terdengar suara yang ringan dan ramah,

" Belum pulang, Mas ? "

Aku menengok ke belakang dan kulihat seorang lelaki setengah baya dengan kulit gelap dan kumis yang tebal dan membawa peralatan pembersih lantai, 'ah, koster gereja', ujarku dalam hati.

" Belum, Pak. "

" Mas rumahnya di sekitar Mustika Jaya, kan ? " tanya lelaki itu sambil menyapu lantai gereja.

" Benar Pak, rumah saya di situ, kok Bapak tahu ? "

" Saya sering melihat panjenengan ( = Anda) kalau saya pulang, rumah saya juga di Mustika Jaya. "

" Oh, Bapak di Mustika Jaya juga, emmm, maaf Pak, kalau saya tidak kenal Bapak. "

" Saya Hank, Pak.."

" Saya Thomas. "

" Boleh saya bantu, Pak ? "

" Ahh, jangan Mas !! "

" Pekerjaan ini adalah tanggung jawab saya, Mas, bukan pekerjaan Mas. "

" Saya memang digaji oleh paroki untuk melakukan tugas ini, Mas."

" Begini, Pak, saya hanya ingin membantu saja, kok."

" Saya tahu maksud baik Mas, tapi ini tanggung jawab saya. Saya melakukan tugas ini juga untuk merenungi kasih Tuhan di kehidupan saya, Mas."

Mendengar alasan Pak Thomas itu tergelitik rasa ingin tahuku untuk mengorek lebih jauh.

" Maksud Bapak ? "

" Dahulu Mas, sebelum saya menjadi koster di sini, saya itu petani yang lumayan berhasil di kampung." kata Pak Thomas sambil menelisik sisa-sisa sampah yang biasanya dibuang anak-anak kecil di sekitar pelataran gereja.

" Saya dahulu mengusahakan tanah saya untuk ditanami padi dan pala kependhem (=umbi-umbian), tanah yang saya miliki saat itu lumayan, satu hektar. "

" Walaupun saya pada waktu itu, tidak kurang makan dan minum, serta kebutuhan sehari-hari, saya masih saja mengeluh karena belum bisa membahagiakan anak dan isteri saya dengan harta yang saya miliki. "

" Ahhh, kapan anak-anak ini dididik oleh orang tuanya tidak membuang sampah sembarangan..." gerutu Pak Thomas ketika melihat setumpuk tissue bekas dan bungkus gula-gula.Sambil menjumputi sampah-sampah itu, Pak Thomas melanjutkan kisahnya,

" Lalu suatu ketika tanaman yang saya usahakan mengalami gagal panen, bahkan sampai tiga kali berturut-turut. Harta tabungan saya habis untuk membeli, bibit tanaman, pupuk dan obatnya. Akhirnya tanah saya jual untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. "

" Saya mencoba melamar kesana-kemari untuk menjadi buruh tani, tapi rupanya memang di kampung saya waktu itu sedang mengalami wabah hama sehingga tak ada juragan yang berani menanam. "

" Saya banting stir menjadi buruh pemecah batu kapur, walaupun hasilnya jauh di bawah penghasilan saya dahulu, tetapi kalau untuk sekedar membeli sedikit beras dan lauk pauk sederhana masih cukup."

" Berapa lamakah, Bapak jadi buruh pemecah batu kapur, Pak ? " tanyaku kembali.

" Saya menjalaninya selama dua tahun Mas, dan selama itu pula isteri saya menjadi mudah mutung (=merajuk) dan anak kami yang saat itu berumur 6 tahun pun mudah sakit-sakitan. "

" Hidup saya saat itu terasa berhenti, bahkan mundur. Mulailah saya protes kepada Tuhan. Saya merasa doa saya hanya didengar oleh tembok, ikon-ikon dan patung-patung tanpa daya di gereja. Gelap !"

" Saya bahkan pernah beberapa kali tergelitik untuk menyudahi hidup saya dengan menjatuhkan diri dari atas bukit kapur. "

" Akhirnya saya menitipkan keluarga saya kepada mertua dan saudara sepupu saya. Saya titipkan isteri saya ke orang tuanya, dan anak saya titipkan ke saudara sepupu; sementara saya mencoba peruntungan dengan merantau ke Jabotabek."

" Saya dahulu merantau ke Jabotabek tanpa tahu apapun di sini, karena tak ada sanak-saudara. Saya hanya berpatokan, pokoknya saya cari alamat Gereja Katolik karena saya yakin akan diterima. "

" Namun, harapan saya kandas. Saat itu saya datang ke Paroki di Matraman Jakarta Timur, sesampainya di sana malahan saya dikira penipu yang menyamar jadi orang miskin. Sakit hati saya, Mas. Saya tetap tak mau pergi dari situ, saya berencana menginap di pelataran gereja, sampai beberapa hari hingga bekal uang saya menipis. Setiap hari saya merengek kepada koster di sana supaya boleh menggantikan atau paling tidak berbagi pekerjaannya tanpa upah."

" Akhirnya Pak Leo, koster di gereja Matraman kasihan dan dia mencarikan pekerjaan bagi saya sebagai pengurus taman dari salah seorang pedagang kaya. Ekonomi saya mulai membaik, dan saya beritahukan keadaan itu kepada isteri di kampung"

" Saya hanya bekerja setahun di tempat pedagang itu, lalu saya ditawari untuk menjadi koster di Bekasi sini. Saya terima dengan resiko gaji saya di bawah upah sebagai pengurus taman, saya terima pekerjaan sebagai koster karena menurut saya akan lebih bisa mendekatkan diri kepada Tuhan. "

" Dua puluh lima tahun lalu paroki ini masih stasi, bahkan sebagian wilayah sini masih hutan. "

" Maaf Pak, memang berapa besar perbedaan antara gaji sebagai pengurus taman dan koster ? " tanyaku mengorek lebih jauh.

" Gaji saya sebagai koster hanya sekitar tigaperempat lebih rendah dibanding gaji pengurus taman, Mas. Namun itu jauh lebih baik daripada upah saya sebagai buruh pemecah batu. Sebenarnya, jika dibandingkan, gaji sebagai koster sama dengan pekerjaan saya dahulu bahkan lebih baik. Di sini saya sering mendapat makanan enak dari umat, sehingga saya bisa berhemat."

" Namun lebih dari itu, saya merasa bahagia, Mas, karena bisa akrab dengan banyak orang, dan bisa selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi Tuhan, melalui pekerjaan saya ini."

" Saya dulu penuntut Mas, sering menuntut ini dan itu kepada Tuhan, tapi semenjak saya mengenal banyak orang di sini dan menghargai serta membantu mereka layaknya saudara, seperti kata Romo, saya jadi merasa bahagia, karena mereka pun menjadi bahagia, tanpa perlu menuntut balas dari mereka, yang penting mereka tahu kita mengasihi mereka sepenuh hati; sudah cukup. "

Aku tidak bisa berkata-kata lagi, kugamit tangan yang sudah mulai mengeriput itu lalu kucium.

Aku pulang dengan ringan seperti dengan beban yang sudah terlepas. Inilah hadiah Natal terindah buatku :

" Tunjukkan bahwa kamu mengasihi tanpa menuntut satu balasan, karena Tuhan akan membuka sumber-sumber berkat sesuai kehendak-Nya yang sempurna."

(Kisah ini hanya fiktif, jika terdapat kesamaan nama pribadi dan nama tempat hanyalah satu kebetulan saja)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pentjerita-pentjerita Goemoel Djiwa

Mengenai Saya

Foto saya
Blog ini merupakan saranaku untuk menuangkan cerita-cerita pendek yang scene-nya melintas di benak saya. Kisah-kisah di sini kudus/suci dari jiplakan/plagiatan/contekan sehingga jika ada kisah yang sama persis dengan yang saya tuliskan bisa dipastikan membajak/menjiplak/memplagiat dari cerpen saya.